a.
Bertobat Terus Menerus
Menurut al-Ghazali
tobat itu sebenarnya tersusun dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi
spiritual) dan perbutan.
Maksudnya adalah bahwa
dengan ilmu ia mengetahui besarnya bahaya dosa dan keberadaannya sebagai tabir
penghalang antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui
hal tersebut secara benar dan dengan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan
ini akan muncul suatu rasa sedih didalam hati akibat kehilangan apa yang
dicintai. Sebab, apabila hati merasa kehilangan apa yang dicintainya maka akan
merasa sedih, dan setiap hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya.
Rasa sedihnya akibat tidak dapat melakukan apa yang dicintainya ini disebut
penyesalan. Bila rasa-rasa sedih mendominasi haati maka akan uncul suatu
keadaan lain yang disebut iraddah (kehendak) dan qashd (keinginan)
kepada perbuatan yang memiliki hubungan dengan masa sekaran, masa laludan masa
yang akan datang. Keinginan untuk masa sekarang ialah meninggalkan dosa yang
dilakukannya. Keinginan yang untuk masa yang akan datang ialah bertekad untuk
meninggalkan dosa yang membuatnya kehilangan apa yang dicinta hingga akhir kehidupannya. Kemudian
keterkaitannya dengan masa lalu ialah mengganti apa yang telah lepas darinya (mengqadha)
dengan perbuatan baik selama hal itu bisa dilakukan.
Taubat dalam tradisi
tasawuf, taubat dikatagorikan dalam tiga tingkat, yaitu:
Pertama, merupakan tingkatan yang paling dasar, merupakan
taubat orang awam, ialah orang yang bertgaubat dituntun untuk memenuhi
persyaratan yang paling minimal.
Kedua. Ialah obat orng-orang baik. Maksudnya kembali dari
yang baik menuju yang lebih baik.
Ketiga, ialah tobatnya orang-orang istimewa (khusu), yaitu
kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah.
b.
Mengenali motif kita yang paling dalam (al-niyyah
wa al-ikhlash wa al- shidq).
Al-Ghazali menjelaskan
niat, kehendak dan tujuan (motif) adalah ungkapan yang mempunyai satu arti,
yaitu kehendak dan sifat hati yang dalam, mengandung kaitan antara ilmu dan
amal. Niat adalah ibarat kehendak yang berbeda ditengah antara pengetahuan yang
mendahuluinyadan amal yang muncul.
Niat yang bnar adalah
niat yang didasari keikhlasan. Keikhlasan artinya suatu yang bersih tanpa
campuranyang mencemarinya (murni). Jadi keikhlasan adalah bersihnya niat dan
amal selain mengharapkan Allah (ibadah kepada-Nya).
Motif yang tinggi itu
harus dipertahankan agar ia selalu mewarnai dalam segala pikiran dan perbuatan, dengan al-shidq (kebenaran).
Kebenaran yang dimaksudkan adalah berada pada enam tempat yaitu: kebenaran
dalam perkataan, kebenaran dalam niat dan kehendak, kebenaran dalan menempati
kemauan, kebenaran dalam perbuatan, dan kebenaran dalam mewujudkan seluruh
ajaran agama. Mereka itulah orang-orang yang benar (al-shiddiqun).
c.
Kesadaran diri yang tinggi (al-muraqabah wa
al-muhasabah, wa al-tafakkur).
Untuk memperoleh
kesadaran diri yang tinggi, al-Ghalzali menyebutkan enam langkah murabathah (kesiapsiagaan
jiwa) yang harus dilakukan, selain dari tafakkur, enam langkah tersebut
adalah:
Langkah pertama, adalah Misyarathah (penempatan
syarat), maksudnya adalah penempatan syarat untuk kerja sama antara jiwa dan
akal. Dalam kerja sama itu, kemudian diawasi (muraqabah), diaudit
(muhasabah) dan diberi sanksi (mu’aqabah) atau
dicela (mu’atabah). Demikian pula akal memerlukan penetapan
syarat kepada jiwa, lalu memberikan berbagai tugas, syarat dan mengarahkan
kejalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut,
menghiindari berbagai kelailan dalam melaksanakan tugas.
Langkah kedua, adalah muraqabah (pengawasan),
maksudnya adalah apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat
kepadanya dengan apa yang telah disebutkan diatas maka langkah selanjutnya
adalah mengawasinya ketika melakukan berbagi amal perbuatan dan
memperhatikannya dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan
melampaui batas dan lalai.
Langkah ketiga, ialah muhasabah
(menghitung, melakukan audit), maksudnya adalah meninjau kembali segala
perbuatan, keuntungan (kesalehan, keutamaan) dan kerugian (kemaksiatan), untuk
mencari kejelasan apakah keuntungannya bertambah atau berkurang dan mngkin
merugi. Apabila ternyata bertambah perbuatan baiknya maka ia bersyukur, dan
jika didapatinya merugi maka ia mencari jalan keluar dan memperbaikinya untuk
masa berikutnya.
Langkah keempat, ialah
mu’aqabah (menghukum diri atas segala kekurangan), maksudnya
adalah setelah dilakukan perhitungan yang teliti, apabila jiwa bersama anggota
badan ternyata telah melakukan suatu kesalahan maka perlu diberikan hukuman.
Langkah kelima, ialah mujahadah (bersungguh-sungguh),
maksudnya adalah memotivasi diri sendiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dengan cara memusatkan perhatian (konsentrasi) kepada tercapainya tujuan dan
kreativitas, tanpa terganggu oleh dorongan nafsu, kecemasan, atau adanya
ancaman (rintangan), atau pengaruh orang sekitarnya sehingga ia tetap teguh
dalam motivasi dan konsentrasinya.
Langkah keenm, ialah mu’atabah (mencela diri), maksudnya
adalah selalu menegur dan mencela jiwa (nafsu) karena nafsu itu mempunyai
karakter suka memerintahkan kepada
keburukan, cenderung kapada kejahatan, lari dari kebaikan, jika lalai maka ia
akan merajalela dan menjadi liar dengan kejahatannya. Jika kita senantiasa
menegur dan mencelanya, kadang-kadang tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang
amat menyesali dirinya), kemudian diharapkan akan dapat meningkatkan menjadi
nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang) yang mengajak untuk msuk kedalam
kelompok hamba-hamba Allah yang ridha dan di ridhai.
d.
Tanggap
terhdap diri yang terdalam (al-mahabbah, al-syawaq, al-uns)
Perasaan diri yang teralam adalah
perasaan luhur yang terdapat dalam lubuk hati setiap manusia, ia bersifat
fitri. Diantara perasaan luhur itu adalah mahabbah (cinta), syauq (rindu)
da nuns (sayang dan bahagia). Seseorang yang sedang dilanda cinta, maka ia selalu
rindu untuk bertemu dengan orang yang di cintainya, kemudian ia akan merasa
sangat bahagia bila bisa bersama atau dekat dengan orang yang dicintai itu.
Dalam tasawuf, cinta yang sebenarnya
ialah cinta seseorang hamba kepada Allah mengalahkan cintanya terhadap yang
lainnya bahkan dirinya sendiri.
e.
Kemampuan
untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan (al-shabr wa al-ridha)
Manusia dlam menjalankan kehidupan tidak
akan terlepas dari cobaan (musibah, kesulitan) dan tidak seorangpun yang dapat
menghindari dari qadha (ketepatan) Allah. Oleh karena itu, seorang
mukmin harus menerimannya dengan sabar dan penuh kerelaan (ar-ridha) sebab
semua keadaan tersebut merupakan ujian dan ketentuan Allah. Keutamaan orang
yang mampu menjadikan sabar sebagai pakaian hatinya, menurut al-Ghazali antara
lain adalah:
1)
Allah
jadikan mereka itu sebagai pemimpin. (Sajdah: 24)
2)
Diberikan
balasan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka perbuat. (al-Nahl:96;
al-Qashash:54; al-Zumar:10)
3)
Allah
bersama orang-orang yang sabar: al-Anfal: 46)
4)
Allah
menjajikan kemenangan bagi orang-orang yang bersabar. (Ali Imran: 125)
5)
Mendapat
keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (al-Baqarah: 157)
Kesabaran itu terbagi menjadi dua macam. Pertama,
kesabaran yang berkaitan dengan fisik, berupa ketabahan dan ketegaran
memikul beban dengan badan atau perbuatan, seperti: sabar Manahan pukulan
berat, penyakit, atau luka dibadan. Kedua, ialah kesabaran yang terpuji
dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri
dari berbagai keinginan atau tuntutan hawa nafsu.
Hamper semua akhlak iman masuk kedalam hakikat
sabar.
Pertama, bahwa semua musibah itu pada hakikatnya datang dari Allah, hanya
factor penyebabnya ada pada manusia.
Kedua, bahwa musibah itu mengandung fungsi sebagai peringatan atas
kelalaian manusia (misalnya kesalahan, dosa, dan sebagainya); dan musibah juga
mengandung fungsi ujian (cobaan) iman. Jika seamat (maksudnya dapat bersabar
menjalaninya) maka ia lulus ujian dan mangkit meningkatkan derajatnya.
Ketiga, bahwa tiap musibah atau kesulitan yang ditimpakan Allah kepada
manusia pastilah mengandung hikmah yang besar, hanya saja kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.
Keempat, sikap jiwa tepat untuk bisa sabar dalam menghadapi
musibah adalah dicirikan sebagai berikut:
1)
Keyakinan kepada kekuasaan Tuhan makin bertambah kuat.
2)
Tidak berkeluh-kesah.
3)
Tabah, rela dan berani menghadapinya.
4)
Berupaya untuk menanggulangi musibah atau kesulitan itu menurut anjuran
syariat agama dan langkah-langkah penanggulangan yang seharusnya dilakukan.
5)
Dengan musibah itu mendatangkan kekuatan jiwa untuk mendapatkan sukses
karena pada musibah terdapat pelajaran atau peringatan Allah dan dikuatkan pula
oleh kayakinan akan adanya hikamh yang lebih besar dibalik musibah.
f.
Kemampuan berdiri menentang orang banyak (al-zuhd)
Hakikat zuhud ialah
kondisi jiwa yang betul-betul terbebas dari pengaruh (tarikan) hawa nafsu dan
kenikmatan dunia. Yang ada dalam hatinya hanyalah Allah, dan ia selalu istiqamah
(tegak, tetap) pada pendirian tersebut meskipun berbeda dengan orang
banyak (field-independent).
Metode untuk mencapai kepribadian seperti ini menurut
al-Ghazali adalah mendidik hati dengan cara:
1)
Menyadari akan tujuan hidup yang sebenarnya yaitu bukanlah mengikuti nafsu
dan mencari kenikmatan duniawi, tetapi kebahagiaan hidup akhirat yang kekal.
2)
Tidak menginginkan sesuatu selain Allah, dan tidak panjang angan-angan.
3)
Tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena lepasnya
sesuatu(bagian dunia) dari tangannya, karena hatinya merasa bahewa ia tidak
memiliki apa-apa.
4)
Jika dalam hidupnya diberi karunia atau nikmat dunia oleh Allah maka segala
nikmat itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk memperkuat zikir dan ketaatan
kepada Allah, sedangkan sebagiannya dipergunakan sekadar mencukupi untuk tetap
kuatnya bdan (kesehatan) dan keperluan hidupnya.
5)
Lapang dada manerima kritik, hinaan ataupun cacian.
g.
Keengganan untuk menyebabkan kerusakan (al-raja’wa
khauwf)
Al-Raja’ artinya harapan, maksudnya adalah harapan akan
mendapatjkan sesuatu yang diinginkan (yaitu karunia dan ampunan Allah),
sehingga melahirkan usaha untuk mencapinya dengan perasaan optimis. Sedangkan al-kahuwf
artinya takut, maksudnya adalah ketakutan akan datangnya suatu yang
tidak diinginkan atau menyakitkan (yaitu azab atau siksa Allah). Sama haknya
dengan al-raja, al-khauwf juga melahirkan usaha yang kuat untuk
menghindarkan segala faktor penyebab akan terjadinya azab dan keruakan.
Cara yag dapat
dilakukan antara lain adalah:
1)
Terus berusaha meningkatkan ketaatan dan kebijakan guna mencapai harpan.
2)
Memelihara dan berbuat kebaikan terhdap manusia dan alam.
3)
Menghindari segala perbuatan maksiat (lahir dan batin) dan segala perbuat
yang dapat mendatangkan kerusakan didunia baik terhap manusia, alam maupun
makhluk lainnya, karena sesungguhnya siksa dan bencana itu ditimpahkan Allah
disebabkan erbuatan manusia itu sendiri.
h.
Menjadi cerdas secara spiritual dalam agama (al-tawhid
wa al-tawakku)
Al-Tawhid (Tauhid) berarti beriman kepada Tuhan dan mengesakan-Nya. Tiada Tuhan
selain Allah sendiri, tiada sekutu bagi-Nya, dialah yang memiliki segala
kekuasaan, dan bagi-Nyasegala pujian. Sedangkan al-tawakkul (tawakal)
berarti menyadarkan hasil dari segala urusan yang dilakukan kepada Allah
sebagai konseikonsi logis tauhidnya tadi.
Seseorang yang cerdas
dalam beragama haruslah dimulai dan tauhid yang benar dan diakhiri dengan
tawakal yang merupaka buah dari tauhid yang benar, ditengahnya adalah ibadab
(amal) yang dilakukan secara ikhlas. Al-Ghazali mengistilahkannya dengan
sebutan”tauhid meupakan awal dan akhir sikap hidup orang beragama”. Jadi,
kemantapan tauhid, ibadah (amal saleh) yang dilakukan secara ikhlasdan tawakal
kepada Allah menjadi indikator utama dari kecerdasan beragama.
Bagaimana menanamkan
tauhid dalam jiwa seseorang benar sehingga membuahkan kecerdasan beragama
sebagaimana yang dimaksud diatas menurut al-Ghazali, maka dlam hal ini penulis
sependapat dengan analisis yang dilakukan oleh Sa’id Hawwa atas kitab
Ihya’Ulum al-Din yaitu melakukan peralihan jiwa dari tauhid ‘aqli (tauhid
rasional) kepada tauhid dzawqi (tauhid cita rasa) dengan melalui
jenjangjenjang sebagai berikut:
1)
Fana’ dalam perbuatan,
maksudnya adalah hati merasakan bahwa segala sesuatu merupakan perbuatan Allah
dan ciptaan-Nya. Kemdian merasakan didalam diri bahwa kita tidak memiliki daya
dan kekuatan kecuali denganpertolongan Allah.
2)
Fana’ dalam sifat, maksudnya
adalah hati kita merasakan harus berakhlak dengan nama-nama Allah yang Maha
Inadah sebagai konseikuensi ‘ubudiyah (pengabdian kepada Allah)
3)
Fana’ dalam hukum, maksudnya
ialah hati kita meraakan keharusan tunduk kepada hukum-hukum Allah dan
syari’at-Nya, kemudian mematuhinya.
4)
Fana’ dalam komitmen dan
amal, ialah menyadari keharusan mengerahkan segala upaya untuk melaksanakan
semua kewajiban sebagai ‘ubudiyah melalui sarana, pertama zikir: shalat,
jihad, puasa, haji, tilawah Alqur’an, tasbih, tahmid, takbir,
istigfar , shalawat atas nama Nabi saw, dan do’a; dan kedua adalah mudzakarah
bersama orang-orang saleh, berafiliasi kepada ahl al-haq (orang yang
benar) dan bergabung kedalam lingkungan yang saleh.
i.
Menjadi cerdas secara spiritual mengenai kematian (zikr
al-naw wa ma ba’dahu)
Zikr al-mawt artinya mengingat kematian. Wa ma ba’duhu artinya
kehidupan setelah terjadinya kematian, meliputi ehidupan di alam kubur, hari
kiamat dan pembalasan (berupa surga dan neraka). Jadi, cerdas mengenai kematian
berarti cerdas dalam menghadapi peristiwa kemataian itu sendiri dan cerdas pula
mempersiapkan bekal untuk kehidupan sesudah kematian tersebut. Kemudian
memudahkan menyebutnya maka cukup disebut al-Ghazali memingat kematian’.
Dengan adanya metode SQ
yang kedelapan ini, berarti baik al-Ghazali maupun Zohar sama-sama meyakini
bahwa SQ yang sesungguhnya tidak mungkin dicapai oleh orang-orang yang tidak
beragama, karena orang-orang yang tidak beragama tidak mempercayai adanya
kehidupan dan pembalasan sesuatu kematian.
Oleh karena itu, teori
SQ Zohar yang pada awalnya mendasarkan kepada fakta-fakta neurobiologi murni,
dan mengatakan bahwa SQ tidak berkaitan dengan agama, namun pada akhirnya tidak
bisa mengingkari bahwa puncak konsep SQ yang dikemukakannya mengahruskan SQ tetap
terkait dengan keyakinan agama.
Al-gzalai mengelompokkkan
sifat manusia dalam mengingat kemtian menjadi empat golongan, yaitu:
Golongan pertama adalah orang-orang yang tenggelam ke dalam dunia,
ia tidal mengingat kematian sama sekali. Jika diingatkan iapun mengingat
semata-mata untuk mnyesali dunianya dan sibuk mencelanya. Mereka berusaha lari
dari kematian. Bagi orang ini, mengingat kematian membuat dirinya semakin jauh
dari Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang amat bodoh dan celaka.
Golongan kedua adalah orang yang bertaubat, ia banyak mengingat
kematian untuk membangkitkan rasa takut dan khawatir dalam hatinya, lalu ia
menyempurnakan tobat, dan kadang-kadang tidak menyukai kematian mkarena taut
datangnya kematian secara tiba-tiba sebelum terwujud kesempurnann tobat dan
persiapan bekalnya.
Golongan ketiga adalah golongan oran-orang yang ‘arif (orang
yang memperoleh makrifat). Orang ini selalu mengingat kematian karena kematian
adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya (Allah).
Golongan keempat adalah golongan yang paling tinggi kedudukannya,
yaitu orang-oarang yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah.
Al-ghazali menjelaskan
ada beberapa jalan untuk mewujudkan ingat akan kematian didalam hati, yaitu:
1)
Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain mengingat kematian yang selalu
mengintainya, seperti keadaan orang yang bepergian kepadang pasir yang
berbahaya atau menyebrangi lautan luas. Hati orang tersebut tentu saja selalu
ingat akan bahaya yang bakal terjadi (kematian)
2)
Memperbanyak menyebut dan mengingat kematian teman-teman kita. Betapa
mereka dulu gagah dan cantik rupanya, tetapi gini semua sirna ditelan tanah,
mereka tinggalkan segala harta, istri dan anak-anak, dan sebagainya. Keadaan
seperti itu suatu ketika tentulah akan menimpa pada diri kita.
3)
Sering berziarah kekubur agar dapat mengambil pelajaran.
4)
Mengunjungi orang sakit, karena hal itu akan memperharuai ingatan kepada
kematian.