Thursday, 22 November 2012

a.      Bertobat Terus Menerus
Menurut al-Ghazali tobat itu sebenarnya tersusun dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi spiritual) dan perbutan.
Maksudnya adalah bahwa dengan ilmu ia mengetahui besarnya bahaya dosa dan keberadaannya sebagai tabir penghalang antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui hal tersebut secara benar dan dengan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan ini akan muncul suatu rasa sedih didalam hati akibat kehilangan apa yang dicintai. Sebab, apabila hati merasa kehilangan apa yang dicintainya maka akan merasa sedih, dan setiap hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya. Rasa sedihnya akibat tidak dapat melakukan apa yang dicintainya ini disebut penyesalan. Bila rasa-rasa sedih mendominasi haati maka akan uncul suatu keadaan lain yang disebut iraddah (kehendak) dan qashd (keinginan) kepada perbuatan yang memiliki hubungan dengan masa sekaran, masa laludan masa yang akan datang. Keinginan untuk masa sekarang ialah meninggalkan dosa yang dilakukannya. Keinginan yang untuk masa yang akan datang ialah bertekad untuk meninggalkan dosa yang membuatnya kehilangan apa yang dicinta  hingga akhir kehidupannya. Kemudian keterkaitannya dengan masa lalu ialah mengganti apa yang telah lepas darinya (mengqadha) dengan perbuatan baik selama hal itu bisa dilakukan.
Taubat dalam tradisi tasawuf, taubat dikatagorikan dalam tiga tingkat, yaitu:
Pertama, merupakan tingkatan yang paling dasar, merupakan taubat orang awam, ialah orang yang bertgaubat dituntun untuk memenuhi persyaratan yang paling minimal.
Kedua. Ialah obat orng-orang baik. Maksudnya kembali dari yang baik menuju yang lebih baik.
Ketiga, ialah tobatnya orang-orang istimewa (khusu), yaitu kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah.

b.      Mengenali motif kita yang paling dalam (al-niyyah wa al-ikhlash wa al- shidq).
Al-Ghazali menjelaskan niat, kehendak dan tujuan (motif) adalah ungkapan yang mempunyai satu arti, yaitu kehendak dan sifat hati yang dalam, mengandung kaitan antara ilmu dan amal. Niat adalah ibarat kehendak yang berbeda ditengah antara pengetahuan yang mendahuluinyadan amal yang muncul.
Niat yang bnar adalah niat yang didasari keikhlasan. Keikhlasan artinya suatu yang bersih tanpa campuranyang mencemarinya (murni). Jadi keikhlasan adalah bersihnya niat dan amal selain mengharapkan Allah (ibadah kepada-Nya).
Motif yang tinggi itu harus dipertahankan agar ia selalu mewarnai dalam segala pikiran  dan perbuatan, dengan al-shidq (kebenaran). Kebenaran yang dimaksudkan adalah berada pada enam tempat yaitu: kebenaran dalam perkataan, kebenaran dalam niat dan kehendak, kebenaran dalan menempati kemauan, kebenaran dalam perbuatan, dan kebenaran dalam mewujudkan seluruh ajaran agama. Mereka itulah orang-orang yang benar (al-shiddiqun).

c.       Kesadaran diri yang tinggi (al-muraqabah wa al-muhasabah, wa al-tafakkur).
Untuk memperoleh kesadaran diri yang tinggi, al-Ghalzali menyebutkan enam langkah murabathah (kesiapsiagaan jiwa) yang harus dilakukan, selain dari tafakkur, enam langkah tersebut adalah:
Langkah pertama, adalah Misyarathah (penempatan syarat), maksudnya adalah penempatan syarat untuk kerja sama antara jiwa dan akal. Dalam kerja sama itu, kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan diberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabah). Demikian pula akal memerlukan penetapan syarat kepada jiwa, lalu memberikan berbagai tugas, syarat dan mengarahkan kejalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut, menghiindari berbagai kelailan dalam melaksanakan tugas.
Langkah kedua, adalah muraqabah (pengawasan), maksudnya adalah apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan diatas maka langkah selanjutnya adalah mengawasinya ketika melakukan berbagi amal perbuatan dan memperhatikannya dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan lalai.
 Langkah ketiga, ialah muhasabah (menghitung, melakukan audit), maksudnya adalah meninjau kembali segala perbuatan, keuntungan (kesalehan, keutamaan) dan kerugian (kemaksiatan), untuk mencari kejelasan apakah keuntungannya bertambah atau berkurang dan mngkin merugi. Apabila ternyata bertambah perbuatan baiknya maka ia bersyukur, dan jika didapatinya merugi maka ia mencari jalan keluar dan memperbaikinya untuk masa berikutnya.
Langkah keempat, ialah  mu’aqabah (menghukum diri atas segala kekurangan), maksudnya adalah setelah dilakukan perhitungan yang teliti, apabila jiwa bersama anggota badan ternyata telah melakukan suatu kesalahan maka perlu diberikan hukuman.
Langkah kelima, ialah mujahadah (bersungguh-sungguh), maksudnya adalah memotivasi diri sendiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara memusatkan perhatian (konsentrasi) kepada tercapainya tujuan dan kreativitas, tanpa terganggu oleh dorongan nafsu, kecemasan, atau adanya ancaman (rintangan), atau pengaruh orang sekitarnya sehingga ia tetap teguh dalam motivasi dan konsentrasinya.
Langkah keenm, ialah mu’atabah (mencela diri), maksudnya adalah selalu menegur dan mencela jiwa (nafsu) karena nafsu itu mempunyai karakter suka memerintahkan  kepada keburukan, cenderung kapada kejahatan, lari dari kebaikan, jika lalai maka ia akan merajalela dan menjadi liar dengan kejahatannya. Jika kita senantiasa menegur dan mencelanya, kadang-kadang tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya), kemudian diharapkan akan dapat meningkatkan menjadi nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang) yang mengajak untuk msuk kedalam kelompok hamba-hamba Allah yang ridha dan di ridhai.

d.      Tanggap terhdap diri yang terdalam (al-mahabbah, al-syawaq, al-uns)
Perasaan diri yang teralam adalah perasaan luhur yang terdapat dalam lubuk hati setiap manusia, ia bersifat fitri. Diantara perasaan luhur itu adalah mahabbah (cinta), syauq (rindu) da nuns (sayang dan bahagia). Seseorang yang sedang dilanda cinta, maka ia selalu rindu untuk bertemu dengan orang yang di cintainya, kemudian ia akan merasa sangat bahagia bila bisa bersama atau dekat dengan orang yang dicintai itu.
Dalam tasawuf, cinta yang sebenarnya ialah cinta seseorang hamba kepada Allah mengalahkan cintanya terhadap yang lainnya bahkan dirinya sendiri.

e.       Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan (al-shabr wa al-ridha)
Manusia dlam menjalankan kehidupan tidak akan terlepas dari cobaan (musibah, kesulitan) dan tidak seorangpun yang dapat menghindari dari qadha (ketepatan) Allah. Oleh karena itu, seorang mukmin harus menerimannya dengan sabar dan penuh kerelaan (ar-ridha) sebab semua keadaan tersebut merupakan ujian dan ketentuan Allah. Keutamaan orang yang mampu menjadikan sabar sebagai pakaian hatinya, menurut al-Ghazali antara lain adalah:
1)      Allah jadikan mereka itu sebagai pemimpin. (Sajdah: 24)
2)      Diberikan balasan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka perbuat. (al-Nahl:96; al-Qashash:54; al-Zumar:10)
3)      Allah bersama orang-orang yang sabar: al-Anfal: 46)
4)      Allah menjajikan kemenangan bagi orang-orang yang bersabar. (Ali Imran: 125)
5)      Mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (al-Baqarah: 157)
Kesabaran itu terbagi menjadi dua macam. Pertama, kesabaran yang berkaitan dengan fisik, berupa ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan atau perbuatan, seperti: sabar Manahan pukulan berat, penyakit, atau luka dibadan. Kedua, ialah kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan atau tuntutan hawa nafsu.
Hamper semua akhlak iman masuk kedalam hakikat sabar.
Pertama, bahwa semua musibah itu pada hakikatnya datang dari Allah, hanya factor penyebabnya ada pada manusia.
Kedua, bahwa musibah itu mengandung fungsi sebagai peringatan atas kelalaian manusia (misalnya kesalahan, dosa, dan sebagainya); dan musibah juga mengandung fungsi ujian (cobaan) iman. Jika seamat (maksudnya dapat bersabar menjalaninya) maka ia lulus ujian dan mangkit meningkatkan derajatnya.
Ketiga, bahwa tiap musibah atau kesulitan yang ditimpakan Allah kepada manusia pastilah mengandung hikmah yang besar, hanya saja kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Keempat, sikap jiwa tepat untuk bisa sabar dalam menghadapi musibah adalah dicirikan sebagai berikut:
1)      Keyakinan kepada kekuasaan Tuhan makin bertambah kuat.
2)      Tidak berkeluh-kesah.
3)      Tabah, rela dan berani menghadapinya.
4)      Berupaya untuk menanggulangi musibah atau kesulitan itu menurut anjuran syariat agama dan langkah-langkah penanggulangan yang seharusnya dilakukan.
5)      Dengan musibah itu mendatangkan kekuatan jiwa untuk mendapatkan sukses karena pada musibah terdapat pelajaran atau peringatan Allah dan dikuatkan pula oleh kayakinan akan adanya hikamh yang lebih besar dibalik musibah.

f.       Kemampuan berdiri menentang orang banyak (al-zuhd)
Hakikat zuhud ialah kondisi jiwa yang betul-betul terbebas dari pengaruh (tarikan) hawa nafsu dan kenikmatan dunia. Yang ada dalam hatinya hanyalah Allah, dan ia selalu istiqamah (tegak, tetap) pada pendirian tersebut meskipun berbeda dengan orang banyak (field-independent).
Metode  untuk mencapai kepribadian seperti ini menurut al-Ghazali adalah mendidik hati dengan cara:
1)      Menyadari akan tujuan hidup yang sebenarnya yaitu bukanlah mengikuti nafsu dan mencari kenikmatan duniawi, tetapi kebahagiaan hidup akhirat yang kekal.
2)      Tidak menginginkan sesuatu selain Allah, dan tidak panjang angan-angan.
3)      Tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena lepasnya sesuatu(bagian dunia) dari tangannya, karena hatinya merasa bahewa ia tidak memiliki apa-apa.
4)      Jika dalam hidupnya diberi karunia atau nikmat dunia oleh Allah maka segala nikmat itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk memperkuat zikir dan ketaatan kepada Allah, sedangkan sebagiannya dipergunakan sekadar mencukupi untuk tetap kuatnya bdan (kesehatan) dan keperluan hidupnya.
5)      Lapang dada manerima kritik, hinaan ataupun cacian.

g.      Keengganan untuk menyebabkan kerusakan (al-raja’wa khauwf)
Al-Raja’ artinya harapan, maksudnya adalah harapan akan mendapatjkan sesuatu yang diinginkan (yaitu karunia dan ampunan Allah), sehingga melahirkan usaha untuk mencapinya dengan perasaan optimis. Sedangkan al-kahuwf artinya takut, maksudnya adalah ketakutan akan datangnya suatu yang tidak diinginkan atau menyakitkan (yaitu azab atau siksa Allah). Sama haknya dengan al-raja, al-khauwf juga melahirkan usaha yang kuat untuk menghindarkan segala faktor penyebab akan terjadinya azab dan keruakan.
Cara yag dapat dilakukan antara lain adalah:
1)      Terus berusaha meningkatkan ketaatan dan kebijakan guna mencapai harpan.
2)      Memelihara dan berbuat kebaikan terhdap manusia dan alam.
3)      Menghindari segala perbuatan maksiat (lahir dan batin) dan segala perbuat yang dapat mendatangkan kerusakan didunia baik terhap manusia, alam maupun makhluk lainnya, karena sesungguhnya siksa dan bencana itu ditimpahkan Allah disebabkan erbuatan manusia itu sendiri.

h.      Menjadi cerdas secara spiritual dalam agama (al-tawhid wa al-tawakku)
Al-Tawhid (Tauhid) berarti beriman  kepada Tuhan dan mengesakan-Nya. Tiada Tuhan selain Allah sendiri, tiada sekutu bagi-Nya, dialah yang memiliki segala kekuasaan, dan bagi-Nyasegala pujian. Sedangkan al-tawakkul (tawakal) berarti menyadarkan hasil dari segala urusan yang dilakukan kepada Allah sebagai konseikonsi logis tauhidnya tadi.
Seseorang yang cerdas dalam beragama haruslah dimulai dan tauhid yang benar dan diakhiri dengan tawakal yang merupaka buah dari tauhid yang benar, ditengahnya adalah ibadab (amal) yang dilakukan secara ikhlas. Al-Ghazali mengistilahkannya dengan sebutan”tauhid meupakan awal dan akhir sikap hidup orang beragama”. Jadi, kemantapan tauhid, ibadah (amal saleh) yang dilakukan secara ikhlasdan tawakal kepada Allah menjadi indikator utama dari kecerdasan beragama.
Bagaimana menanamkan tauhid dalam jiwa seseorang benar sehingga membuahkan kecerdasan beragama sebagaimana yang dimaksud diatas menurut al-Ghazali, maka dlam hal ini penulis sependapat dengan analisis yang dilakukan oleh Sa’id Hawwa atas kitab Ihya’Ulum al-Din yaitu melakukan peralihan jiwa dari tauhid ‘aqli (tauhid rasional) kepada tauhid dzawqi (tauhid cita rasa) dengan melalui jenjangjenjang sebagai berikut:
1)      Fana’ dalam perbuatan, maksudnya adalah hati merasakan bahwa segala sesuatu merupakan perbuatan Allah dan ciptaan-Nya. Kemdian merasakan didalam diri bahwa kita tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali denganpertolongan Allah.
2)      Fana’ dalam sifat, maksudnya adalah hati kita merasakan harus berakhlak dengan nama-nama Allah yang Maha Inadah sebagai konseikuensi ‘ubudiyah (pengabdian kepada Allah)
3)      Fana’ dalam hukum, maksudnya ialah hati kita meraakan keharusan tunduk kepada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya, kemudian mematuhinya.
4)      Fana’ dalam komitmen dan amal, ialah menyadari keharusan mengerahkan segala upaya untuk melaksanakan semua kewajiban sebagai ‘ubudiyah melalui sarana, pertama zikir: shalat, jihad, puasa, haji, tilawah Alqur’an, tasbih, tahmid, takbir, istigfar , shalawat atas nama Nabi saw, dan do’a; dan kedua adalah mudzakarah bersama orang-orang saleh, berafiliasi kepada ahl al-haq (orang yang benar) dan bergabung kedalam lingkungan yang saleh.

i.        Menjadi cerdas secara spiritual mengenai kematian (zikr al-naw wa ma ba’dahu)
Zikr al-mawt artinya mengingat kematian. Wa ma ba’duhu artinya kehidupan setelah terjadinya kematian, meliputi ehidupan di alam kubur, hari kiamat dan pembalasan (berupa surga dan neraka). Jadi, cerdas mengenai kematian berarti cerdas dalam menghadapi peristiwa kemataian itu sendiri dan cerdas pula mempersiapkan bekal untuk kehidupan sesudah kematian tersebut. Kemudian memudahkan menyebutnya maka cukup disebut al-Ghazali memingat kematian’.
Dengan adanya metode SQ yang kedelapan ini, berarti baik al-Ghazali maupun Zohar sama-sama meyakini bahwa SQ yang sesungguhnya tidak mungkin dicapai oleh orang-orang yang tidak beragama, karena orang-orang yang tidak beragama tidak mempercayai adanya kehidupan dan pembalasan sesuatu kematian.
Oleh karena itu, teori SQ Zohar yang pada awalnya mendasarkan kepada fakta-fakta neurobiologi murni, dan mengatakan bahwa SQ tidak berkaitan dengan agama, namun pada akhirnya tidak bisa mengingkari bahwa puncak konsep SQ yang dikemukakannya mengahruskan SQ tetap terkait dengan keyakinan agama.
Al-gzalai mengelompokkkan sifat manusia dalam mengingat kemtian menjadi empat golongan, yaitu:
Golongan pertama adalah orang-orang yang tenggelam ke dalam dunia, ia tidal mengingat kematian sama sekali. Jika diingatkan iapun mengingat semata-mata untuk mnyesali dunianya dan sibuk mencelanya. Mereka berusaha lari dari kematian. Bagi orang ini, mengingat kematian membuat dirinya semakin jauh dari Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang amat bodoh dan celaka.
Golongan kedua adalah orang yang bertaubat, ia banyak mengingat kematian untuk membangkitkan rasa takut dan khawatir dalam hatinya, lalu ia menyempurnakan tobat, dan kadang-kadang tidak menyukai kematian mkarena taut datangnya kematian secara tiba-tiba sebelum terwujud kesempurnann tobat dan persiapan bekalnya.
Golongan ketiga adalah golongan oran-orang yang ‘arif (orang yang memperoleh makrifat). Orang ini selalu mengingat kematian karena kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya (Allah).
Golongan keempat adalah golongan yang paling tinggi kedudukannya, yaitu orang-oarang yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah.
Al-ghazali menjelaskan ada beberapa jalan untuk mewujudkan ingat akan kematian didalam hati, yaitu:
1)      Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain mengingat kematian yang selalu mengintainya, seperti keadaan orang yang bepergian kepadang pasir yang berbahaya atau menyebrangi lautan luas. Hati orang tersebut tentu saja selalu ingat akan bahaya yang bakal terjadi (kematian)
2)      Memperbanyak menyebut dan mengingat kematian teman-teman kita. Betapa mereka dulu gagah dan cantik rupanya, tetapi gini semua sirna ditelan tanah, mereka tinggalkan segala harta, istri dan anak-anak, dan sebagainya. Keadaan seperti itu suatu ketika tentulah akan menimpa pada diri kita.
3)      Sering berziarah kekubur agar dapat mengambil pelajaran.
4)      Mengunjungi orang sakit, karena hal itu akan memperharuai ingatan kepada kematian.  

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List