A. Pengertian Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta baagi segala mperbuatannyan; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskqan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrahatau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasdal dari pengewrtian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta baagi segala mperbuatannyan; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskqan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrahatau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasdal dari pengewrtian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan qadariyah di berikan kepdada aliran yang berpendapat bahwa qadar menetukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupinyang jahat. Qadariyah pertama sekali di munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang tabi’I yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun ghailan adalah serorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Husna bin affan.
Sementara itu, W. Montgomeriy Watt menemukan dokukmen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahsa Jerman yang di publikasikan melalui majalah Der islam pada 1933. arikel ini menjelaskan bahwe paham qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. hasan Al-Basri ( 642-728 ) adalah anak seorang tahanan di Irak. Para peneliti sebelumnya sepakat mengenai hal ini kaena penganut qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dsengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri.
Paham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelumnya islam kelihtannya di pengaruhi oleh faham Fatalis. Karena itu, ketika faham qdariyah dianggap pertentangan dengan doktrin islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketikas itu. Tantang itum sangat mungkin tejadi karena para pejabat pememrintahan menganut faham gerakan Qadariyah.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.[1] Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepâda qàdar atau qada Tuhan.[2]
Tèntang kapan munculnya paham qadariyah dalam Islam, secara pasti tidak dapat diketahui. Namun ada sementara para ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu Sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.
Tokoh pemikir pertama kali yang menyatakan paham qadariyah ini adalah Ma’bad al-Juhani, yang kemudian diikuti oleh Ghailan al-Dimasqi. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Amin berpendapat bahwa paham Qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal Irak yang menganut Kristen dan kemudian masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari tokoh inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi menerima paham qadariyah.
Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Selanjutnya Qadariyah, sebagaimana dikemukakan Ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbüätan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri.
Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Mushthafa al-Ghurabi antara lain menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanákan ãpa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak bolèh terjadi.
Pemahaman tentang Qadariyah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat al-Qudrat yang dimiliki oleh Allah, karena pemahaman terhadap sifat al-Qudrat ini lebih ditujukan kepada upaya ma’rifat kepada Allah, sedangkan paham Qadariyah lebih ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat yang dimiliki manusia dengan qudrat yang dimiliki Tuhan. Qudrat Tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan (al-maqdurat), serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paham qadariyah telah meletakkan manusia padá posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas keheñdak dan kemauan sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki.
Dengan demikian paham qadariyah di samping berbeda dengan paham tentang sifat Qudrat Allah, juga berbeda dengan paham takdir yang umumnya dipahami masyarakat yaitu paham yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu sejak azali, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan terhadap dirinya.
B. Sejarah Qadariyah Dan Faham Yang Dikembangkannya
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasarkatanya adalah qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
Aliran qadariyah ini dirkirakan muncul pada tahun 70 H dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya.
Versi pertama dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat beberapa ahli teologi bahwa faham qadariyah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.
Versi kedua, masih dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa faham qadariyah ini pertama kali dimunculkan oleh seorang Kristen Irak yang masuk Islam kemudian kembali kepada Kristen yang bernama Susan.
Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai dasar pemikiran mereka adalah:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi: 29)
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran: 165).
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra’d:11).
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 111).
Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum qadariyah ini diantaranya:
1. Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
2. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah.
3. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
C. Doktrian-doktrian Qadariyah
Dalam kitab Al-Mila wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah di satukan dengan pembahsan tentang doktrin mu’Tazilah. Sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalanga mu’tazilah sebab paham ini juga menjadikan salah satu doktrinMu’tazilah. Akibatnya seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilahkarena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campurtangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat di pahami bahwa doktrin qadariyah bahwa dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendir. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendanya sendiri melakukan perbuatan baik dan jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikannya yang dilakukan dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatah yang di pertbutnya. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian taqdir yang umum di pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang mengataka bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikurti hukum alam. Disinilah terlihat semakin besar wilayah yang dimiliki kebebasan yang dimiliki manusia.
Dengan pemahaman seperti ini, bukan Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Banyak Al – Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini misalnya dalan surat Al-kahfi: 29
Arinya: katakanlah kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau berimanlah dia, dan siapa yang ingi kafir, biarlah ia kafir. (Q.S.Al-kahfi : 29)
Dan dalam surah Ali Imran : 165 disebutkan :
Artinya:“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri".
Latar balakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila fiqroh jabariyah yang berpendapat bahwa khalifah bani umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah yang member pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya endiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah itu telah menentukan dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu, manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya (kholiqul af’al). manusia harus memiliki kebebasan berkehendak. Orang-orang yang berpendapat bahwa amal dan perbuatan manusia itu hanya bergantung pada qadar Allah saja, selamat atau celaka orang itu sudah ditentukan Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapnya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.
Ajaran-ajaran firqoh Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad al juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80 H/690 M). setelah peristiwa ini maka paham Qadariyah mulai surut. Akan tetapi dengan munculnya Firqoh mu’tazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan dari Faham-faham Qadariyah. Sebab antara keduanya, terdapat persamaan demikian filsafatnya, yang selanjutnya disebut kaum Qadariyah Mu’tazilah.
Ada pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran-ajaran Qadariyah ini bukan Ma’bad al juhni. Ada seorang penduduk negeri Irak, yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah Ma’bad al juhni dan Ghailan Ad Damasqi mengambil pemikirannya. Mereka sulit diketahui aliran-aliran, karena mereka dalam segi tertentu mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah dan dalam segi yang lain mempunyai kesamaan dengan Murji’ah, sehingga disebut Murji’atul Qadariyah. Tokoh-tokohnya: Abi Syamr, Ibnu Syahib, Gailani Ad Damasqi dan Saleh qubbah. Mereka ini mempunyai batasan yang berbeda tentang Iman.
D. Pendapat Aliran Kalam Tentang Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Mènurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Quran yang mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat A1-Kahfi [18]: 29:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (٢٩)
Artinya:“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ía kafir.” (Q.S. Al-Kahfi[18]: 29)
0 komentar:
Post a Comment