Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa, dan Logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang keberadannya bergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organik behavior) yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Misalnya : insting, refleks, nafsu, dan sebagainya. Jika jasmanniah mati, maka mati pula nyawanya.
Sedangkan jiwa adalah daaya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi seluruh perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewean tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial, dan lingkungan.[1]
Karena sifatnya yang abstrak, maka kita tidak dapat mengetauhui jiwa secara wajar, melainkan kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Jiwa adalah sesuatu yang tidak tampak, tidak dapat dilihat oleh alal diri kita. Demikian pula hakikat jiwa, tak seorang pun dapat mengetahuinya. Manusia dapat mengeetahui jiwa seseorang hanya dengan tingkah lakunya. Jadi tingkah laku itulah orang dapat mengetahui jiwa seseorang. Jadi tingkah laku merupakan kenyataan jiwa yang dapat kita hayati dari luar.
Pernyataan jiwa kita namakan gejala-gejala jiwa, diantaranya mengamati, menanggapi, mengingat, memikir, dan sebagainya. Dari itulah orang kemudian membuat definisi: Ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa mempunyai penekanan yang berbeda, maka definisi yang dikemukakan juga berbeda-beda.
Di antara pengertian yang dirumuskan oleh para ahli itu, antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Dr. Singgih Dirganunarsa
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
2) Plato dan Aristoteles, bewrpendapat bahwa: psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
3) John Broadus Waston, memandang psikologi sebagai ilmu pengeetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsangan dan jawaban (respons).[2]
2. SEJARAH SINGKAT PSIKOLOGI
Jiwa manusia sejak zaman Yunani telah menjadi topik pembahsan para filosof, namun psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri baru dimulai pada tahun 1879 ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologi pertama di kota Leipzig, Jerman. Secara garis besarnya sejarah psikologi dapat dibagi dalam dua tahap utama, yaitu masa sebelum dan masa sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
Sebelum tahun 1879, jiwa dipelaji oleh para ahli filsafat dan para ahli ilmu Fasal (Phisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Para ahli ilmu filsafat kuno, seperti Plato(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Socrates (469-399 SM), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencari hakikat sesuatu dedngan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Pada waktu itu belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai teori dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti semurni-murninya.
Pada abad pertengahan, psikologi masih merupakan bagian dari filsafat sehingga objeknya tetap hakikat jiwa dan metodenya masih menggunakan argumentasi logika. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang mengutarakan teori kesejahteraan psikofhisik (psychophysical paralellism), John Locke (1623-1704) dengan teori tabula rasa mengemukakan, bahwa jiwa anak yang baru lahir masih bersih seperti papan lilin atau kertas putih yang belum ditulisi. Pada masa sebelumnya masalah kejiwaan dibahas pula oleh para ulama Islam seperti Imam Al Gazali (wafat 505 H). Imam Fachrudin Ar-Raazi (wafat 606 H), Al Junaid Bagdadi (wafat 298 H), Al ‘Asyari (wafat 324 H). Pembahasan masalah psikologis merupakan bagian dari ilmu usuluddin dan ilmu tasawwuf.
Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri merupakan masa di mana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah, terlepas dari ilmu filsafat dan ilmu faal. Gejala kejiwaan dipelajari secara lebih sistematis dan objektif. Selain metode eksperimen digunakan pula metode instropeksi oleh W. Wundt. Gelar kesarjanaan W. Wundt adalah bidang kedoteran dan hukum. Ia dikenal sebagai sosiolog dan filosof dan orang petama yang mengaku dirinya sebagai psikolog. Ia dianggap sebagai bapak psikologi, penyusun teori-teori psikologi dan keragaman pemikiran-pemikiran baru. Psikologi mulai bercabang ke dalam berbagai aliran.[3]
3. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI
Ditinjau dari segi objeknya, psikologi dapat dibedakan dalam dua golongan yang besar, yaitu:
a. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.
b. Psikologi yang mempelajari dan menyelidiki hewan yang umumnya lebih tegas disebut psikologi hewan.
Psikologi umum ialah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal yang khusus yang menyimpang dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus.
Psikologi khusus ini terdiri atas beberapa macam, antara lain:
1. Psikologi Perkembangan
2. Psikologi Sosial
3. Psikologi pendidikan
4. Psikologi Kepribadian dan Tipologi
5. Psikopatologi
6. Psikologi Kriminal
7. Psikologi Perusahaan[4]
4. UPAYA MERUMUSKAN PSIKOLOGI BERDASARKAN PANDANGAN DUNIA ISLAM
a. Perumusan Psikologi dengan bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Al- Hadits.
Secara umum, sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya adalah al-Qur’an dan al- Hadits. Karenanya pengembangan teori psikologi Islami dapat pula dirumuskan dengan menjadikan al-Qur’an dan al- Hadits sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas dapat dikatakan al-Qur’an dan al- Hadits adalah rujukan utama psikologi Islami. Psikologi Islami memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia. Sementara sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman dan Abul A’la al-Maududi, pokok perhatian al-Qur’an adalah manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an tersedia bahan rujukan yang melimpah bagi perumusan konsep ilmu tentang manusia (ilm al-nafs).[5]
b. Perumusan Psikologi Bertitik Tolak dari Khazanah Keislaman
Pola ini bertolak dari istilah-istilah atau konsep-konsep yang terdapat dari ilmu-ilmu keislaman tradisional, seperti ilmu kalam, tasawuf, filsafat, dan ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, dan sebagainya. Konsep-konsep psikologi Islami yang diambil dari khazanah ilmu keislaman tradisional itu secara tidak langsung dikembangkan dari al-Qur’an dan al- Hadits. Dengan demikian, dilihat dari semangat dan pengembangannya, ilmu keislaman tradisional diwarnai semangat dan sumber-sumber formal Islam.
Kalau kita cermati pergumulan Islam dalam ilmu keislaman tradisional, maka kita akan mendapati bahwa hasil-hasil pemikiran mereka sudah mencapai tingkatan-tingkatan yang luar biasa. Salah satu perdebatan penting dalam khazanah ilmu kalam adalah apakah manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Perdebatan ini telah menghasilkan perspektif atau aliran yang beragam, yaitu jabariyah, qadariyah, dan asy’ariyah.[6]
c. Perumusan Psikologi Islami dengan Mengambil Inspirasi dari Khazanah Psikologi Modern dan Membahasnya dengan Pandangan Dunia Islam
Dalam pola ini ilmuan Muslim menggunakan istilah-istilah pokok dalam khazanah sains modern, dalam hal ini psikologi modern, sebagai inspirasi untuk mengkaji persoalan yang sama dalam pandangan al-Qur’an dan al- Hadits. Cara ini dikategorikan sebagai cara yang tidak langsung dalam upaya mengungkap pandangan al-Qur’an dan al- Hadits tentang manusia. Disebut tidak langsung, tidak lain karena perumus psikologi Islami tidak secara langsung berhadapan dengan al-Qur’an dan al- Hadits, tapi terlebih dahulu melihat konsep atau tema pokok dalam psikologi modern. Dalam konsep-konsep psikologi modern tidak dibicarakan masalah berpikir sebagai ibadah, tetapi Malik B. Badri membahas tafakkkur sebagai cara menuju suatu tingkatan yang oleh Ibnu Taimiyah disebut sebagai al-syuhud al-shahihah, suatu tingkatan ketika “di dalam hati manusia hanya ada cinta, harapan, dan ketundukan kepada Allah SWT”. Pandangan-pandangan Badri ini dituangkan dalam buku al-Tafakkur min al-Musyahadah ila al-Syuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tafakkur.[7]
5. EPISTEMOLOGI PSIKOLOGI ISLAMI
Persoalan psikologi kontemporer yang dihadapi oleh psikolog muslim adalah mencerminkan krisis epistemologis. Salah satunya adalah putusnya hubungan antara epistemologis yang dibangun oleh para ulama terdahulu dengan ilmuan psikologi sekarang ini yang lebih berpijak pada epistemologi psikologi barat-liberal. Oleh karena itu perlu disambung kembali.
Syed Muhammad Naquib al-Attas ketika menjelaskan pandangannya tentang epistemologi dalam berbagai tulisannya tentang Islamisasi sains semisal dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam dan The Positive Aspects of tasawuf, lebih menjelaskan pada pendekatan psikologi daripada pendekatan fisika ataupun matematika. Sementara Armahedi Mahzar (2002) dalam epistemologinya lebih menjelaskan konsep integralistik dengan memadukan filosofis matematika dan psikologis fenomena.
Al-Attas menekankan, bahwa realitas hanya dapat dipahami jika alat untuk mengetahuinya juga dipahami secara benar. Karena yang akan mengetahui realitas itu manusia, maka memahami realitas manusia menjadi prasyarat sebelum manusia mengetahui realitas di luar dirinya. Oleh karena itu, gagasannya tentang epistemologi tidak dapat dipisahkan dari pemahamannya tentang potensi manusia, baik tradisional maupun modern. Potensi manusia secara tradisional lebih menekankan pada akal sebagai pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Akal sebagai potensi manusia telah disepakati oleh filsuf, sufi, juga mutakallimin. Pendekatan al-Attas ini merupakan akumulasi sains yang digagas oleh Ibnu Sina, al-Gazali, dan ibn ‘Arabi yang lebih mendekati pada model Psychological Framework of Epistemology (Epistemologi Berkerangka Psikologi).
Sementara itu saudara kandung psikologi, yaitu antropologi dan sosiologi juga mengalami perkembangan paradigma dari kontemporer menuju Islami. Antropologi memiliki kesamaan problematik dengan psikologi, yaitu berkaitan dengan manusia. Tokoh yang gencar menggagas tentang Islamisasi ilmu sosial, seperti Ismail al-Furuqi menekankan, bahwa antropologi adalah bagian terpenting dari rencana kerja Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Dalam kancah antropologi muncul keinginan kuat dan visi Islami tentang corak antropologi yang berdimensi keesaan dan transendensi Tuhan, berpijak pada rasionalitas, universalitas, komunitarisme kehidupan, dan kebajikan etik sebagai raison d’etre humanitas yang berbasis pada ajaran moralitas Islam. Merryl Wyn Davies (1988) menegaskan, bahwa antropologi Islam mencurahkan perhatiannya pada studi tentang manusia secara keseluruhan, yakni jajaran unit-unit formasi komunitas, seperti rakyat; masyarakat; bangsa; suku; kebudayaan; atau komunitas multi-sosial dan multi-kultural. Bagi Davies gagasan antropologi Islam mengacu pada kekhasan (genuine) yang paradigmatik, bukan tambal sulam sebab konsep manusia yang diyakini oleh antropologi kontemporer adalah bertentangan dengan Islam dan mustahil mampu memahami persoalan manusia, apalagi komunitas Muslim. Dalam pembentukan menuju antropologi Islam pun terjadi simbiosis antara pandangan tradisional Islam dan Sains kontemporer. Sebagaimana diungkapkan Ahmed (1988) ketika mengonter pandangan Davies yang lebih radikal mengenai Islamisasi antropologi secara total dan menyeluruh. Ahmed lebih memilih bahwa metodologi yang dikembangkan oleh antropologi Islam sepetutnya dapat dipergunakan untuk mengkaji sistem agama lainnya. Bagaimana pun sifat utama ilmuan adalah mampu melepaskan diri dari budaya dan alamnya sehingga ia dapat menjelaskan prilaku manusia dalam konteksnya yang khas tanpa membedakan agama, suku, dan kasta.[8]
6. ELEMEN-ELEMEN PSIKOLOGI DARI AL-QUR’AN
Dalam Webster’s New World College Dictionary dilelaskan beberapa makna istilah element. Di antara makna tersebut adlah the first or basic principles (prinsip pertama atau dasar). Untuk menjelaskan makna prinsip dasar itu diberikan contoh pada unsur dasar materi yang empat. “…any of the four substances (earth, air, fare, and water) formerly believed to constitute all physical matter”. Artinya: “salah satu dari empat substansi (tanah, udara, api, dan air) yang dipercayai untuk membentuk semua benda fisik”. Jadi, elemen adalah bagian paling dasar dari sesuatu. Susunan dari berbagai elemen (bagian paling dasar) itu membentuk suatu materi (benda). Makna itu adalah makna yang berbuhungan dengan makna fisik-material dan makna esensial. Terhadap makna yang bersifat esensial dan abstrak juga istilah juga istilah elemen dapat digunakan seperti elemen kualitas, elemen faktor, dan lain-lain.
Dengan demikian elemen-elemen psikologi bermakna konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar dari pembentukan teori Psikologi Islami. Konsep-konsep dasar itu menjadi asumsi dasar dalam membentuk teori-teori Psikologi Islami. Asumsi-asumsi dasar tersebut diformulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep al-Qur’an tentang manusia.[9]
a. Struktur Psikis Manusia Berdasarkan Pemahaman Terhadap Konsep-Konsep Al-Qur’an Tentang Manusia
Struktur yang dimaksud dalam disertasi ini adalah struktur dalam arti abstrak-immaterial, yaitu komposisi yang memperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas yang utuh. Pemahaman ini didasarkan pada rumusan James Drever yang menyatakan bahwa: structure is the composition, arrangement of component paits, and organization of complexs whole, … may also to used of the mind or personality as whole”. Artinya: “struktur adalah komposisi, rangkaian komponen, keseluruhan organisasi yang komplek, … dapat juga digunakan untuk komposisi jiwa atau kepribadian”. Dalam al-Qur’an secara jelas diungkapkan bahwa totalitas diri manusia memiliki tiga aspek dan lima dimensi. Ketiga aspek tersebut adalah aspek jismiah, nafsiah, dan rohaniah. Kelima dimensi psikis manusia adalah al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Dimensi al-nafsu, al-aql, al-qalb berada pada aspek nafsiah. Dimensi al-ruh, dan al-fitrah berada pada aspek rohaniah. Keseluruhan aspek dan dimensi inilah kemudian membentuk suatu komposisi atau struktur sedemikian rupa, sehingga terbentuk struktur atau komposisi psikis manusia.[10]
b. Ibadah sebagai Motivasi Utama Manusia dalam Berprilaku
Motivasi adalah adalah istilah umum yang merujuk pada perputaran pemenuhan kebutuhan dan tujuan tingkah laku. Dengan kata lain motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tingkah laku. Dorongan itu dapat mnuncul dari tujuan dan kebutuhan. Berdasarkan munculnya, maka ada motivasi yang muncul dari dalam diri yang disebut dengan motivasi intrinsik yang bersifat batin, dan ada pula yang berasal dari luar diri seseorang, yang disebut dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi yang datang dari luar diri ini dapat saja bersifat batin atau bersifat materi. Motivasi yang bersifat batin, contohnya: dorongan untuk memperoleh ras penghormatan, pujian, kepuasan, kenikmatan, dan lain-lain. Sedangkan motivasi yang bersifat fisik atau materi, contohnya: untuk mendapatkan hadiah berupa materi, untuk mendapatkan uang, dan lain-lain. Yang jelas motivasi itu merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu perbuatan. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa motivasi adalah dorongan yang sangat menentukan tingkah laku dan perbuatan manusia. Ia menjadi kunci utama dalam menafsirkan dan melahirkan perbuatan manusia. Peranan yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut sebagai niyyah dan ‘ibadah. Niyyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau ber’amal. Sementara ‘ibadah adalah tujuan manusia berbuat atau ber’amal. Maka perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ‘ibadah.[11]
c. Tiga Dimensional Fungsi Psikis Manusia: Kognisi, Afeksi, dan ‘Amalan
1) Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif adalah fungsi psikis manusia dsi bidan kesadaran, pemikiran, pengetahuan, interpretasi, pemahaman, idea, kecerdasan, dan lain-lain. Dalam Introduction to Psycology dijelaskan bahwa “cognition is an individual’s thoughts, knowledge, interpretations, understandings, or ideas”. Artinya: kognitif adalah fungsi psikis yang bersifat individual, seperti: pemikiran, pengetahuan, pemahaman, pengertian, atau ide-ide. Fungsi-fungsi ini memancar dari daya (energi) masing-masing aspek dan dimensi psikis manusia. Pada uraian terdahulu telah dirumuskan ada tiga aspek dari manusia, yaitu: aspek jismiah, nafsiah, dan ruhaniah, serta enam dimensi psikis manusia, yaitu: al-jism, al-nafsu, al-’aql al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Masing-masing aspek dan dimensi itu memiliki daya (energi) yang bersifat kesadaran, kecerdasan, pengetahuan, dan pengenalan. Daya-daya itulah yang menyebabkan psikis mempunyai fungsi kognitif.[12]
2) Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi psikis untuk menentukan sikap atas dasar pertimbangan yang bersifat penilaian terhadap sesuatu. Dalam Introduction to Psychology dijelaskan bahwa “affective is an emotional experience, whether pleasant or unpleasant, mild or intense”. Artinya: Afektif adlah suatu pengalaman emosional, apakah yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, … Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa fungsi afektif adalah fungsi psikis untuk menetukan sikap berdassrkan pertimbangan penilaian terhadap sesuatu.
Sejalan dengan aspek dan dimensi diri manusia, maka ada tiga jenis fungsi afektif manusia, yaitu efektif ruhaniah, afektif nafsiah, dan afektif jismiah.[13]
3) Fungsi ‘Amalan
Fungsi ‘amalan adalah tampilan daya-daya psikis dalam bentuk tingkah laku. Dengan kalimat yang lain, dapat dikatakan bahwa ‘amalan adalah bentuk empirik dari day-daya psikis manusia. Sejalan dengan aspek dan dimensi psikis manusia, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi ‘amalan adalah upaya menampilkan masing-masing daya pada aspek dan dimensi psikis manusia tersebut dalam bentuk tingkah laku nyata.
Daya batin mengarahkan kehidupan individu dan daya lahir yang melingkungi individu dan mendukung kehidupannya bertemu pada gerakan perbuatan atau yang disebut dengan ‘amalan. Karena itu, tidak ada artinya pengetahuan imani (fungsi kognisi) dan perasaan insani (fungsi afeksi), jika tidak diwujudkan dalam bentuk perbuatan atau ‘amalan dengan sikap Islami.[14]
0 komentar:
Post a Comment