Saturday, 10 September 2011

A.    Pengetian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjakkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah) (Ahmad bin Ahmad bin ‘Ali al-Muqei al-Fayumi, ia menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah
بذل وسعه  وطاقته في طلبه ليبلغ مجهوده ويصل الي نهايته
Artinya: pengarahan kesanggupan dan kekuatan ( mujtahid ) dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang di tujunya.

Menurut Al-yukani (t.thn: 250), arti etimilogi ijtihad adalah

عبارةعن ا ستفراغ ا لوسع في ا ئ فعل
Artinya: pembicaraan dengan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian  jahada terdapat didalam Al-qur’an surat Ai-Nahl ayat 38, surat an-Nur ayat 53, dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqah), atau juga berarti kelebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat pada sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a (fajtahidu fi al-du’a)”. Dan hadits lain yang artinya “Rasul Allah SAW bersunggu-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (termenologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Qur’an, ijtihad dengan al-sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash, (Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33)
Menurut Abu Zahra (t.th: 379), secara istilah, arti ijtihad ialah:

بذل الفقىة وسعه فى استنباط الاحكا م العمليلة من اد لتها التفصيلية
Artinya: upaya seorang ahli fikih dengan kemapuannya dalam mewjudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480), ijtihad ialah:
 استفرغ الوسع في طلب الظن من الاحكام الشرعية
Artinya: pengarahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum syara’.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran.
Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan ijtihad sebagai:
 بذل الجهد لنيل المقصود
Artinya: pengarahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud.

B.     Dasar-Dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.(Q.S. an-Nisa [4]:105).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

اذاحكم  الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد  ثم اخطأ فله اجر واحد.
Artinya: apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.(Muslim,II, t.th:62).
1.    Al-Qur’an dengan firman Allah swt :
  

Artinya : “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr (59) : 2)

2) Hadits Rasulullah saw:
Artinya : “Apabila seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian mencapai kebenaran maka ia mendapat dua ganjaran. Dan apabila seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian tidak mencapai kebenaran maka ia mendapatkan satu ganjaran”. (HR. Bukhari Muslim).

3) Asar sahabat
Artinya perilaku atau perkataan sahabat contoh sahabat yang ada yaitu pertanyaan Umar bi Abi Khatab r.a, beliau mengatakan sesungguhnya umat telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran namun ia tidak mengetahui akan kebenaran itu sudah tercapai atau tidak.

4) Beberapa fatwa Imam Mujtahidin
Ø  Imam Malik berkata “Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan benar maka periksalah pendapat-pendapatku. Jika terdapat kesesuaian antara pendapatmu dengan Al-Qur‟an dan sunnah maka ambillah dan jika sebaliknya maka tinggalkanlah”.
Ø  Imam Syafi‟I berkata “Jika segala sesuatu telah kukatakan ternyata tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, itulah yang harus kamu ikuti. Dan bila ada hadits sahih telah menyalahi mazbku maka ikutilah hadits tersebut karena sebenarnya hadits itu adalah mazabku.
Ø  Imam Hambali berkata “Janganlah kamu bertauhid (menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber dasarnya) kepadaku atau kepada Imam Malik atau kepada Imam Syafi‟I dan As Sauri tapi ambillah hukum-hukum dari tempat mereka mengambilnya.
C.    Kedudukan dan Bentuk-bentuk Ijtihad
Hukum ijtihad yang dihasilkan oleh beberapa mujtahid dapat berlainan disebabkan tingkat penalaran, pengkajian dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh seseorang mujtahid tersebut. Hukum ijtihad mengikat seorang mujtahid yang bersangkutan artinya harus mengamalkan secara konsisten terhadap hasil pendapatnya selama ia belum mengubah pendapat itu. Ada beberapa bentuk ijtihad, yaitu:
1.      Ijma‟ yaitu kesepakatan para ulama dalam menetapkan masalah hukum yang tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun hadits setelah setelah Rasulullah wafat . ijma‟ dilakukan dengan cara musyawarah dengan besdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits.
2.      Qiyas yaitu menyamakan permasalahan yang tejadi dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya, karena ada kesamaan sifat atau alasan. Contoh hukum minuman keras dapat diqiyaskan dengan khamar karena keduanya ada kesamaan sifat yaitu sama-sama memabukkan.
3.      Ihtisan yaitu menetapkan suatu hukum masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur‟an dan Hadits yang didasrkan atas kepentingan atau kemaslahatan umat.
4.      Ijtihad yaitu meneruskan keduanya berlakunya suatu hukum pada suatu masalah yang telah ditetapkan karena adanya suatu dalil sampai adanya dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut
5.      Maslahah mursalah yaitu memutuskan hukum suatu permasalahan dengan pertimbangan kemaslahatan bersama sesuai dengan maksud syarak yang hukumnya tidak diperoleh dari dalil secara langsung dan jelas.

D.    Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtihad, ada baiknya menjelaskan dulu mengenai rukun ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1.      Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan menjadi yang tidak diterangkan oleh nash.
2.      Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berjtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.      Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4.      Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiyah Syafari al-Umari, t.th: 199-200).
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (t.th: 350), syarat-syarat bagi mujtahid ada dua. Pertama, mengetahui syarat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil dapat diterima fatwa dan pendapatnya.
Menurut Fakkhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi (1988:496-7), syarat-syarat mujtahid ialah sebagai berikut:
1.      Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2.      Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3.      Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.      Mengetahui keadaan lafadz; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-yari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs’), pemeliharaan akal (hifz al-aql’), pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl) dan pemeliharaan harta (hifz al-mal); hajiyyat, dan tahsiniyyat. Kedua, mampu melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-syaukani (t.th; 250-255) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1.        Mengetahui Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2.        Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3.        Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur’an dan Al-Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4.        Mengetahui ilmu ushul fiqh.
5.        Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun syarat-syarat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahra (t.th; 250-2) adalah sebagai berikut:
1.        Mengetahui bahasa arab, karena Al-Qur’an diturukan dalam bahasa arab. Al-Sunnah, sebagai penjelas Al-Qur’an, juga ditulis dalm bahasa arab.
2.        Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.
3.        Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4.        Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
5.        Mengetahui qiyas.
6.        Mengetahui maqashid al-syariah.
7.        Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahm) yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq.
8.        Memilki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Hampir sama dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahra, Wahbah al-Zuhaili (1977: 487-492) mengajukan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1.        Mengtahui makna ayat-ayat hukumyang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik secara bahasa maupun secara bahasa. Mujtahid tidak mesti hafal, tetapi cukup mengetahui tempat-tempatnya sehingga memudahkan baginya dalam menggunakan ayat-ayat hukum tersebut.
2.        Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa maupun istilah. Mujtahid tidak harus hafal, tetapi cukup mengetahui temppat hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab induk hadits.
3.        Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
4.        Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak terdahulu.
5.        Mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya yang disepakati.
6.        Mengetahui ilmu bahasa arab, seperti nahwu, sharaf, ma’ani, dan bayan.
7.        Mengetahui ilmu ushul fiqh karena di dalmnya dibahas dasar-dasar dan rukun ijtihad.
8.        Mengetahui maqhasid al-syari’at dalam penetapan hukum.
Mujtahid muthlaq  ialah mujtahia yang mampu menggali hukum-hukum agama dan sumbernya. Mujtaid ini terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid fil al-madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh madzhab-nya dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh madzhab-nya itu. Contohnya, Abu Ja’far al-Thahtawi dalam madzhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua: (1) mujtahid takhrij; (2) mujtahid tahrijatau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.

E.     Lapangan Ijtihad ( Maihal Al-Ijtihad)
Lapangan atau wilayah ijtihad atau majal l-ijtihad adalah masalah-masalah yang diperolhkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (t.th;354), lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qath’i.
Secara lebih jelas, Wahbah al-Zuhaili (1978: 497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-tsubut atau zhanni al-dalalah).

F.     Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yanh berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib’ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut

G.    Fungsi Ijtihad
Ada beberapa fungsi ijtihad, diantaranya sebagai berikut:
1.      Sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan Hadits.
2.      Sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat dengan berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits.
3.      Sebagai suatu cara yang disyariatkan untuk menyelesaikan permasalahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
4.      Sebagai wadah pencurahan pikiran bagi kaum muslim.

H.    Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah di kalangan para ulama ternyata sangat petik dan berbelit-belit. Secara umum, mereka menyepakati ijtihad Rasul SAW dalam urusan-urusan kemaslahatan yang bersifat keduniawian (al-mashalih al-dunyawiyah), pengaturan taktik dan strategi peperangan (tadabir al-hurub), dan keputusan-keputusan yang berhubungan denganpersengketaan (al-aqdhiyah wa al-khushumah). Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasul SAW dalam urusan-urusan agama (al-ahkam al-syari’ah).
Dalam menanggapi boleh-tidaknya Rasul berijtihad dalam urusan hukum-hukum agama, ulama berbeda pendapat. Pertama, kebanyakan para ahli ushul fiqh membolehkan. Menurut mereka, ini pernah dilakukan oleh Rasul SAW. Kedua, para pengikut Abu Hanifah (Hanafiah) berpendapat bahwa Rasulullah SAW diperintahkan untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu peristiwa yang terjadi, dan beliau mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu saja. Ketiga, kebanyakan pengikut Asya’riah, ahli kalam, dan kebanyakan pengikut Muktazilah tidak menyetujui ijtihad Rasulullah dalam urusan hukum-hukum agama.

I.       Ijtihad: Sumber Dinamika
Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk oleh nas. Di balik itu, kata Roter Garaudy, yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1998: 39), tantangan umat sekarang ada dua macam, taklid kepada Barat dan taklid kepada masa lalu. Taklid model pertama muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara syari’ah yang merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syari’at itu.
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, yaitu dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut:

1.      Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak jauh ini memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam al-Sunnah, yaitu masuknya hadits-hadits palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas.
2.       Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif; memerlukan penalaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List