Thursday, 22 November 2012

Untuk proses tathahhur (metode meningkatkan ESQ) al-Ghazali mempunyai konsep metode yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: metode pembiasaan taat syariat, metode muhasabah dan mujahadah al-Nafs serta metode riyadhah al-nafs.
1.    Pembiasaan Taat Syariat
Taat syariat maksudnya adalah membiasakan diri untuk melaksanakan segala ibadah menurut tuntutan ajaran agama. Setiap agama mempunyai cara peribadatan masing-masing. Ada bentuk-bentuk ibadah wajib (seperti shalat, puasa, haji, mengeluarkan zakat) dan ada pula ibadah sunnat (seperti infaq, sedekah, dan sebagainya). Di samping itu taat syariat juga dimaksudkan meninggalakan segala larangan agama (misalnya mencuri, berdusta, menipu, berjudi, minum minuman keras dan sebagainya).
Taat syariat dapat dipahami sebagai pembiasaan terhadap diri sendiri (jiwa dan raga) untuk mematuhi segala aturan agama atas dasar keyakinannya. Ketaatan syariat pada hakikatnya adalah perwujudan dari tertanamnya akidah dalam hati seseorang. Tanpa akidah untuk apa orang melakukan ibadah atau ketaatan syariat.
Al-Ghazali menempatkan pembahasan mengenai akidah dan ibadah lebih dahulu ssebelum menguraikan jiwa dan penyuciannya. Hal ini berarti, langkah awal untuk dapat melakukan tahap-tahap penyucian jiwa (EQ) secara benar haruslah didasari denan kesediaan jiwa untuk mematuhi aturan agama yang dianut. Oleh karena itu, akidah yang benar dan taat syariat merupakan sarana utama untuk bisa diperolehnya kesucian jiwa.

2.    Muhasabah dan Mujahadah al-Nafs
Muhasabah (introspeksi) maksudnya adalah mengenal berbagai kelebihan diri (ketaqwaan dan akhlak yang baik) dan mengenal berbagai kekurangan diri sendiri (kemaksiatan dan akhlak yang tercela). Semunya harus dikenali baik yang bersifat lahir maupun batin. Dengan pengenalan yang mendalam terhadap diri atau emosi sendiri maka dapat dibangun suatu kekuatan jiwa, tekad yang sungguh-sungguh bahwa dia menginginkan ketaatan dalam ibadah dan kebersihan jiwa. Tanpa kesungguhan upaya pembersihan jiwa yang melahirkan kecerdasan emosi tidak akan tercapai, sebab rintangan berat yang harus dihadapi adalah nafsu diri kita sendiri. Kesungguhan jiwa inilah yang disebu mujahadah al-nafs.
Mujahadah (bersungguh-sungguh), maksudnya adalah memotivasi diri sendiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara memusatkan perhatian (konsentrasi) kepada tercapainya suatu tujuan dan kreativitas tanpa terganggu oleh dorongan nafsu, kecemasan, atau adanya ancaman (rintangan), atau pengaruh orang sekitarnya sehingga ia tetap teguh dengan motivasi dan konsentrasinya.
Di samping itu, mujahadah dapat pula dipahami sebagai kesungguhan jiwa-raga, rasional-emosional dlam melakukan suatu ibadah atau tugas dengan rasa ortimisme yang tinggi, penuh tanggung jawab, dan tidak dapat diganggu oleh hal-hal lain yang dapat membelokkan dari motivasinya, sampai-sampai badannya sendiripun mengikuti arah emosinya. Keadaan seperti ini oleh Goleman disebut flow sebagai puncak motivasi, ialah suatu keadaan emosi melampaui diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan melalui konsentrasi tinggi, sehingga menimbulkan kebahagiaan, kesenangan, keefektifan spontan, dan terbebas dari gangguan emosional lainnya.  
3.    Riyadhah al-Nafs (Mengelola Emosi dan Terapi Jiwa)
Riyadhah al-Nafs secara bahasa berarti latihan jiwa. Secara istilah sebagaimana dipergunakan oleh al-Ghazali, berarti memerbaiki akhlak dan mengobati penyakit hati atau batin agar jiwa menjadi bersih atau sehat. Seperti halnya dokter mengobati penyakit (badan) para pasiennya. Penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit badan. Penyakit badan jika tidak diobati hanya akan mengakibatkan sakit yang berkepanjangan atau kematian, sedangkan penyakit hati jika tidak diobati maka akan mendatangkan kecelakaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Penyakit hati itu berpangkal pada nafsu. Bagi al-Ghazali, nafsu memunyai kecenderungan kuat ke arah hal-hal yang buruk tetapi pada nafsu pula terdapat suatu kekuatan hidup manusia. Oleh karena itu, menundukkan nafsu bukanlah berarti menghilangkannya secara keseluruhan dari hidup manusia, tetapi mengembalikannya kepada jalan yang lurus, tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
Al-Ghazali mengemukakan berbagai macam bentuk penyakit hati yang dapat menimpa jiwa orang mukmin, penyakit-penyakit tersebut beserta pengobatannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.    Penyakit yang bersumber dari syahwat perut dan seks
1.        Syahwat perut
Al-Ghazali mengatakan sumber segala dosa adalah syahwat perut. Contoh syahwat perut yaitu makan dan minum yang berlebihan. Beberapa bahaya dari kekenyangan yang disebutkan oleh Al-Ghazali diantaranya yaitu memudarkan kecemerlangan pikiran, banyak tidur, malas beribadah, berkurangnya berbagai kesiapan dan perbuatan akibat dari banyaknya makan dan minum tersebut, banyaknya makan dapat pula mendatangkan penyakit pada anggota tubuh, kebiasaan makan yang banyak dapat mendorong orang melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya terlarang tetapi dilakukannya karena dorongan nafsu perut.

Pengobatan penyakit nafsu perut
Al-Ghazali mengemukakan tiga cara yang harus diperhatikan. Kedua, mengurangi jumlah (kadar) makanan yang dimakan secara berangsur-angsur dengan mempertimbangkan kondisi fisiknya. Ketiga, mengatur waktu makan dengan cara antara lain: mengurangi intensitas Pertama, tidak memakan sesuatu kecuali yang halal dan baik (thayyib). dalam setiap hari, atau berselang-seling (sehari kenyang, sehari lapar) atau dengan cara mambiasakan melakukan puasa sunnat secara teratur.    
2.        Syahwat (nafsu) seks
Orang-orang mukmin diperintahkan oleh Allah untuk menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya (al-Nur: 30). Ini artinya bahwa dorongan seks harus benar-benar dijaga. Berbagai sarana yang dapat membawa kepada timbulnya nafsu seks seperti dalam tata cara pergaulan, duduk berduaan, pandangan mata, dan sebagainya, kemudian dipihak perempuan perlu sekali menjaga pakaian (menutup aurat) dan tingkah lakunya agar tidak menimbulkan nafsu seks dipihak laki-laki.
Pengobatan syahwat seks
Agama Islam memberikan jalan untuk penyaluran nafsu seksual yang neluriah itu dengan cara pernikahan (perkawinan).

b.    Penyakit yang bersumber dari lidah
Penyakit ini pada hakikatnya ialah berbagai kebiasaan jelek lidah yang berwujud perkataan, yang dapat membawa kepada penyakit atau kekotoran jiwa, yaitu bicara yang tidak berguna, bicara tentang kebatilan dan maksiat dengan senang hati, memaki dan berkata keji, melaknat, mengejek, menyiarkan rahasia teman dan menggunjing orang lain, berdusta, mengadu domba, bermuka dua, dll.
Pengobatan penyakit lidah
Pengobatan penyakit ini pada prinsipnya ialah belajar menahan diri untuk tidak berkata-kata kecuali pada hal-hal yang bermanfaat (baik); diam lebih bermanfaat daripada bicara mengenai hal yang belum tentu kebaikannya; menyadari betul bahaya yang akan ditimbulkan oleh perkataan yang menyakitkan hati orang lain.

c.    Amarah
Berkaitan dengan amarah, imam al-Ghazali membagi manusia kepada tiga tingkatan. Pertama, Tafrith ialah orang yang kehilangan kekuatan marah atau ada tetapi sangat lemah. Kedua, Ifrathi ialah orang yang jiwanya dikuasai oleh sifat marah hingga keluar dari kendali akal dan agama. Ketiga, I’tidal ialah orang yang bersifat di tengah-tengah, suatu  sifat yang terpuji. Suatu kemarahan yang didasari oleh pertimbangan akal dan agama, pada saat apa ia harus marah, bertindak tegas dan melakukan pembelaan.
Pengobatan amarah
Al-Ghazali menyebutkan pengobatan marah itu adalah campuran dari dua macam, yaitu campuran ilmu dan amal. Obat dengan ilmu yaitu dengan perenungan. Kemudian obat dengan amal yaitu dengan tiga cara. Pertama, hendaklah membaca kalimat ta’awudz. Kedua, jika masih belum reda juga, maka duduklah jika ia marah sedang berdiri, dan berbaringlah jika ia marah sedang duduk. Ketiga, kemudian apabila marahnya masih saja berkobar maka hendaklah ia berwudhu atau mandi dengan air dingin.
Jadi, inti dari terapi marah adalah pengendalian diri (menahan nafsu), baik sebelum marah itu terjadi (tindakan pencegahan) maupun pengendalian diri pada saat suatu kemarahan terpaksa harus terjadi.

d.   Dendam dan dengki
Dendam itu adalah tetap hatinya untuk merasa berat, benci dan lari dari orang-orang yang dimarahi itu dan demikianlah terus menerus. Pengobatan dendam adalah dengan memaafkan kesalahan orang lain, dan berlaku dengan santun serta kasih sayang.
Kedengkian ialah mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki. Pengobatan kedengkian seperti halnya penyakit hati terdahulu, yaitu melalui ilmu dan amal.
Melalui ilmu ialah mengetahui secara pasti bahwa kedengkian sangat berbahaya bagi kehidupan dunia dan agama. Sedangkan amal yang bermanfaat dalam mengobati kedengkian ialah dengan menghukum kedengkian itu sendiri.jika kedengkian telah mendorongnya mencela orang yang didengki maka ia mewajibkan lisannya dengan memuji dan menyanjungnya.

e.    Cinta dunia
Bila kesibukan dan kecintaan terhadap dunia telah mengusai hatinya maka ia akan berat melaksanakan ibadah, berat hatinya untuk bersedekah, akhirnya lupa kepada Allah dan lupa akan kehidupan akhirat yang kekal.
Pengobatan yang mudah dilakukan ialah memerhatikan contoh sikap Rasulullah beserta para sahabatnya, itulah jalan yang selamat dan merupakan terapi jiwa manusia dalam menghadapi fasilitas dan kenikmatan dunia. Yaitu tidak meninggalkan dunia secara total dan tisak mengekang nafsu syahwat secara total pula. Dunia diambil seperlunya saja, sedangkan syahwat dikendalikan agar jangan sampai keluar dari batas-batas syariat serta akal sehat.

f.       Cinta harta dan kikir
Seseorang yang mencintai harta secara berlebihan akan menjadikan dirinya bersifat bakhil (kikir) yaitu tidak mau membelanjakan hartanya di jalan Allah atau memberikan hartanya untuk orang lain yang memerlukan, karena ia merasa takut hartanya akan berkurang.
Pengobatan cinta harta dan sifat kikir menurut al-Ghazali adalah melakukan hal-hal yang menjadi lawan sifat tersebut.

g.    Cinta kedudukan dan riya
Kedudukan itu makanan rohani yang menghendaki ketinggian dan kekuasaan, penguasaan terhadap orang lain dan menyukai kesempurnaan. Nafsu kedudukan itu merasa senang bila dipuji.
Riya adalah ingin dilihat orang supaya mendapat kedudukan di hati manusia, dan sum’ah bila ia menginginkan (suka) mendengarkan kalimat-kalimat pujian dari orang lain atas kelebihan atau kedudukannya itu.
Pengobatan cinta kedudukan dan riya adalah dengan ilmu dan amal. Melalui ilmu ialah mengetahui bahayanya kedudukan dan menguasai hati manusia, di dalam kedudukan itu terdapat ujian dan dorongan nafsu. Maka ia harus menjaga hatinya dan selalu mengingat kematian. Kemudian melalui amal ialah dengan cara menyembunyikan ketenaran dan kelebihan dirinya karena semua itu sebenarnya adalah milik Allah.
  
h.    ‘Ujub (membanggakan diri)
‘Ujub (membanggakan diri) adalah kesombongan yang timbul di dalam batin dengan mengkhayalkan kesempurnaan ilmu dan amal pada dirinya, lupa bahwa semua itu hanyalah pemberian Tuhan. Pengobatannya yaitu dengan cara mengingat kekurangan diri, segala kelebihhan yang dimiliki suatu saat pasti akan sirna, apa-apa yang belum kita ketahui jauh lebih banyak daripada apa yang telah kita ketahui sekarang.

i.        Kesombongan (al-Kibr)
Kesombongan merupakan perilaku yang timbul akibat adanya ‘ujub di dalam hati. Kesombongan sebagaimana di definisikan oleh Rasulullah saw, adalah “melecehkan orang dan menolak kebenaran.”
 Berbagai kejelekan (bahaya) dari kesombongan antara lain merendahkan orang lain, menjauh dan tidak mau duduk bersama atau makan bersama, merasa berhak dihormati dengan segala penghormatan, bila berjalan harus didahulukan, dan sebagainya.
Pengobatan kesombongan dilakukan dengan dua jalan, yaitu: Pertama, mengikis habis akar-akarnya dan mencabut pohonnya dari tempatnya  di dalam hati. Jalan ini dilakukan dengan cara: pengetahuan kesadaran tentang diri dan Tuhannya; dan amal yaitu bersikap tawadhu’ kepada Allah dengan amal perbuatan, dan kepada makhluk denan senantiasa menjaga akhlak orang-orang yang tawadhu’ pada dirinya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dan orang-orang saleh.
Kedua, ialah menolak atau menjaga hal-hal yang memungkinkan muncul darinya kesombongan atas orang lain.

j.        Ghurur (terpedaya)
Ghurur maknanya adalah terpedaya atau tertipu (oleh kehidupan dunia, setan dan angan-angan kosong) dalam melakukan ketaatan kepada Allah.
Pengobatan ghurur ini dapat dilakukan dengan menguatkan tiga perkara, yaitu: akal, ilmu, dan makrifat. Al-Ghazali menyimpulkan terapi keterpedayaan ini sebenarnya adalah keikhlasan hati seorang hamba. orang yang ikhlas pun masih terancam bahaya, maka rasa takut kepada Allah dan waspada terhadap gerak hati tidak boleh dilalaikan. Menyadari akan sulitnya menjaga hati maka al-Ghazali mengingatkan agar selalu memohon petunjuk dan perlindungan dari Allah dan mendapat kebaikan di akhir perbuatan (husnul khatimah).

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List