Friday 18 November 2011

A.  Penggunaan Alat Kontrasepsi Menurut Pandangan Islam
Masalah penggunaan alat kontrasepsi menurut pandangan Islam tidak bisa dipisah-pisah antara niat/mitivasi, metode penggunaan, alat dan juga resiko.
Sehingga bila salah satu komponen itu ada yang tidak sejalan dengan hukum Islam, maka penggunaan alat kontrasespsi itu pun menjadi tidak boleh juga.


Sebenarnya wujudnya Allah itu sudah nyata, bahkan merupakan suau hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya dan tidak ada jalan untuk memungkirinya.
Sesungguhnya  hakikat dari zat Tuhan itu tidak mungkin dapat diketahui dengan akal pikiran manusia dan tidak dapat dicapai keadaan atau kenyataan yang sebenarnya. Sebabnya adalah pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, sehingga manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki cara menemukannya atau perantara untuk mencapainya.
Yang dimaksud dengan tauhid al asma wa al sifat  yaitu penetapan dan pengakuan yang mantap atas nama-nama dan sifat-sifat allah SWT yang luhur berdasarkan petunjuk Allah SWT dalam Al-Qur’an dan petunjuk rasulullah dalam haditsnya. Mayoritas ulama salaf yakni ulama yang konsisten dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang shalih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan  Allah SWT untuk diri-Nya, dan apa-apa yang dijelaskan oleh Rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafadz dan makna),  tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah SWT).[1]

A.  TAUHID AF’AL
Sifat-sifat yang dimiliki Allah SWT. Ada yang termasuk dalam sifat-sifat zat dan ada  yang termasuk dalam sifat-sifat Af’al (perbuatan). Sifat-sifat zat yaitu sifat-sifat subutiah atau sifat-sifat maknawiyah, yakni sifat hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berfirman.
Adapun sifat-sifat Af’al itu ialah seperti sifat menciptakan dan memberi rejeki. Jadi, Allah yang maha menciptakan dan maha pemberi rejeki.
A.    Pengertian
Tauhid rubbubiyah Adalah kata yang dinasabkan kepada salah satu nama Allah SWT yaitu “Robb”, Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain :
ü   Al-Murabbi (Pemelihara)
ü   Al-Nashir (Penolong)
ü   Al-Malik (Pemilik)
ü   Al-Mushlih (Yg Memperbaiki)
ü   As-Sayyid (Tuan)
ü   Al-Wali (Wali)
Dalam terminologi syariat islam, istilah tauhid rububiyah berarti percaya bahwa Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya dengan takdirnya, Ia menghidupkan & mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnahnya.[1]
A.      ‘Aqidah Atau Keimanan
‘Aqidah ialah sesuatu yang mengharuskan hati kita membenarkannya, yang membuat jiwa kita tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan kita yang bersih dari kembimbangan atau keraguan.[1]
Pengertian keimanan atau ‘aqidah itu tersusun dari enam perkara, yaitu:
1.    Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat dengan nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Juga ma’rifat dengan bukti-bukti wujud atau ada-Nya serta kenyataan sifat keagungan-Nya dalam alam semesta atau di dunia.
2.    Ma’rifat dengan alam yang ada dibalik alam semesta ini yakni alam yang tidak dapat dilihat. Demikian pula kekuatan-kekuatan kebaikan yang terkandung didalamnya yakni yang berbentuk malaikat, juga kekuatan-kekuatan jahat yang berbentuk iblis dan sekalian tentaranya dari golongan syaithan. Selain itu juga ma’rifat dengan apa yang ada didalam alam yang lain lagi seperti jin dan ruh.
3.    Ma’rifat dengan kitab-kitab Allah Ta’ala yang diturunkan oleh-Nya kepada para rasul. Kepentingannya ialah dijadikan sebagai batas untuk mengetahui antara yang hak dan yang bathil, yang baik dan yang jelek, yang halal dan yang haram, juga antara yang bagus dan yang buruk.
4.    Ma’rifat dengan nabi-nabi serta rasul-rasul Allah Ta’ala yang dipilih oleh-Nya untuk menjadi pembimbing kearah petunjuk serta pemimpin seluruh makhluk guna menuju kepada yang hak.
5.    Ma’rifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disaat itu seperti kebangkitan dari kubur (hidup lagi sesudah mati), memperoleh balasan, pahala atau siksa, surga atau neraka.
6.    Ma’rifat kepada takdir (qadha’ dan qadar) yang diatas landasannya itulah berjalannya peraturan segala yanga ada di alam semesta ini, baik dalam penciptaan atau cara mengaturnya.[2]
   
a.    Tingkat-Tingkat Kepercayaan Manusia
Apabila dilihat dari kuat atau lemahnya ‘aqidah karena kejelasan atau kekaburan daripada alasan-alasan yang ada, maka manusia terbagi ke dalam beberapa golongan.
Sebagai contoh, di sini dapat kemukakan bahwa seseorang yang mendengar dari orang yang jujur tentang adanya sebuah Negara Yaman misalnya, tentu ia membenarkan dan mempercayai adanya Negara itu. Kalau berita itu didengarnya dari orang banyak, sudah tentu ia lebih percaya meskipun kepercayaannya itu tidak terhindar dari terjadinya kebimbangan manakala ia berhadapan dengan keragu-raguan. Jika ia melihat photo Negara itu maka ia semakin percaya; dan kuatnya bukti ini semakin memperkecil terjadinya kebimbangan. Apabila ia melihat Negara itu dan melihat tanda-tandanya, maka ia bertambah yakin dan hilanglah rasa keraguannya. Selanjutnya, jika ia tinggal di situ dan melihat dengan mata kepalanya sendiri, maka tidak ada tempat bagi keraguan yang membimbiangkannya. Dan kepercayaannya itu meresap dengan kuat kedalam jiwanya sehingga dapat dikatakan mustahillah baginya menarik kembali kepercayaannya itu sekalipun semua orang sepakat menentangnya. Kemudian, apabila ia mengadakan penelitian dengan mempelajari hal ihwal keadaannya, maka hal ini menambah pengetahuannya dan tambah memperjelas kepercayaannya.
Maka demikian pulalah sikap manusia terhadap ‘aqidah keagamaan. Di antara mereka ada yang menerimanya dengan cara melalui hafalan dan dipercayainya sebagai adat kebiasan (kepercayaan tradisonal). Kepercayaan macam ini tidak akan luput dari timbulnya kebimbangan bilamana berhadapan dengan keraguan. Ada yang memperolenya dengan jalan memperhatikan dan berfikir sehingga kepercayaannya semakin mendalam dan keyakinannya semakin kuat. Ada yang mendapatkannya dengan cara selalu tafakkur seraya memohon pertolongan dengan jalan taat kepada Allah s.w.t., sambil melaksankan ibadah yang sebaik-baiknya. Dengan jalan demikian, bersinarlah di dalam hatinya lampu-lampu hidayah yang menyebabkan ia mampu melihat dengan mata hatinya apa yang dapat menyempurnakan kepercayaan dan keyakinannya. Juga ia dapat melihat apa yang menjadikan hatinya semakin mantap, sebagaimana firman Allah di dalam Surat Muhammad: 17,

,,Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan ketaqwaannya)”.
Contoh tersebut dimaksudkan agar kita meningkatkan diri dari lembah taqlid di bidang Tauhid, mempergunakan akal fikiran di dalam memahami ‘aqidah, memohon pertolongan dengan jalan taat beribadah kepada Allah s.w.t. untuk mengerti dasar-dasar agama sehingga kita sampai mencapai jenjang orang-orang terkemuka dan meningkat maju menyelesuri jalan-jalan kesempurnaan.
b.      Kesatuan ‘Aqidah
Inilah yang merupakan pengertian pokok dalam keimanan, yakni ‘aqidah yang untuk menyiarkannya itulah Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitab suci-Nya, mengutus semua rasul-Nya dan dijadikan sebagai wasiat-Nya baik untuk golongan awwalin (orang-orang dahulu) dan golongan akhirin (orang-orang belakangan).
Itulah ‘akidah yang merupakan kesatuan yang tidak akan berubah-ubah karena pergantian zaman atau tempat tidak pula berganti-ganti karena perbedaan golongan atau masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman:

,,Allah telah mensyari’atkan agama untukmu semua yaitu yang diwasiatkan kepada Nuh yang Kami wahyukan padamu, juga yang Kami wasiatkan kepada Iberahim, Musa, dan Isa’, hendaklah kamu semua menegakkan agama itu dan jangan berselisih didalam melaksanakannya”.(Q.S. Syura:13)
Jelaslah dari ayat diatas itu bahwa agama yang disyari’atkan oleh Allah Ta’ala kepada kita itu adalah sebagaimana yang pernah diwasiatkan kepada rasul-rasul-Nya yang pokok-pokok ‘akidah dan tiang-tiang atau rukun-rukun keimanan. Jadi bukannya cabang-cabangnya agama atau syari’at-syari’atnya yang berupa amalan. Sebabnya ialah karena setiap ummat itu tentu memiliki syari’at-syari’at amaliah yang sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal-ihwal serta jalan fikiran serta kerohanian mereka itu pula.
Hal ini terang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

,,Untuk masing-masing dari kamu semua itu Kami buatkan aturan dan jalan (yang harus ditempuhnya)”.(Q.S. Maidah, 48)
c.    Sebabnya ‘Aqidah itu satu dan kekal
‘Aqidah sebagaimana yang diuraikan dimuka itu oleh Allah Ta’ala dijadikan umum dan merata untuk seluruh ummat manusia, kekal sepanjang masa, sebab sudah nyatalah bekas-bekas kemamfaatan dan keperluannya, baik dalam kehidupan perorangan ataupun perkembangan masyarakat ramai.
Marilah kita kupas secara terperinci:
Pertama ialah ma’rifat kepada Allah ta’ala yang akan memancarkan berbagai perasaan yang baik dan dapat dibina diatasnya semangat untuk menuju kearah perbaikan. Ma’rifat ini dapat pula memberi didikan kepada hati untuk senantiasa menyelidiki dan meneliti mana-mana yang salah dan tercela, malahan dapat menumbuhkan kemauan untuk mencari keluhuran kemuliaan dan ketinggian budi dan akhlak dan sebaliknya juga menyuruh seseorang supaya menghindarkan dirinya dari amal perbuatan yang hina, rendah dan tidak berharga sedikitpun.
Kedua ialah ma’rifat kepada malaikatnya Allah Ta’ala. Hal ini dapat mengajak hati sendiri untuk mencontoh dan meniru perilaku mereka yang serba baik dan terpuji itu, juga dapat tolong-menolong dengan mereka untuk mencapai yang hak dan luhur. Selain itu mengajak pula untuk memperoleh penjagaan yang sempurna, sehingga tidak satupun yang timbul dari manusia itu melainkan yang baik-baik dan segala tindakannyapun tidak akan ditujukan melainkan untuk maksud yang mulia belaka.
Ketiga ialah ma’rifat kepada kitab-kitab suci Allah Ta’ala. Ini adalah suatu ma’rifat yang memberikan arah untuk menempuh jalan yang lurus bijaksana dan diridhai oleh Tuhan yang tentunya sudah digariskan oleh Allah Ta’ala agar seluruh ummat manusia itu mentaatinya. Sebabnya ialah karena halnya dengan melalui jalan inilah, maka seseorang itu dapat sampai kearah kesempurnaan yang hakiki, baik dalam segi kebendaan (materi) atau segi kerohanian dan akhlak (adabi).
Keempatnya ialah ma’rifat kepada rasul-rasul Allah Ta’ala. Dengan ma’rifat ini dimaksudkan agar setiap manusia itu mengikuti jejak langkahnya, memperhias diri dengan meniru akhlak para rasul itu. Selain itu juga bersabar dan tabah hati dalam mencontoh sepak terjang beliau-beliau itu sebab sudah jelaslah bahwa tindak langkahnya para rasul itu mencerminkan suatu teladan yang tinggi nilainya dan yang bermutu baik sekali, bahkan itulah yang merupakan kehidupan yang suci dan bersih yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala agar dimiliki oleh seluruh ummat manusia.
Kelima ialah ma’rifat kepada hari akhir dan ini akan menjadi pembangkit yang terkuat untuk mengajak manusia itu berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Keenam ialah ma’rifat kepada takdir dan ini akan memberikan bekal kekuatan dan kesanggupan kepada seseorang untuk menanggulangi segala macam rintangan, siksaan, kesengsaraan dan kesukaran. Sementara itu akan dianggap kecil sajalah segala penghalang dan cobaan, sekalipun bagaimana juga dahsyat dan hebatnya.
Hal-hal sebagaimana diatas itu tampak dengan jelas bahwa ‘akidah itu tujuan utamanya memberi didikan yang baik dalam menempuh jalan kehidupan, menyucikan jiwa lalu mengarahkannya kejurusan yang tertentu untuk mencapai puncak dari sifat-sifat yang tinggi dan luhur dan lebih utama lagi supaya diusahakan agar sampai tingkatan ma’rifat yang tertinggi.
Menempuh jalan yang dilandasi oleh didikan yang murni dan utama yang dilakukan oleh seseorang dengan melalui penanaman ‘akidah keagamaan adalah suatu saluran yang terbesar yang paling tepat dalam memperoleh cita-cita pendidikan terbaik.
Sebabnya demikian itu ialah karena agama itu nyata-nyata mempunyai suatu kekuasaan yang tertinggi dalam hati dan jiwa juga memberikan kesan yang mendalam pada perasaan, bahkan rasanya tidak ada kekuasaan atau pengaruh serta kesan yang dapat ditimbulkan oleh hal-hal lain yang dapat lebih menghasilkan dari pada agama itu sendiri, baik yang sudah dicoba oleh para cerdik cendikiawan para ahli kebijaksanaan ataupun para sarjana pendidikan.
Jadi teranglah bahwa penamaan ‘akidah atau kepercayaan didalam hati dan jiwa itu adalah setepat-tepatnya jalan yang wajib dilalui untuk menimbulkan unsur-unsur kebaikan yang dengan bersendikan itu akan terciptalah kesempurnaan kehidupan, bahkan akan memberikan saham yang paling banyak untuk membekali jiwa seseorang dengan sesuatu yang lebih bermamfaat dan lebih sesuai dengan petunjuk Tuhan.
Bentuk pendidikan yang semacam ini akan memberikan hiasan kehidupan itu dengan baju keindahan, kerapihan dan kesempurnaan, juga menaungkan dengan naungan kecintaan dan kesejahteraan.
Manakala kecintaan sudah terpateri dalam kalbu dan berkuasa untuk menimbulkan tindakan, maka pastilah permusuhan akan lenyap, pertengkaran akan sirna, persepakatan akan diperoleh sebagai ganti percocokan dan persahabatan akan muncul sebagai ganti permusuhan. Dengan demikian seluruh manusia akan saling dekat-mendekati, hubung-menghubungi dan muncullah kerukunan, persatuan serta ikatan yang seerat-eratnya. Setiap orang akan berusaha untuk memberikan sumbangan sebanyak-banyaknya guna kebaikan ummat dan masyarakat dan sebaliknya ummat dan masyarakat itupun berusaha keras untuk memberikan kebahagiaan kepada setiap perorangan serta menyumbangkan tenaganya untuk kebaikan siapapun.
Dari segi ini tampaklah betapa besar hikmatnya, mengapa keimanan itu dijadikan umum dan kekal, tidak berbeda antara keimanan yang diajarkan oleh Tuhan dizaman dahulu dan dizaman sekarang, bahkan dimasadan di tempat manapun. Semua sama dan satu macam.
Tidak suatu generasi atau ummatpun yang dibiarkan kosong oleh Allah Ta’ala tanpa mengutus Rasul-Nya kepada mereka itu yang diberi tugas untuk mengajak kepada keimanan yang sedemikian ini serta menacapkan dalam-dalam akarnya ‘akidah itu dalam hati.
Sebagian besar dakwah untuk pembaharuan ‘akidah itu diberikan oleh Allah Ta’ala setelah rusaknya hati ummat manusia dan tersesatnya kepercayaan yang mereka miliki, juga runtuhnya semua akhlak dan perikemanusiaan. Disaat itu pasti nyata sekali kebutuhan manusia kepada suatu kekuasaan yang ampuh yang dapat mengembalikan mereka kepada fithrah asli mereka yang benar dan sejahtera. Bimbingan semacam itu mutlak diperlukan oleh ummat, agar secara langsung dapatlah manusia itu meneruskan perbaikan kemakmuran bumi dan agar kuat pula untuk membawa amanat kehidupan di alam semesta ini.
‘Akidah ini merupakan ruh bagi setiap orang; dengan berpegang teguh padanya itu ia akan hidup dalam keadaan yang baik dan menggembirakan, tetapi dengan meninggalkannya itu akan matilah semangat kerohanian manusia. Ia adalah bagaikan cahaya yang apabila seseorang itu buta dari padanya, maka pastilah ia akan tersesat dalam liku-liku kehidupannya, amlahan tidak mustahil bahwa ia akan terjerumus dalam lembah-lembah kesesatan yang amat dalam sekali.
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

,,Adakah orang yang sudah mati, kemudian Kami (Allah) hidupkan dan Kami berikan padanya cahaya yang terang yang dengannya itu ia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam keadaan gelap gulita yang ia tidak dapat keluar dari situ?”.(Q.S. An’am:122)
 Memang ‘aqidah adalah sumber dari rasa kasih sayang yang terpuji, ia adalah tempat tertanamnya perasaan-perasaan yang indah dan luhur, juga sebagai tempat tumbuhnya akhlak yang mulia dan utama. Sebenarnya tidak suatu keutamaanpun, melainkan ia pasti timbul dari situ dan tidak suatu kebaikanpun, melainkan pasti bersumberdari padanya.
Al-Qur’an Alkarim, diwaktu memperbincangkan perihal kebaikan, maka disebutkanlah bahwa ‘aqidah itulah yang menjadi perintis atau pendorong dari amal-amal perbuatan yang sahih itu. Jadi ‘aqidah diumpamakan sebagai pokok yang dari situlah munculnya beberapa cabang, atau sebagai fundamen yang diatasnyalah bangunan didirikan. Allah SWT, berfirman:

,,Bukanlah kebaikan itu jika kamu semua menghadapkan mukamu kearah timur atau barat, tetapi yang disebut kebaikan itu ialah kebaikan seseorang yang beriman kepada Allah, hari akhir (hari kiamat), malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya itu kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang minta-minta, orang-orang yang berusaha melepaskan perbudakan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, memnuhi janji apabila berjanji, sabar dalam kesengsaraan dan kemelaratan dan juga diwaktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah”.(Q.S. Al-Baqarah, ayat:177).

d.        Akal Memperkuat ‘Aqidah
Namun demikian haruslah dimaklumi bahwa semua ‘aqidah itupun ditopang/dikuatkan oleh akal dan dimantapkan oleh fikiran sehat. Oleh karenanya, maka Allah memuliakan akal itu dengan menjadikannya sebagai sasaran perintah, sebagai tempat tergantungnya pertanggungan jawab dan menganjurkannya supaya melakukan penelitian serta pemikiran, sebagaimana firman-Nya.

          ,,Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermamfaat tanda-tanda kekuasaan Allah dan Rasul-Rasul itu bagi orang-orang yang tidak percaya”.(Q.S. Yunus:101)


,,Maka apakah mereka tidak melihat langit yanga da di atas mereka bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padannya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pengajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali. Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak mamfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air pohon kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Untuk menjadi rizki bagi hamba-hamba. Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati. Seperti itulah terjadinya kebangkitan”.
Sebaliknya, Allah mencela mereka yang tidak mau mempergunakan akal fikirannya, sebagaimana firman-Nya di dalam Q.S. Yusuf:105,

,,Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah)di langit dan bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya”.

e.         Pembagian ‘Aqidah Islam
‘Aqidah Islam terbagi kepada empat bagian pokok dan masing-masing bagiannya mempunyai banyak cabang.
1.        Al Ilahiyyat (Ketuhanan), yaitu yang memuat pembahasan yang berhubungan dengan Tuhan dari segi sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, dan af’al (pekerjaan-pekerjaan)-Nya. Juga dipertalikan dengan itu semua yang wajib dipercayai oleh hamba terhadap Tuhan.
2.        An Nubuwwat (Kenabian), yaitu yang membahas semua yang bersangkutan dengan para Nabi a.s. mengenai sifat-sifat mereka, kema’shuman (keterpeliharaan) mereka, tugas mereka dan kebutuhan akan keutusan mereka. Dihubungkan dengan itu sesuatu yang bertalian dengan para wali r.a., mu’jizat, karamah dan tab-kitab samawi.
3.        Ar Ruhaniyyat (Kerohanian), yaitu yang memuat pembahasan tentang apa yang berhubungan dengan alam yang bukan materi, seperti malaikat, jin dan roh.
4.        As Sam’iyyat (Masalah-masalah yang hanya didengar dari syara’), yaitu pembahasan mengenai yang berhubungan dengan kehidupan di alam barzah, kehidupan di alam akhirat, keadaan alam kubur,tanda-tanda hari qiamat, ba’ats (kebangkitan dari kubur), mahsyar (tempat berkumpul), hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan).

B.       Zikir
Asal zikir adalah ash-shafa, artinya bersih dan hening. Wadahnya adalah al-wafa, artinya menyempurnakan. Dan syaratnya adalah al-hudhur, artinya hadir hati sepenuhnya. Hamparannya adalah amal saleh. Dan khasiatnya adalah pembukaan dari Tuhan Al-Azis Ar-Rahman.
Menurut bahasa, zikir artinya ingat atau sebut. Kalau dalam pengertian ibadah, zikir berarti suatu amal yang disebut berzikir. Jadi zikir Allah atau zikrullah, artinya ingat kepada Allah atau menyebut Allah.
Q.S. Al-Jum’ah: 10

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (ingatlah kepada Allah) dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.”
            Perkataan “zikir” dapat diartikan dengan ingat, namun yang dimaksudkan dengan “zikir” menurut orang shufi seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Athaillah ialah “menyingkirkan lupa dan lalai dengan selalu ingat hati kepada Allah”. Abu Bakar Wasiti pernah ditanya tentang makna zikir beliau menjawab, “Keluar dari lapangan lupa dan masuk ke lapangan musyahadah, karena saking takut dan didorong oleh cintanya yang mendalam”.[3]
Zikir seperti apa yang kami kemukakan di atas dapat berbentuk lisan atau ingatan hati, baik dengan menyebut nama atau sifat atau hokum atau perbuatan Allah, baik dalam bentuk do’a, salawat kepada para Nabi dan rasul-Nya, atau dengan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah yang berbentuk ucapan atau perbuatan anggota. Jadi pada pokoknya, zikir dalam artian umum dapat berbentuk lisan, perbuatan dan ingatan hati.
            Musyahadah, khalwat, dan zikir sangat penting untuk terbukanya dinding pendapatan nissi (perasaan pancaindera yang lima) dan terbukanya beberapa rahasia alam dan pekerjaan Allah Ta’ala yang kita lemah mendapatkannya. Dan ruh itu adalah sebagian dari alam. Adapun sebabnya terbuka hijab (dinding) itu adalah apabila ruh itu kembali dari pendapatan lahir kepada batin, niscaya lemahlah seluruh kelakuan nissi (perasaan), dan menjadi kuatlah segala kelakuan ruh, dan menanglah dia dengan kekerasan.[4]
Menurut Ensiklopedi Islam, zikir (= menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, perbuatan baik). Ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah SWT dengan selalu ingat kepada-Nya; keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam suasana musyahadah (saling menyaksikan) dengan mata hati, akibat didorong rasa cinta yang mendalam kepada Allah SWT.
Ibnu Athaillah, seorang sufi yang menulis Al-Hikam (Kata-Kata Hikmah) membagi zikir kepada tiga bagian yaitu: zikir jalli (zikir jelas, nyata), zikir khafi (zikir yang samar-samar) dan zikir haqiqi (zikir yang sebenar-benarnya).
Zikir Jalli ialah suatu perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang mengandung artian pujian rasa syukur, dan doa kepada Allah SWT yang lebih menampkakan suara yang jelas untuk menuntun geraj hati. Misalnya, dengan membaca tahil (mengucapkan kalimat la ilahail lallah = tiada Tuhan selain Allah), tasbih ( mengucapkan kalimat subhaanaallah = Maha Suci Allah), takbir (mengucapkan kalimat Allahu Akbar = Allah Maha Besar), membaca Al-Qur’an atau do’a lainnya. Mula-mula zikir ini diucapkan lisan, mungkin tanpa dibarengi ingatan hati. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang awam (orang kebnyakan). Tetapi hal ini dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai ucapan-ucapan lisan itu.
Zikir Jalli ini ada yang sifatnya muqayyad (terikat)dengan waktu, tempat atau amalan tertentu lainnya. Misalnya ucapan-ucapan dalam salat, ketika melakukan ibadah haji, doa-doa yang diucapkan ketika akan makan, sesudah makan, akan tidur dan sebagainya.
Zikir Khafi adalah zikir yang dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati, baik disertai zikir lisan ataupun tidak. Orang yang sudah mampu melakukan zikir seperti ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT. Ia selalu merasakan kehadiran Allah SWT kapan dan di mana saja.
Dalam dunia sufi terdapat ungkapan bahwa seorang sufi ketika melihat suatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu, tetapi Allah SWT. Artinya: bukan berarti bahwa benda itu adalah Allah SWT, tetapi pandangan hatinya jauh menembus melampaui pandangan matanya.
Zikir Haqiqi merupakan tingkatan yang paling tinggi, yaitu zikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniah, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa raga dari larangan Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.[5]
Di samping itu, kegunaan zikir yang bersifat umum adalah untuk:
1.      Memperlunak hati manusia sehingga hati manusia dapat melihat kebenaran dan bersedia mengikuti dan menerima kebenaran.
2.      Membangkitkan kesadaran bahwa Allah Maha Pengatur dan apa yang telah ditetapkan-Nya adalah baik, hanya mungkin pada sesuatu saat manusia menilainya tidak baik, karena bertentangan dengan nafsu keinginannya namun apa yang terjadi manusia belum mengetahui tentang hikmah yang terkandung di balik peristiwa itu, tetapi kalau peristiwa itu telah berlalu, dan manusia telah mengetahui hikmahnya, barulah ia sadar bahwa Allah tidak menghendaki melainkan yang baik saja, karena itu ia harus redha menerima apa yang telah terjadi.

3.      Meningkatkan mutu apa yang telah dikerjakan, karena sesuatu amal perbuatan, Allah tidak menilainya dari segi lahirnya saja, tetapi Allah menilai dari segi motip dan keikhlasan dalam memperbuatnya, apakah pada saat memperbuat perbuatan itu dengan keyakinan bahwa perbuatan itu terjadi dengan karunia Allah atau dari yang lainnya. Jadi pada pokoknya Allah menilai yang batin dan manusia hanya menilai yang lahirnya.
4.      Memelihara diri dari godaan setan.
5.      Menjauhkan kita dari kemaksiatan.

Demikianlah kegunaan dan mamfaat zikir ini bagi manusia, karena itu sekian banyak ayat, sunnah dan pendapat ulama yang mendorong agar selalu zikir kepada Allah, dan dihubungkan pula apabila manusia ingat kepada Tuhannya, Tuhan pun ingat kepadanya, dan dijanjikan pula pahala dan ganjaran pada hari akhirat nanti bagi orang yang selalu zikir.

Al-Hasan berkata, “Nantikan kelezatan itu pada tiga perkara; dalam sembahyang, zikir dan membaca Alquran. Apabila kamu telah menemuinya, dan apabila kamu belum menemuinya berarti pintu masih tertutup.”


C.      Hubungan ‘Aqidah dengan Zikir
Dalam buku Dr. Shaleh bin Ghanim al-Sadlan, dalam karangannya yang berjudul Do’a Zikir qouli dan fi’li dituliskan dalam Allah SWT telah berfirman:   

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Zikir menurut tuntunan syariat Islam dan al-Quran adalah menyebut nama dan mengingat Allah dalam setiap keadaan. Tujuannya adalah untuk menjalin ikatan batin (kejiwaan) antara hamba dengan Allah sehingga timbul rasa cinta hormat dan jiwa muraqabah (merasa dekat dan diawasi oleh Allah). Maka dengan zikir iman seseorang jadi hidup, terjalin rasa kedekatan dengan Allah. Rasa cinta hormat dan dekat ini akan merupakan benteng atau kendali yang paling kuat dan efektif untuk mengendalikan krida nafsu-nafsu jeleknya, sehingga tidak akan mudah tergoda berbuat haram dan sangup mengendalikan hawa nafsu amarah dan lauwamahnya. Adanya rasa cinta hormat dan rasa dekat pada Allah setiap saat tentu mendorong rasa lega dan puas bila berbuat taat akan segala perintah Allah, dan tersiksa bila sampai lupa tidak mengerjakaan apa yang diridhai Allah.
Jadi fungsi zikir dalam syariat Islam adalah untuk menjalin hubungan batin atau kejiwaan seorang hamba dengan Tuhannya. Hubungan ini mengubah iman dari hanya kepercayaan yang masih samar, menjadi hubungan batin yang hidup dan melahirkan rasa cinta taat dan hormat pada Allah SWT setiap saat. Jadi zikir menghidupkan iman dan menjalin rasa cinta taat pada Allah. Islam memang agama yang menekankan dan mengutamakan iman saleh. Oleh karena itu wajar bila fungsi zikir semata-mata untuk menjalin dan menghidupkan hubungan batin dengan Allah. Jadi tekanan zikir adalah untuk mengingat Allah sepanjang masa. Adapun menyebut mengucapkan nama Allah atau ungkapan “Laa ilaha illa ‘llah” adalah untuk meneguhkan ingatan hamba pada Allah.
Hal ini jauh berbeda dengan ajaran tasawuf. Karena tekanan ajaran tasawuf adalah untuk mencapai penghayatan fana’ dan makrifat atau bahkan ada yang ingin mencapai penghayatan bersatu dengan Allah. Maka zikir dalam tasawuf dijadikan wasilah atau tangga untuk mencapai penghayatan fana’ dan makrifat.
Oleh karena itu, zikir dalam taswuf harus dilakukan dengan aturan-aturan dan kaifiyat-kaifiyat khusus yang diatur dan ditentukan berdasarkan ijtihad masing-masing ulama sufi itu sendiri, atau oleh masing-masing Pembina aliran tarekat tertentu, seperti Syeh Abd al-Qadir al-Jilani bagi kaum Qadiriyah, dan sebagainya.[6]


[6] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persabda,1997), hlm. 114

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List