Untuk proses tathahhur
(metode meningkatkan ESQ) al-Ghazali mempunyai konsep metode yang dibagi dalam
tiga bagian, yaitu: metode pembiasaan taat syariat, metode muhasabah
dan mujahadah al-Nafs serta metode riyadhah al-nafs.
1.
Pembiasaan Taat Syariat
Taat syariat maksudnya adalah membiasakan
diri untuk melaksanakan segala ibadah menurut tuntutan ajaran agama. Setiap
agama mempunyai cara peribadatan masing-masing. Ada bentuk-bentuk ibadah wajib
(seperti shalat, puasa, haji, mengeluarkan zakat) dan ada pula ibadah sunnat
(seperti infaq, sedekah, dan sebagainya). Di samping itu taat syariat juga
dimaksudkan meninggalakan segala larangan agama (misalnya mencuri, berdusta,
menipu, berjudi, minum minuman keras dan sebagainya).
Taat syariat dapat dipahami sebagai
pembiasaan terhadap diri sendiri (jiwa dan raga) untuk mematuhi segala aturan
agama atas dasar keyakinannya. Ketaatan syariat pada hakikatnya adalah perwujudan
dari tertanamnya akidah dalam hati seseorang. Tanpa akidah untuk apa orang
melakukan ibadah atau ketaatan syariat.
Al-Ghazali menempatkan pembahasan
mengenai akidah dan ibadah lebih dahulu ssebelum menguraikan jiwa dan
penyuciannya. Hal ini berarti, langkah awal untuk dapat melakukan tahap-tahap
penyucian jiwa (EQ) secara benar haruslah didasari denan kesediaan jiwa untuk
mematuhi aturan agama yang dianut. Oleh karena itu, akidah yang benar dan taat
syariat merupakan sarana utama untuk bisa diperolehnya kesucian jiwa.
2.
Muhasabah dan Mujahadah al-Nafs
Muhasabah (introspeksi) maksudnya adalah mengenal berbagai kelebihan diri
(ketaqwaan dan akhlak yang baik) dan mengenal berbagai kekurangan diri sendiri
(kemaksiatan dan akhlak yang tercela). Semunya harus dikenali baik yang
bersifat lahir maupun batin. Dengan pengenalan yang mendalam terhadap diri atau
emosi sendiri maka dapat dibangun suatu kekuatan jiwa, tekad yang
sungguh-sungguh bahwa dia menginginkan ketaatan dalam ibadah dan kebersihan
jiwa. Tanpa kesungguhan upaya pembersihan jiwa yang melahirkan kecerdasan emosi
tidak akan tercapai, sebab rintangan berat yang harus dihadapi adalah nafsu
diri kita sendiri. Kesungguhan jiwa inilah yang disebu mujahadah al-nafs.
Mujahadah (bersungguh-sungguh), maksudnya adalah memotivasi diri sendiri
untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara memusatkan perhatian
(konsentrasi) kepada tercapainya suatu tujuan dan kreativitas tanpa terganggu
oleh dorongan nafsu, kecemasan, atau adanya ancaman (rintangan), atau pengaruh
orang sekitarnya sehingga ia tetap teguh dengan motivasi dan konsentrasinya.
Di samping itu, mujahadah
dapat pula dipahami sebagai kesungguhan jiwa-raga, rasional-emosional dlam
melakukan suatu ibadah atau tugas dengan rasa ortimisme yang tinggi, penuh
tanggung jawab, dan tidak dapat diganggu oleh hal-hal lain yang dapat
membelokkan dari motivasinya, sampai-sampai badannya sendiripun mengikuti arah
emosinya. Keadaan seperti ini oleh Goleman disebut flow sebagai puncak
motivasi, ialah suatu keadaan emosi melampaui diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan
melalui konsentrasi tinggi, sehingga menimbulkan kebahagiaan, kesenangan,
keefektifan spontan, dan terbebas dari gangguan emosional lainnya.
3.
Riyadhah al-Nafs (Mengelola Emosi dan Terapi Jiwa)
Riyadhah al-Nafs secara bahasa
berarti latihan jiwa. Secara istilah sebagaimana dipergunakan oleh al-Ghazali,
berarti memerbaiki akhlak dan mengobati penyakit hati atau batin agar jiwa
menjadi bersih atau sehat. Seperti halnya dokter mengobati penyakit (badan) para
pasiennya. Penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit badan. Penyakit
badan jika tidak diobati hanya akan mengakibatkan sakit yang berkepanjangan
atau kematian, sedangkan penyakit hati jika tidak diobati maka akan
mendatangkan kecelakaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Penyakit hati itu berpangkal pada
nafsu. Bagi al-Ghazali, nafsu memunyai kecenderungan kuat ke arah hal-hal yang
buruk tetapi pada nafsu pula terdapat suatu kekuatan hidup manusia. Oleh karena
itu, menundukkan nafsu bukanlah berarti menghilangkannya secara keseluruhan
dari hidup manusia, tetapi mengembalikannya kepada jalan yang lurus, tidak
berlebihan dan tidak kekurangan.
Al-Ghazali mengemukakan berbagai
macam bentuk penyakit hati yang dapat menimpa jiwa orang mukmin, penyakit-penyakit
tersebut beserta pengobatannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Penyakit
yang bersumber dari syahwat perut dan seks
1.
Syahwat
perut
Al-Ghazali mengatakan sumber segala
dosa adalah syahwat perut. Contoh syahwat perut yaitu makan dan minum yang
berlebihan. Beberapa bahaya dari kekenyangan yang disebutkan oleh Al-Ghazali
diantaranya yaitu memudarkan kecemerlangan pikiran, banyak tidur, malas
beribadah, berkurangnya berbagai kesiapan dan perbuatan akibat dari banyaknya
makan dan minum tersebut, banyaknya makan dapat pula mendatangkan penyakit pada
anggota tubuh, kebiasaan makan yang banyak dapat mendorong orang melakukan
sesuatu perbuatan yang sebenarnya terlarang tetapi dilakukannya karena dorongan
nafsu perut.
Pengobatan penyakit nafsu perut
Al-Ghazali mengemukakan tiga cara
yang harus diperhatikan. Kedua, mengurangi jumlah (kadar) makanan yang
dimakan secara berangsur-angsur dengan mempertimbangkan kondisi fisiknya. Ketiga,
mengatur waktu makan dengan cara antara lain: mengurangi intensitas Pertama,
tidak memakan sesuatu kecuali yang halal dan baik (thayyib). dalam
setiap hari, atau berselang-seling (sehari kenyang, sehari lapar) atau dengan
cara mambiasakan melakukan puasa sunnat secara teratur.
2.
Syahwat
(nafsu) seks
Orang-orang mukmin diperintahkan oleh
Allah untuk menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya (al-Nur: 30). Ini
artinya bahwa dorongan seks harus benar-benar dijaga. Berbagai sarana yang
dapat membawa kepada timbulnya nafsu seks seperti dalam tata cara pergaulan,
duduk berduaan, pandangan mata, dan sebagainya, kemudian dipihak perempuan
perlu sekali menjaga pakaian (menutup aurat) dan tingkah lakunya agar tidak
menimbulkan nafsu seks dipihak laki-laki.
Pengobatan syahwat seks
Agama Islam memberikan jalan untuk
penyaluran nafsu seksual yang neluriah itu dengan cara pernikahan (perkawinan).
b.
Penyakit
yang bersumber dari lidah
Penyakit ini pada hakikatnya ialah
berbagai kebiasaan jelek lidah yang berwujud perkataan, yang dapat membawa
kepada penyakit atau kekotoran jiwa, yaitu bicara yang tidak berguna, bicara tentang
kebatilan dan maksiat dengan senang hati, memaki dan berkata keji, melaknat,
mengejek, menyiarkan rahasia teman dan menggunjing orang lain, berdusta,
mengadu domba, bermuka dua, dll.
Pengobatan penyakit lidah
Pengobatan penyakit ini pada
prinsipnya ialah belajar menahan diri untuk tidak berkata-kata kecuali pada
hal-hal yang bermanfaat (baik); diam lebih bermanfaat daripada bicara mengenai
hal yang belum tentu kebaikannya; menyadari betul bahaya yang akan ditimbulkan
oleh perkataan yang menyakitkan hati orang lain.
c.
Amarah
Berkaitan dengan amarah, imam
al-Ghazali membagi manusia kepada tiga tingkatan. Pertama, Tafrith ialah
orang yang kehilangan kekuatan marah atau ada tetapi sangat lemah. Kedua,
Ifrathi ialah orang yang jiwanya dikuasai oleh sifat marah hingga keluar
dari kendali akal dan agama. Ketiga, I’tidal ialah orang yang
bersifat di tengah-tengah, suatu sifat
yang terpuji. Suatu kemarahan yang didasari oleh pertimbangan akal dan agama,
pada saat apa ia harus marah, bertindak tegas dan melakukan pembelaan.
Pengobatan amarah
Al-Ghazali menyebutkan pengobatan
marah itu adalah campuran dari dua macam, yaitu campuran ilmu dan amal. Obat
dengan ilmu yaitu dengan perenungan. Kemudian obat dengan amal yaitu dengan
tiga cara. Pertama, hendaklah membaca kalimat ta’awudz. Kedua,
jika masih belum reda juga, maka duduklah jika ia marah sedang berdiri, dan
berbaringlah jika ia marah sedang duduk. Ketiga, kemudian apabila
marahnya masih saja berkobar maka hendaklah ia berwudhu atau mandi dengan air
dingin.
Jadi, inti dari terapi marah adalah
pengendalian diri (menahan nafsu), baik sebelum marah itu terjadi (tindakan
pencegahan) maupun pengendalian diri pada saat suatu kemarahan terpaksa harus
terjadi.
d.
Dendam dan
dengki
Dendam itu adalah tetap hatinya
untuk merasa berat, benci dan lari dari orang-orang yang dimarahi itu dan
demikianlah terus menerus. Pengobatan dendam adalah dengan memaafkan kesalahan
orang lain, dan berlaku dengan santun serta kasih sayang.
Kedengkian ialah mengharapkan lenyapnya
nikmat dari orang yang didengki. Pengobatan kedengkian seperti halnya penyakit
hati terdahulu, yaitu melalui ilmu dan amal.
Melalui ilmu ialah mengetahui secara
pasti bahwa kedengkian sangat berbahaya bagi kehidupan dunia dan agama.
Sedangkan amal yang bermanfaat dalam mengobati kedengkian ialah dengan
menghukum kedengkian itu sendiri.jika kedengkian telah mendorongnya mencela
orang yang didengki maka ia mewajibkan lisannya dengan memuji dan
menyanjungnya.
e.
Cinta
dunia
Bila kesibukan dan kecintaan
terhadap dunia telah mengusai hatinya maka ia akan berat melaksanakan ibadah,
berat hatinya untuk bersedekah, akhirnya lupa kepada Allah dan lupa akan
kehidupan akhirat yang kekal.
Pengobatan yang mudah dilakukan
ialah memerhatikan contoh sikap Rasulullah beserta para sahabatnya, itulah
jalan yang selamat dan merupakan terapi jiwa manusia dalam menghadapi fasilitas
dan kenikmatan dunia. Yaitu tidak meninggalkan dunia secara total dan tisak
mengekang nafsu syahwat secara total pula. Dunia diambil seperlunya saja,
sedangkan syahwat dikendalikan agar jangan sampai keluar dari batas-batas
syariat serta akal sehat.
f.
Cinta harta
dan kikir
Seseorang yang mencintai harta
secara berlebihan akan menjadikan dirinya bersifat bakhil (kikir) yaitu tidak
mau membelanjakan hartanya di jalan Allah atau memberikan hartanya untuk orang
lain yang memerlukan, karena ia merasa takut hartanya akan berkurang.
Pengobatan cinta harta dan sifat
kikir menurut al-Ghazali adalah melakukan hal-hal yang menjadi lawan sifat
tersebut.
g.
Cinta
kedudukan dan riya
Kedudukan itu makanan rohani yang
menghendaki ketinggian dan kekuasaan, penguasaan terhadap orang lain dan
menyukai kesempurnaan. Nafsu kedudukan itu merasa senang bila dipuji.
Riya adalah ingin dilihat orang
supaya mendapat kedudukan di hati manusia, dan sum’ah bila ia menginginkan
(suka) mendengarkan kalimat-kalimat pujian dari orang lain atas kelebihan atau
kedudukannya itu.
Pengobatan cinta kedudukan dan riya
adalah dengan ilmu dan amal. Melalui ilmu ialah mengetahui bahayanya kedudukan
dan menguasai hati manusia, di dalam kedudukan itu terdapat ujian dan dorongan
nafsu. Maka ia harus menjaga hatinya dan selalu mengingat kematian. Kemudian
melalui amal ialah dengan cara menyembunyikan ketenaran dan kelebihan dirinya
karena semua itu sebenarnya adalah milik Allah.
h.
‘Ujub
(membanggakan diri)
‘Ujub (membanggakan diri) adalah
kesombongan yang timbul di dalam batin dengan mengkhayalkan kesempurnaan ilmu
dan amal pada dirinya, lupa bahwa semua itu hanyalah pemberian Tuhan.
Pengobatannya yaitu dengan cara mengingat kekurangan diri, segala kelebihhan
yang dimiliki suatu saat pasti akan sirna, apa-apa yang belum kita ketahui jauh
lebih banyak daripada apa yang telah kita ketahui sekarang.
i.
Kesombongan
(al-Kibr)
Kesombongan merupakan perilaku yang
timbul akibat adanya ‘ujub di dalam hati. Kesombongan sebagaimana di
definisikan oleh Rasulullah saw, adalah “melecehkan orang dan menolak
kebenaran.”
Berbagai kejelekan (bahaya) dari kesombongan
antara lain merendahkan orang lain, menjauh dan tidak mau duduk bersama atau
makan bersama, merasa berhak dihormati dengan segala penghormatan, bila
berjalan harus didahulukan, dan sebagainya.
Pengobatan kesombongan dilakukan
dengan dua jalan, yaitu: Pertama, mengikis habis akar-akarnya dan
mencabut pohonnya dari tempatnya di
dalam hati. Jalan ini dilakukan dengan cara: pengetahuan kesadaran tentang diri
dan Tuhannya; dan amal yaitu bersikap tawadhu’ kepada Allah dengan amal
perbuatan, dan kepada makhluk denan senantiasa menjaga akhlak orang-orang yang
tawadhu’ pada dirinya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dan
orang-orang saleh.
Kedua,
ialah menolak atau menjaga hal-hal yang memungkinkan muncul darinya kesombongan
atas orang lain.
j.
Ghurur
(terpedaya)
Ghurur maknanya adalah terpedaya
atau tertipu (oleh kehidupan dunia, setan dan angan-angan kosong) dalam
melakukan ketaatan kepada Allah.
Pengobatan ghurur ini dapat dilakukan
dengan menguatkan tiga perkara, yaitu: akal, ilmu, dan makrifat. Al-Ghazali
menyimpulkan terapi keterpedayaan ini sebenarnya adalah keikhlasan hati seorang
hamba. orang yang ikhlas pun masih terancam bahaya, maka rasa takut kepada
Allah dan waspada terhadap gerak hati tidak boleh dilalaikan. Menyadari akan
sulitnya menjaga hati maka al-Ghazali mengingatkan agar selalu memohon petunjuk
dan perlindungan dari Allah dan mendapat kebaikan di akhir perbuatan (husnul
khatimah).
0 komentar:
Post a Comment