Wednesday, 14 December 2011

1.    PERTUMBUHAN
a.    Pengertian
Pertumbuhan adalah kata yang luas artinya, yang meliputi pendewasaan, belajar dan perkembangan. Pendewasaan adalah suatu kata yang menyatakan proses dan tingkatan atau kulminasi atau phase pertumbuhan. Misalnya pada sel-sel benih dan pada alat-alat kelamin ada juga tingkat pendewasaan. Perkataan pendidikan pun memiliki arti yang bercabang dua ini perkataan ini meliputi proses dididik yang dijalani dan hasil atau tingkatan terakhir yang dicapai setelah dididik.

Sunday, 11 December 2011

Hakikat Pendidikan
Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?
Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini.

A.   ADMINISTRASI
a.    Administrasi dalam Arti Sempit
Diterjemahkan dari istilah "administratie" yang berarti setiap penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya secara tertulis digunakan dengan maksud untuk memperoleh ikhtisar mengenai keterangan-keterangan itu dalam keseluruhannya dan dalam hubungan satu sama lainnya. (Pariata Westra dalam Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto).

Friday, 2 December 2011

A.      Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama Pancasila sebagai dasar falsafah negara adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material maupun spiritual. Dengan lain perkataan bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai 
yang berasal dari Tuhan baik material maupun spiritual. Bilamana dirinci masalah-masalah yang menyangkut penyelenggaraan negara dalam arti material antara lain, bentuk negara, tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual antara lain moral agama dan moral penyelenggara negara.
Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan sebab akibat antara Tuhan, manusia, dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudkan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat hubungan sebab akibat yang langsung antara Tuhan dengan manusia karena manusia adalah sebagai makhluk Tuhan. Adapun hakikat Tuhan adalah sebagai “causa prima” (sebab pertama). Adapun manusia diciptakan oleh Tuhan karena manusia adalah sebagai makhluk Tuhan (Kaelan dalam Inseklopedi Pancasila, 1995 : 110-115).
B.   Sumber hukum.
a.    Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea ini bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materiil bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/kepercayaan, menjadi motivasi spiritualnya bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan hidupnya yang berkeseimbangan, berkeseimbangan kehidupan material dan spiritual, keseimbangan kehidugan dunia dan akhirat.
b.    Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 29.1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
c.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978.
Tentang Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Pasal 3 : Pedoman sebagaimana tersebut pasal 1 beserta penjelasannya terdapat dalam Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai lampiran merupakan bagian tak terpisah dari ketetapan ini.
Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa), di dalam Bab II No. 1 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang adil dan beradab.
d.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1983. tentang GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA.
Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama, di antara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antar semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan.
e.    Undang-Undang Perkawinan, U. U. No. 1 tahun 1974.
Pasal 1 : Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathim antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.     Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Bab II Pencatatan Perkawinan:
Pasal 2 : (1) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Penctatat sebagaimana dimaksud dalam Undan-undang No. 32 tahun 1954, Tentang Pencatatan Nikah, Talah, Rujuk.
(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan Perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang-undangan mengenai Pencatatan Perkawinan.
C.      Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Asas Universil
Ketuhanan Yang Maha Esa suatu asas yang mengandung kebenaran universil, artinya diakui oleh umat manusia dari zaman purbakala sampai kepada zaman modern dewasa ini, walaupun bentuk dan isinya tidak sama, dan pada setiap zaman itu terdapat pula sementara orang yang tidak memperhatikan atau mengabaikan dan tidak mengakui atau mengingkarinya.
Menurut keyakinan bangsa Indonesia, bila setiap orang bebas merenungkan dan berpikir, maka orang itu tentu mengakui adanya Tuhan itu, karena setiap orang yang menginsafi bahwa ia sebagai manusia tidak menciptakan dirinya dan tidak dapat menguasai jalan hidupnya sendiri, hidup matinya pada tingkatan terakhir berjalan di luar kehendaknya.
Apabila manusia berpikir secara kausalitas, atau hukum sebab akibat, bahwa terjadinya alam semesta dan segala sesusatu di dalam dan sekitarnya berdasar adanya sebab (causa) yang menimbulkan atau menghasilkan akibat (resultat), yang selanjutnya akan merupakan causa baru. Atau bila orang berpikir secara dealektis baik itu buah pikiran (Hegel) maupun Mark, bahwa adanya segala sesuatu ataupun kenyataan-kenyataan kebendaan itu adalah melalui proses perbenturan antara these dan anthithese yang melahirkan synthese, yang untuk selanjutnya menjadi these baru yang bertemu lagi dengan anthithese baru lainnya untuk menghasilkan syinthese baru lain pula. Cara-cara berpikir demikian tidak dapat menghilangkan suara hati nurani manusia untuk tidak mengetahi adanya Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hukum  causalitas orang akan sampai pada pertanyaan : apakah yang merupakan sebab (causa) yang pertama atau suatu sebab yang tidak disebabkan lagi? Mereka mengakui adanya sebab yang pertama itu atau “Causa prima”. Menurut Pancasila apa yang mereka katakan “causa prima” itulah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah suatu kebenaran yang universil, orang dapat tidak mengakuinya, tetapi sikap demikian menurut pandangan hidup Pancasila tidak tepat dan tidak bijaksana. Materialisme yang tidak mengetahui Tuhan itu kenyataannya malah memperhambakan diri kepada benda atau sesama manusia yang menyebabkan kehidupan manusia lebih terkekang, kering dan gersang. Materi sebanyak apapun juga tidak memberi kepuasan batin manusia, malahan menurut sementara filosof Barat sendiri menyebabkan manusia gila, kejam, miskin di dalam kekayaan, sepi dalam keramaian, karena manusia itu melepaskan diri dari fitrahnya, tidak mengakui apalagi berhubungan baik dengan Tuhan yang menciptakan segala-galanya termasuk dirinya sendiri. Manusia modern demikian kering daripada perbendaharaan spirituil.

1.    PENGERTIAN PSIKOLOGI
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa, dan Logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang keberadannya bergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organik behavior) yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Misalnya : insting, refleks, nafsu, dan sebagainya. Jika jasmanniah mati, maka mati pula nyawanya.
Sedangkan jiwa adalah daaya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi seluruh perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewean tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial, dan lingkungan.[1]
Karena sifatnya yang abstrak, maka kita tidak dapat mengetauhui jiwa secara wajar, melainkan kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Jiwa adalah sesuatu yang tidak tampak, tidak dapat dilihat oleh alal diri kita. Demikian pula hakikat jiwa, tak seorang pun dapat mengetahuinya. Manusia dapat mengeetahui jiwa seseorang hanya dengan tingkah lakunya. Jadi tingkah laku itulah orang dapat mengetahui jiwa seseorang. Jadi tingkah laku merupakan  kenyataan jiwa yang dapat kita hayati dari luar.
Pernyataan jiwa kita namakan gejala-gejala jiwa, diantaranya mengamati, menanggapi, mengingat, memikir, dan sebagainya. Dari itulah orang kemudian membuat definisi: Ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa mempunyai penekanan yang berbeda, maka definisi yang dikemukakan juga berbeda-beda.
Di antara pengertian yang dirumuskan oleh para ahli itu, antara lain sebagai berikut:
1)      Menurut Dr. Singgih Dirganunarsa
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
2) Plato dan Aristoteles, bewrpendapat bahwa: psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
3)  John Broadus Waston, memandang psikologi sebagai ilmu pengeetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsangan dan jawaban (respons).[2]

2.    SEJARAH SINGKAT PSIKOLOGI
Jiwa manusia sejak zaman Yunani telah menjadi topik pembahsan para filosof, namun psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri baru dimulai pada tahun 1879 ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologi pertama di kota Leipzig, Jerman. Secara garis besarnya sejarah psikologi dapat dibagi dalam dua tahap utama, yaitu masa sebelum dan masa sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
Sebelum tahun 1879, jiwa dipelaji oleh para ahli filsafat dan para ahli ilmu Fasal (Phisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Para ahli ilmu filsafat kuno, seperti Plato(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Socrates (469-399 SM), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencari hakikat sesuatu dedngan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Pada waktu itu belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai teori dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti semurni-murninya.
Pada abad pertengahan, psikologi masih merupakan bagian dari filsafat sehingga objeknya tetap hakikat jiwa dan metodenya masih menggunakan argumentasi logika. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang mengutarakan teori kesejahteraan psikofhisik (psychophysical paralellism), John Locke (1623-1704) dengan teori tabula rasa mengemukakan, bahwa jiwa anak yang baru lahir masih bersih seperti papan lilin atau kertas putih yang belum ditulisi. Pada masa sebelumnya masalah kejiwaan dibahas pula oleh para ulama Islam seperti Imam Al Gazali (wafat 505 H). Imam Fachrudin Ar-Raazi (wafat 606 H), Al Junaid Bagdadi (wafat 298 H), Al ‘Asyari (wafat 324 H). Pembahasan masalah psikologis merupakan bagian dari ilmu usuluddin dan ilmu tasawwuf.
Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri merupakan masa di mana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah, terlepas dari ilmu filsafat dan ilmu faal. Gejala kejiwaan dipelajari secara lebih sistematis dan objektif. Selain metode eksperimen digunakan pula metode instropeksi oleh W. Wundt. Gelar kesarjanaan W. Wundt adalah bidang kedoteran dan hukum. Ia dikenal sebagai sosiolog dan filosof dan orang petama yang mengaku dirinya sebagai psikolog. Ia dianggap sebagai bapak psikologi, penyusun teori-teori psikologi dan keragaman pemikiran-pemikiran baru. Psikologi mulai bercabang ke dalam berbagai aliran.[3]
  
3.    RUANG LINGKUP PSIKOLOGI
Ditinjau dari segi objeknya, psikologi dapat dibedakan dalam dua golongan yang besar, yaitu:
a.    Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.
b.    Psikologi yang mempelajari dan menyelidiki hewan yang umumnya lebih tegas disebut psikologi hewan.
Psikologi umum ialah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal yang khusus yang menyimpang dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus.
Psikologi khusus ini terdiri atas beberapa macam, antara lain:
1.    Psikologi Perkembangan
2.    Psikologi Sosial
3.    Psikologi pendidikan
4.    Psikologi Kepribadian dan Tipologi
5.    Psikopatologi
6.    Psikologi Kriminal
7.    Psikologi Perusahaan[4]

4.    UPAYA MERUMUSKAN PSIKOLOGI BERDASARKAN PANDANGAN DUNIA ISLAM
a.    Perumusan Psikologi dengan bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Al- Hadits.
Secara umum, sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya adalah al-Qur’an dan al- Hadits. Karenanya pengembangan teori psikologi Islami dapat pula dirumuskan dengan menjadikan al-Qur’an dan al- Hadits sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas dapat dikatakan al-Qur’an dan al- Hadits adalah rujukan utama psikologi Islami. Psikologi Islami memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia. Sementara sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman dan Abul A’la al-Maududi, pokok perhatian al-Qur’an adalah manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an tersedia bahan rujukan yang melimpah bagi perumusan konsep ilmu tentang manusia (ilm al-nafs).[5]
b.   Perumusan Psikologi Bertitik Tolak dari Khazanah Keislaman
Pola ini bertolak dari istilah-istilah atau konsep-konsep yang terdapat dari ilmu-ilmu keislaman tradisional, seperti ilmu kalam, tasawuf, filsafat, dan ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, dan sebagainya. Konsep-konsep psikologi Islami yang diambil dari khazanah ilmu keislaman tradisional itu secara tidak langsung dikembangkan dari al-Qur’an dan al- Hadits. Dengan demikian, dilihat dari semangat dan pengembangannya, ilmu keislaman tradisional diwarnai semangat dan sumber-sumber formal Islam.
Kalau kita cermati pergumulan Islam dalam ilmu keislaman tradisional, maka kita akan mendapati bahwa hasil-hasil pemikiran mereka sudah mencapai tingkatan-tingkatan yang luar biasa. Salah satu perdebatan penting dalam khazanah ilmu kalam adalah apakah manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Perdebatan ini telah menghasilkan perspektif atau aliran yang beragam, yaitu jabariyah, qadariyah, dan asy’ariyah.[6]
c.    Perumusan Psikologi Islami dengan Mengambil Inspirasi dari Khazanah Psikologi Modern dan Membahasnya dengan Pandangan Dunia Islam
Dalam pola ini ilmuan  Muslim menggunakan istilah-istilah pokok dalam khazanah sains modern, dalam hal ini psikologi modern, sebagai inspirasi untuk mengkaji persoalan yang sama dalam pandangan al-Qur’an dan al- Hadits. Cara ini dikategorikan sebagai cara yang tidak langsung dalam upaya mengungkap pandangan al-Qur’an dan al- Hadits tentang manusia. Disebut tidak langsung, tidak lain karena perumus psikologi Islami tidak secara langsung berhadapan dengan al-Qur’an dan al- Hadits, tapi terlebih dahulu melihat konsep atau tema pokok dalam psikologi modern. Dalam konsep-konsep psikologi modern tidak dibicarakan masalah berpikir sebagai ibadah, tetapi Malik B. Badri membahas tafakkkur sebagai cara menuju suatu tingkatan yang oleh Ibnu Taimiyah disebut sebagai al-syuhud al-shahihah, suatu tingkatan ketika “di dalam hati manusia hanya ada cinta, harapan, dan ketundukan kepada Allah SWT”. Pandangan-pandangan Badri ini dituangkan dalam buku al-Tafakkur min al-Musyahadah ila al-Syuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tafakkur.[7]

5.    EPISTEMOLOGI PSIKOLOGI ISLAMI
Persoalan psikologi kontemporer yang dihadapi oleh psikolog muslim adalah mencerminkan krisis epistemologis. Salah satunya adalah putusnya hubungan antara epistemologis yang dibangun oleh para ulama terdahulu dengan ilmuan psikologi sekarang ini yang lebih berpijak pada epistemologi psikologi barat-liberal. Oleh karena itu perlu disambung kembali.
Syed Muhammad Naquib al-Attas ketika menjelaskan pandangannya tentang epistemologi dalam berbagai tulisannya tentang Islamisasi sains semisal dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam dan The Positive Aspects of tasawuf, lebih menjelaskan pada pendekatan psikologi daripada pendekatan fisika ataupun matematika. Sementara Armahedi Mahzar (2002) dalam epistemologinya lebih menjelaskan konsep integralistik dengan memadukan filosofis matematika dan psikologis fenomena.
Al-Attas menekankan, bahwa realitas hanya dapat dipahami jika alat untuk mengetahuinya juga dipahami secara benar. Karena yang akan mengetahui realitas itu manusia, maka memahami realitas manusia menjadi prasyarat sebelum manusia mengetahui realitas di luar dirinya. Oleh karena itu, gagasannya tentang epistemologi tidak dapat dipisahkan dari pemahamannya tentang potensi manusia, baik tradisional maupun modern. Potensi manusia secara tradisional lebih menekankan pada akal sebagai pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Akal sebagai potensi manusia telah disepakati oleh filsuf, sufi, juga mutakallimin. Pendekatan al-Attas ini merupakan akumulasi sains yang digagas oleh Ibnu Sina, al-Gazali, dan ibn ‘Arabi yang lebih mendekati pada model Psychological Framework of Epistemology (Epistemologi Berkerangka Psikologi).
Sementara itu saudara kandung psikologi, yaitu antropologi dan sosiologi juga mengalami perkembangan paradigma dari kontemporer menuju Islami. Antropologi memiliki kesamaan problematik dengan psikologi, yaitu berkaitan dengan manusia. Tokoh yang gencar menggagas tentang Islamisasi ilmu sosial, seperti Ismail al-Furuqi menekankan, bahwa antropologi adalah bagian terpenting dari rencana kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Dalam kancah antropologi muncul keinginan kuat dan visi Islami tentang corak antropologi yang berdimensi keesaan dan transendensi Tuhan, berpijak pada rasionalitas, universalitas, komunitarisme kehidupan, dan kebajikan etik sebagai raison d’etre humanitas yang berbasis pada ajaran moralitas Islam. Merryl Wyn Davies (1988) menegaskan, bahwa antropologi Islam mencurahkan perhatiannya pada studi tentang manusia secara keseluruhan, yakni jajaran unit-unit formasi komunitas, seperti rakyat; masyarakat; bangsa; suku; kebudayaan; atau komunitas multi-sosial dan multi-kultural. Bagi Davies gagasan antropologi Islam mengacu pada kekhasan (genuine) yang paradigmatik, bukan tambal sulam sebab konsep manusia yang diyakini oleh antropologi kontemporer adalah bertentangan dengan Islam dan mustahil mampu memahami persoalan manusia, apalagi komunitas Muslim. Dalam pembentukan menuju antropologi Islam pun terjadi simbiosis antara pandangan tradisional Islam dan Sains kontemporer. Sebagaimana diungkapkan Ahmed (1988) ketika mengonter pandangan Davies yang lebih radikal mengenai Islamisasi antropologi secara total dan menyeluruh. Ahmed lebih memilih bahwa metodologi yang dikembangkan oleh antropologi Islam sepetutnya dapat dipergunakan untuk mengkaji sistem agama lainnya. Bagaimana pun sifat utama ilmuan adalah mampu melepaskan diri dari budaya dan alamnya sehingga ia dapat menjelaskan prilaku manusia dalam konteksnya yang khas tanpa membedakan agama, suku, dan kasta.[8]

6.    ELEMEN-ELEMEN PSIKOLOGI DARI AL-QUR’AN
Dalam Webster’s New World College Dictionary dilelaskan beberapa makna istilah element. Di antara makna tersebut adlah the first or basic principles (prinsip pertama atau dasar). Untuk menjelaskan makna prinsip dasar itu diberikan contoh pada unsur dasar materi yang empat. “…any of the four substances (earth, air, fare, and water) formerly believed to constitute all physical matter”. Artinya: “salah satu dari empat substansi (tanah, udara, api, dan air) yang dipercayai untuk membentuk semua benda fisik”. Jadi, elemen adalah bagian paling dasar dari sesuatu. Susunan dari berbagai elemen (bagian paling dasar) itu membentuk suatu materi (benda). Makna itu adalah makna yang berbuhungan dengan makna fisik-material dan makna esensial. Terhadap makna yang bersifat esensial dan abstrak juga istilah juga istilah elemen dapat digunakan seperti elemen kualitas, elemen faktor, dan lain-lain.
Dengan demikian elemen-elemen psikologi bermakna konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar dari pembentukan teori Psikologi Islami. Konsep-konsep dasar itu menjadi asumsi dasar dalam membentuk teori-teori Psikologi Islami. Asumsi-asumsi dasar tersebut diformulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep al-Qur’an tentang manusia.[9]
a.    Struktur Psikis Manusia Berdasarkan Pemahaman Terhadap Konsep-Konsep Al-Qur’an Tentang Manusia
Struktur yang dimaksud dalam disertasi ini adalah struktur dalam arti abstrak-immaterial, yaitu komposisi yang memperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas yang utuh. Pemahaman ini didasarkan pada rumusan James Drever yang menyatakan bahwa: structure is the composition, arrangement of component paits, and organization of complexs whole, … may also to used of the mind or personality as whole”. Artinya: “struktur adalah komposisi, rangkaian komponen, keseluruhan organisasi yang komplek, … dapat juga digunakan untuk komposisi jiwa atau kepribadian”. Dalam al-Qur’an secara jelas diungkapkan bahwa totalitas diri manusia memiliki tiga aspek dan lima dimensi. Ketiga aspek tersebut adalah aspek jismiah, nafsiah, dan rohaniah. Kelima dimensi psikis manusia adalah al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Dimensi al-nafsu, al-aql, al-qalb berada pada aspek nafsiah. Dimensi al-ruh, dan al-fitrah berada pada aspek rohaniah. Keseluruhan aspek dan dimensi inilah kemudian membentuk suatu komposisi atau struktur sedemikian rupa, sehingga terbentuk struktur atau komposisi psikis manusia.[10]
b.   Ibadah sebagai Motivasi Utama Manusia dalam Berprilaku
Motivasi adalah  adalah istilah umum yang merujuk pada perputaran pemenuhan kebutuhan dan tujuan tingkah laku. Dengan kata lain motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tingkah laku. Dorongan itu dapat mnuncul dari tujuan dan kebutuhan. Berdasarkan munculnya, maka ada motivasi yang muncul dari dalam diri yang disebut dengan motivasi intrinsik yang bersifat batin, dan ada pula yang berasal dari luar diri seseorang, yang disebut dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi yang datang dari luar diri ini dapat saja bersifat batin atau bersifat materi. Motivasi yang bersifat batin, contohnya: dorongan untuk memperoleh ras penghormatan, pujian, kepuasan, kenikmatan, dan lain-lain. Sedangkan motivasi yang bersifat fisik atau materi, contohnya: untuk mendapatkan hadiah berupa materi, untuk mendapatkan uang, dan lain-lain. Yang jelas motivasi itu merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu perbuatan. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa motivasi adalah dorongan yang sangat menentukan tingkah laku dan  perbuatan manusia. Ia menjadi kunci utama dalam menafsirkan dan melahirkan perbuatan manusia. Peranan yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut sebagai niyyah dan ‘ibadah. Niyyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau ber’amal. Sementara ‘ibadah adalah tujuan manusia berbuat atau ber’amal. Maka perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ‘ibadah.[11]
c.    Tiga Dimensional Fungsi Psikis Manusia: Kognisi, Afeksi, dan ‘Amalan
1)   Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif adalah fungsi psikis manusia dsi bidan kesadaran, pemikiran, pengetahuan, interpretasi, pemahaman, idea, kecerdasan, dan lain-lain. Dalam Introduction to Psycology dijelaskan bahwa “cognition is an individual’s thoughts, knowledge, interpretations, understandings, or ideas”. Artinya: kognitif adalah fungsi psikis yang bersifat individual, seperti: pemikiran, pengetahuan, pemahaman, pengertian, atau ide-ide. Fungsi-fungsi ini memancar dari daya (energi) masing-masing aspek dan dimensi psikis manusia. Pada uraian terdahulu telah dirumuskan ada tiga aspek dari manusia, yaitu: aspek jismiah, nafsiah, dan ruhaniah, serta enam dimensi psikis manusia, yaitu: al-jism, al-nafsu, al-’aql al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Masing-masing aspek dan dimensi itu memiliki daya (energi) yang bersifat kesadaran, kecerdasan, pengetahuan, dan pengenalan. Daya-daya itulah yang menyebabkan psikis mempunyai fungsi kognitif.[12]
2)   Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi psikis untuk menentukan sikap atas dasar pertimbangan yang bersifat penilaian terhadap sesuatu. Dalam Introduction to Psychology dijelaskan bahwa “affective is an emotional experience, whether pleasant or unpleasant, mild or intense”. Artinya: Afektif adlah suatu pengalaman emosional, apakah yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, … Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa fungsi afektif adalah fungsi psikis untuk menetukan sikap berdassrkan pertimbangan penilaian terhadap sesuatu.
Sejalan dengan aspek dan dimensi diri manusia, maka ada tiga jenis fungsi afektif manusia, yaitu efektif ruhaniah, afektif nafsiah, dan afektif jismiah.[13] 
3)   Fungsi ‘Amalan
Fungsi ‘amalan adalah tampilan daya-daya psikis dalam bentuk tingkah laku. Dengan kalimat yang lain, dapat dikatakan bahwa ‘amalan adalah bentuk empirik dari day-daya psikis manusia. Sejalan dengan aspek dan dimensi psikis manusia, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi ‘amalan adalah upaya menampilkan masing-masing daya pada aspek dan dimensi psikis manusia tersebut dalam bentuk tingkah laku nyata.
Daya batin mengarahkan kehidupan individu dan daya lahir yang melingkungi individu dan mendukung kehidupannya bertemu pada gerakan perbuatan atau yang disebut dengan ‘amalan. Karena itu, tidak ada artinya pengetahuan imani (fungsi kognisi) dan perasaan insani (fungsi afeksi), jika tidak diwujudkan dalam bentuk perbuatan atau ‘amalan dengan sikap Islami.[14]

Friday, 18 November 2011

A.  Penggunaan Alat Kontrasepsi Menurut Pandangan Islam
Masalah penggunaan alat kontrasepsi menurut pandangan Islam tidak bisa dipisah-pisah antara niat/mitivasi, metode penggunaan, alat dan juga resiko.
Sehingga bila salah satu komponen itu ada yang tidak sejalan dengan hukum Islam, maka penggunaan alat kontrasespsi itu pun menjadi tidak boleh juga.


Sebenarnya wujudnya Allah itu sudah nyata, bahkan merupakan suau hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya dan tidak ada jalan untuk memungkirinya.
Sesungguhnya  hakikat dari zat Tuhan itu tidak mungkin dapat diketahui dengan akal pikiran manusia dan tidak dapat dicapai keadaan atau kenyataan yang sebenarnya. Sebabnya adalah pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, sehingga manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki cara menemukannya atau perantara untuk mencapainya.
Yang dimaksud dengan tauhid al asma wa al sifat  yaitu penetapan dan pengakuan yang mantap atas nama-nama dan sifat-sifat allah SWT yang luhur berdasarkan petunjuk Allah SWT dalam Al-Qur’an dan petunjuk rasulullah dalam haditsnya. Mayoritas ulama salaf yakni ulama yang konsisten dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang shalih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan  Allah SWT untuk diri-Nya, dan apa-apa yang dijelaskan oleh Rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafadz dan makna),  tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah SWT).[1]

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List