Sunday 23 October 2011

A.    Pengertian Aliran Qadariah
Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Sedangkan pengertian menurut terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak terintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut , dapat di fahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran ynag memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[1]  
B.     Asal-usul Kemunculan Aliran Qadariyah
Aliran qadariyah mula-mula timbul pada tahun 70 H/689 M. tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad bin Dirham dan Ghailan Al-Dimasyqi, Pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M). Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya Ma’bad al-juhani berguru dengan al-Bisri, sebagaiman Washil bin Atha’ tokoh pendiri Muktazilah. Jadi Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus, ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang tertarik engan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maulana Ustman bin Affan. Kedua tokoh qadariyah ini amti terbunuh. Mabad al-juahni mati terbunuh dalam pertempuran maelawan Hajjaj tahun 80 H. ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman al-Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al- Dimasyqi di hukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M), khalifah dinasti Umayyah kesepuluh.hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebar luaskan faham qadariyah yang dianggap membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyebar luaskan faham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah umar bin Abdul Aziz (717-720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga umar wafat diganti oleh Yazid II (720-724M). Baru pada masa pemerintahan Hiyam bin Abdul Malik (724-743M) kegiatan Ghailan terhenti dengan eksekusi hukuman mati yang di jatuhkan kepadanya.[2]          
Latar belakang timbulnya qadariah ini sebagai Isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang di anggapnya kejam . Apabila fikroh Jabariah beependapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang , hal itu karena sudah di takdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman  Bani Umayyah, maka fikroh qadariah mau membatasi  qadar tersebut.
Mereka mengatakakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah itu telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbutannya. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak . Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, selamat atau celaka seseorang itu ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut  adalah sesaat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.[3]
C.     Pendapat-Pendapat Aliran Qadariah
Pemuka Mazhab ini adalah Ghailan Al-Dimisqi. Dia di kenal sebagai sebagai seorang yang alim , mengutamakan hidup zuhud  dan takwa serta giat berdakwah mengajak orang mukmin untuk berpegang kepada akidah yang benar : Allah Maha Esa dan Mahaadil.
            Dalam masalah ke Tuhanan, ia menafikan sifat-sifat ma’ani yang lima itu yaitu lmu, qudrah, iradah, hayah, sama, bashar dan kalam. Dia menafsirkan sifat-sifat ini sebagai identik dengan dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
Adapun tentang Iman, ia mengatakan bahwa iman itu adalah makrifah serta mengakui dengan lisan adanya Allah dan Rasul-Nya. Yakni dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan itu bukan dari iman. Amalan menduduki tempat kedua setelah iman. Artinya apabila seseorang telah menyatakan imannya dengan pengakuan hati dan ucapan lisan, maka dia tidak lagi sesudahnya untuk beramal seperti shalat, puasa dan sebagainya melainkan dengan penangguhan karena iman itu sendiri tidak rusak karenanya.
Tentang politik ia mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Adapun pendapat yang khas sehingga karena itu golongan ini di sebut Qadariah adalah pendapatnya tentang kedudukan manusia di atas Bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan kuasa penuh dalam menentukan amal perbuatan yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan.Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia di tentukan oleh manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.[4]  
Menurut Dr. Ahmad amin dalam kitabnya Farjul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:
1.         Orang yng berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2.         Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Mansuia sendirilah kata mereka, yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah maka manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk ( siksa neraka ) atas segala amal perbuatan yang salah dan dosa karena itu pula maka Allah SWT berhak di sebut adil.
3.         Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar dan melihat dengan Dzat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas dzat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu menurut qadariyah  sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan.
4.         Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana ynga tidak baik, walaupun Allah tida menurunkan Agama. Sebab menurutnya segala sesuatu ada memiliki sifat yang dapat menyebabkan baik atau buruk. Misalnya, benar itu memiliki sifat-sifat sendiri yang menyebabkan baik, dan juga sebaliknya ialah bohong itu memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin dan menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap perbuatan kufur (tidak berterimakasih) atas kebaikan yang di terima dan memberikan makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan, walaupun hal itu semua tidak di ajarkan oleh agama.[5]
Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:
القدرية مجوس هذه لأمة
Artinya:
“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah.
Ayat yang boleh membawa kepada faham  qadariyah adalah:
ان الله لايغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأ نفسهم
Artinya:
Tuhan tidak merobah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka merobah apa yang ada pada diri mereka.
Melihat pada ayat seperti yang tersebut di atas,  tidak mengherankan kalau faham qadariah, sungguhpun penganjur-pengajurnya yang pertama telah meninggal dunia, masih tetap terdapat  di dalam kalangan umat islam.[6]

9 comments:

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List