Salah satu peran pendidikan yang utama adalah untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Apakah melalui riset atau layanan kesehatan primer atau sekunder, kita menanti-nanti akan suatu hari dimana kita mampu mendiagnosa dan mengobati penyakit medis, mencegah perilaku abnormal, dan membantu perkembangan keadaan yang positif
dalam keseimbangan dengan orang lain dan lingkungan disekitar kita. Ini bukanlah suatu tugas gambang; suatu kekuatan-kekuatan yang besar mempengaruhi kesehatan kita untuk mencegah dan mengobati penyakit.
Ketika kita bekerja keras untuk menghadapi tantangan untuk memperbaiki kualitas manusia dalam kesehatan fisik maupun mental, peran kultur dalam etiologi, pemeliharaan, dan perawatan penyakit menjadi semakin jelas. Sementara tujuan kita untuk pencagahan dan perawatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan mungkin adalah secara lintas budaya, kultur bervariasi dalam mendefinisikan tentang apa yang dipertimbangkan sehat atau sakit.
1. Perbedaan Budaya dalam definisi kesehatan
Selama ini dalam tradisi Amerika, pandangan tentang kesehatan sangat dipengaruhi dengan pendekatan omedical modelp. Model ini memandang penyakit sebagai hasil suatu penyebab spesifik yang bisa diidentifikasi di dalam badan. Penyebeb ini, apakah karena virus, bakteri atau yang lainnya, dikenal sebagai pathogens dan dapat dilihat sebagai akarnya dari fisik dan penyakit medis. Misalnya penyakit jantung koroner dihubungkan dengan kolestrol yang berlebihan dalam tubuh. Model medis tentang penyakit besar pengaruhnya terhadap pandangan psikologi tentang perilaku abnormal dan psikopatologi. Pendekatan psikologi tradisional, misalnya memandang asal dari perilaku abnormal terletak dalam diri orang itu sendiri.
Pandangan dari kultur lainya mengusulkan definisi kesehatan yang berbeda. Orang-orang dari Yunani dan Negri China masa lampau, misalnya memandang kesehatan tidak hanya sebagai ketidakhadiran kondisi/keadaan negative tetapi juga sebagai kehadiran kondisi yang positif.
Pendekatan akhir-akhir ini lebih memusatkan perhatian pada factor-faktor yang berkaitan dengan gaya hidup. Kita sekarang mengetahui bahwa banyak yang menjadi penyebab kematian yang secara langsung atau tidak langsung dapat dikaitkan dengan pilihan gaya hidup dan pada perilaku yang tidak sehat. (Feist & Brannon, 1998)
Pengaruh faktor psikososial pada proses penyakit adalah salah satu dari bidang dan studi yang menarik saat ini.
2. Isolasi Sosial dan Kematian
Beberapa studi telah menyoroti efek negative yang pontensial dari isolasi sosial dan kerugian sosial pada kesehatan dan penyakit. Salah satu yang terbaik yang dikenal dan berpengaruh untuk studi ini adalah studi Alameda County (Berkman & Syme, 1979)
Studi ini adalah yang sangat besar dari faktor sosiokultural dalam pemeliharaan kesehatan fisik dan penyakit.
3. Penyakit Cardiovasculer
Penyakit Cardiovasculer telah menerima perhatian yang pantas dipertimbangkan dari peneliti yang tertarik akan pengaruh sociocultural dan psikologis pada penyakit ini.
Di luar faktor kepribadian, bagaimanapun, faktor budaya dan sosial juga berperan untuk penyakit ini. Marmot dan Syme (1976) yang mempelajari imigran jepang yang tinggal di Amerika, menggolongkan 3809 subjek ke dalam kelompok menurut tingkat sejauhmana mengukuhi kebiasaan-kebiasaan atau adat Jepang (yang berbicara dengan bahasa Jepang di rumah, mempertahankan nilai-nilai dan perilaku tradisional Jepang, dan sebagainya).
4. Penyakit-penyakit lain
Riset lainnya telah memfokuskan pada penyakit-penyakit lain dan perilaku-perilaku yang terkait dengan kesehatan, seperti kanker, merokok, stress, dan sakit kepala. Suatu studi terbaru yang dilaporkan oleh Matsumoto dan Fletcher (dalam Matsumoto, 1997) telah membuka pintu bagi studi di area ini. Peneliti ini memperoleh tingkat kematian dari enam penyakit medis yang berbeda; infeksi/peradangan dan penyakit seperti parasit, neoplasma menular, penyakit system peredaran darah, penyakit jantung, penyakit cerebrovascular, dan penyakit yang berhubungan dengan system pernapasan.
Untuk mendapatkan data budaya dari negeri masing-masing, Matsumoto dan Fletcher (1994) menggunaka index budaya yang diperoleh sebelumnya oleh Hostede (1980, 1983)
Hasil adalah sungguh mencengankan dan menunjuk pentingnya kultur sebagai fenomena sosial dalam proses perkembangan penyakit sebagai contoh.
Dimensi PD adalah prediksi dari penyakit peredaran darah. Kultur yang lebih tinggi skornya pada PD memiliki tingkat yang lebih rendah untuk penyakit ini. IC dan UA adalah juga bersifat prediksi untuk penyakit ini. PD, IC, dan UA adalah semua bersifat prediksi bagi penyakit jantung.
B. PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN PERILAKU ABNORMAL
Salah satu dari pertanyaan lintas budaya yang penting adalah penyelidikan tentang peran kultur dalam memahami, menafsir, dan mengobati/merawat perilaku abnormal. Beberapa tema utama sudah memandu riset dan pemikiran dalam area psikologi ini. Yang pertama dan terkemuka adalah pertanyaan mengenai definisi abnormal.
1. Mendefinisikan Abnormal
Ada beberapa sudut pandang secara tradisional dalam memberikan batasan tentang perilaku abnormal. Salah satu sudut pandang mendefinisikan abnormalitas dengan penggunaan pendekatan statistic dan aplikasi tentang kreteria kerusakan/kelemahan atau inefisiensi, penyimpangan, dan distress subjektif. Sebagai contoh, perilaku seseorang bisa digambarka sebagai abnormal sebab kejadiannya adalah jarang. Ia menjadi tidak berhubungan lagi dengan lingkungannya, mempunyai delusi atau keyakinan yang salah bahwa ia adalah binatang, dan berbicara dengan yang mati. Fenomena ini bukan merupakan pengalaman umum.
Pendekatan lainnya mendefinisikan abnormalitas dengan memfokuskan pada perilaku individu yang dihubungkan dengan inefisiensi dalam melaksanakan peran-peran yang umum. Misalnya, adalah susah untuk membayangkan seseorang bisa menyelsaikan fungsi sehari-hari yang normal seperti merawat dirinya dan bekerja sementara dia percaya dirinya menjadi seekor binatang.
Kita mungkin juga menyimpulkan bahwa perilaku itu abnormal karena nampaknya jauh bertentangan dengan norma-norma sosial. Tetapi, tidak semua perilaku yang secara sosial menyimpang dapat dipertimbangkan abnormal atau secara psikologis terganggu. Sebagai contoh, banyak orang-orang tetap berpegang pada kepercayaan bahwa homoseksualitas adalah penyimpang (deviant), walaupun hal itu tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental (menurut Asosiasi Psikiatris, 1987).
2. Sudut Pandang Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Sudut pandang ini menyatakan bahwa kita harus menerapkan prinsip tentang relativisme budaya pada abnomalitas. Sebagai contoh, perilaku seseorang yang berbicara dengan orang mati dan mengganggap dirinya sendiri sebagai binatang mungkin dianggap terganggu jika hal itu terjadi di sudut jalan dalam suatu kota besar di Amerika Serikat. Namun ini bisa dimengerti dan sesuai atau dianggap bukan sebagai gangguan, jika terjadi dalam suatau upacara shamanistic di mana ia sedang bertindak sebagai penyembuh.
Beberapa perilaku, terutama sekali yang berhubunga dengan penyakit kejiwaan atau psikosis (sebagai contoh, delusi, halusinasi), adalah bersifat universal dikenali sebagai abnormal (Murphy, 1976). Bagaimanapun, beberapa penyelidikan (sebagai contoh, Kleinman, 1988; Marsella, 1979, 1980).
Menyandarkan kepercayaan pada laporan tentang penderitaan (distress) subjektif untuk mendefinisikan perilaku abnormal juga merupakan masalah ketika mempertimbangkan abnormalitas secara lintas Kultur.
Apakah menerima definisi abnormalitas yang relatif atau universal adalah suatu sumber kontroversi yang terus berlanjut di dalam psikologis.
3. Schizophrenia
Schizophrenia adalah bagian dari kelompok gangguan psikotik (psychotic disorders) yang ditandai oleh distorsi mengenai kenyataan; penarikan dari interaksi sosial; dan disorganisasi persepsi, pikiran, dan emosi (Carson, Butcher &Coleman, 1988). Beberapa teori menaruh perhatian pada etiologi (penyebab) dari Schizophrenia terutama pada faktor biologi (sebagai contoh, kelebihan dopamine atau ketidak seimbangan biokimia lainnya). Teori lain menekankan dinamika keluarga (sebagai contoh, ungkapan permusuhan ke orang sakit), Diathesis-Stress Model tentang Schizophrenia menyatakan bahwa individu dengan suatu predisposisi biologi yang terganggu mungkin mengembangkan gangguan yang mengikuti ekspose terhadap sulessor lingkungan.
4. Depresi
Kita semua sudah pernah mengalami suasana hati yang depresi, kesedihan, atau keharuan biru dalam hidup kita. Kita mungkin punya perasaan ini dalam merespon suatu kematian anggota keluarga, retaknya suatu hubungan, kegagalan suatu tujuan, dan semacamnya. Kehadiran gangguan depresi melibatkan gejala kesedihan yang dalam, merasa kesia-siaan dan tidak berharga, dan penarikan diri dari lainnya. Depresi adalah sering juga ditandai oleh perubahan fisik (sebagai contoh, gangguan tidur dan selera makan) seperti halnya perubahan tingkah laku dan emosional. Seperti Schizophrenia, depresi adalah salah satu dari gangguan psikologis yang paling utama di Amerika Serikat. Dalam studi yang dilakun Myers, dkk.. (1984) menemukan bahwa 3 % dan 7% dari populasi orang dewasa laki-laki dan wanita, berturut-turut telah mengalami suatu gangguan depresi dalam periode enam bulan sebelumnya.
Dalam studi lintas budaya tentang depresi, variasi dalam ungkapan symptomatologi telah secara luas didokumentasikan. Beberapa kelompok budaya (sebagai contoh, orang-orang Nigeria) adalah lebih sedikit mungkin untuk melaporkan perasaan tidak berharga yang ekstrim. Orang lain (sebagai contoh, China) lebih mungkin untuk melaporkan keluhan somatkc (Kleinman, 1988). Sebagaimana dengan Schizophrenia, tingkat depresi juga bervariasi dari satu kultur ke kultur lainnya (Marsella, 1980).
Left (197) mengajukan argument bahwa kultur bervariasi dalam kaitan dengan komunikasi dan pembedaan mereka mengenai istilah emosional dan, karenanya berpengaruh pada bagaimana mereka mengalami dan menyatakan depresi. Kleinman (1988) walaupun menerima ide bahwa penyakit depresi adalah universal, ia menyatakan bahwa ekspresi dan bentuk dari penyakit itu ditentukan secara kultural.
Marsella juga mengajukan alasan tentang pandangan depresi yang secara cultural relative, dan menyatakan bahwa depresi mengambil bentuk afektif secara primer dalam kultur dengan orientasi obyektif yang kuat (itu adalah yang menekankan individualisme),
5. Ganguan-ganguan psikologis yang lain
Pendekatan yang digunakan dalam studi lintas budaya tentang depresi dan schizophrenia yang dilaporkan disini ditandai sebagai suatu pendekatan etic, yang salah satunya mengasumsikan menerima definisi tentang abnormalitas dan metodelogi secara universal. Berlawanan dengan pendekatan etic, di sini telah pula ada beberapa laporan etnografi tentang sindrom-sindrom yang dikaitkan dengan budaya. Ini adalah format dari perilaku abnormal yang diobsevasi hanya dalam lingkungan sosiokultur tertentu.
Penggunaan pendekatan emic (culture-specific) secara primer melibatkan pengujian etnografi tentang perilaku di dalam suatu konteks budaya yang spesifik, para antropolog dan psikiater sudah mengenali beberapa bentuk unik dari gangguan psikologis.
Amok adalah suatu kekacauan yang ditandai oleh amukan mendadak dan agresi berhubungan dengan pembunuhan. Ini dianggap karena adanya stress, kurangnya tidur, dan konsumsi alcohol. Istilah running amok berasal dari pengamatan atas gangguan itu.
Witiko (juga dikenal sebagai windigo) adalah suatu gangguan yang telah dikenal orang Indian Algonquin di Kanada. Ini melibatkan kepercayaan bahwa individu telah dikuasai oleh watiko spirit suatu monster yang memakan orang.
Anorexia nervosa adalah suatu gangguan yang dikenal di barat. Ganguan yang ditandai oleh suatu gambaran body image yang terdistori, ketakutan menjadi gemuk, dan suatu kehilangan berat tubuh yang serius berhubungan dengan pengendalian makanan atau pembersihan.
Kiev (1972) dan Yap (1974) yang mereview literature pada culture bound sindroms ini, mencakup latah (yang ditandai oleh hysteria dan echolalia, mengamati terutama pada wanita Melayu).
Pfeiffer (1982) telah mengidentifikasi empat dimensi untuk pemahaman culture-bound sindroms. Ia mengemukakan bahwa area stress yang sifatnya spesifik budaya mungkin berperan untuk sindrom itu. Area-area stress/tekanan ini meliputi keluarga dan struktur bermasyarakat dan kondisi-kondisi ekologis. Sebagai contoh, koro boleh jadi terbaik dipahami sebagai hasil penekanan budaya yang unik pada potensi di dalam kultur tertentu yang menekankan otoritas pihak ayah.
Beberapa Sarjana (sebagai contoh, Kleinman, 1988; Marsella, 1979, Pfeiffer, 1982) menyatakan bahwa mustahil untuk mengunakan skema penggolongan Barat akhir-akhir ini untuk memahami culture-buond sindrom sebab yang belakangan dialami suatu sudut pandang yang secara kualitatif berbeda.
C. PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI PENYAKIT
Perbedaan dalam Pelayanan Kesehatan dan Sistem Pengiriman Medis
Untuk memahami bagaimana kultur berbeda dalam menghadapi macam-macam penyakit psikologis dan medis, kita pertama harus mengenali perbedaan yang ada dalam system pelayanan kesehatan. Faktor-faktor ini meliputi perkembangan sosial dan ekonomi, kemajuan teknologi dan ketersediaannya, dan pengaruh Negara-negara tetangga atau kerjasama.
Di seluruh dunia, ada empat kategori utama system kesehatan nasional; entrepreneurial (swastanisasi), beroroentasi kesejahteraan, menyeluruh (komprehensif), dan sosialis (Roemer, 1993).
Perbedaan dalam perilaku abnormal melibatkan pengidentifikasian dan penggambaran gejala/symptom individu dalam konteks tingkatan keseluruhan fungsi dan lingkungan. Alat/ instrument dan metode asesmen harus peka pada budaya dan pengaruh lingkungan lain perilaku dan fungsinya.
1. Penilaian (asesmen) antara budaya tentang perilaku abnormal
Alat-alat asesmen klinis tradisional dalam psikologi didasarkan pada suatu definisi standard abnormalitas atau kelainan dan menggunakan suatu standars criteria penggolongan untuk mengevaluasi perilaku.
2. Treatmen (perawatan) perilaku Abnormal Secara Lintas Budaya
Dalam dua dekade yang lalu, telah muncul hasil-hasil riset yang menunjukkan bahwa klien secara cultural berbeda tidak sesuai dilayani dengan metode treatmen yang tradisional. Dalam studi pendahuluan tentang perbedaan respon atas jasa kesehatan mental yang standar di Seattle Area, Sue (1977) menemukan tingkat lebih rendah pada pemanfaatan jasa kesehatan mental bagi orang Asian-American dan Native-American dibandingkan Euro-American dan African-American.
D. PENERAPAN PSIKOLOGI SOSIAL PADA TINGKAH LAKU YANG TERKAIT DENGAN KESEHATAN
Hingga paruh kedua abad Sembilan belas, sebagian besar orang masih berpikiran bahwa penyakit disebabkan oleh hal-hal seperti kelemahan bawaan, tingkah laku asusila, udara yang buruk, ataupun karena ilmu sihir. Meskipun pada awalnya ide tentang bakteri dan virus yang tidak terlihat ditolak oleh para dokter dan masyarakat umum, orang-orang kini telah mengerti peranan mikroba (Tomes 1998). Psikologi kesehatan (health Psychology) memfokuskan perhatian mereka kepada proses-proses psikologis yang mempengaruhi perkembangan, pencegahan, dan pengobatan penyakit-penyakit fisik (Glass, 1989).
1. Menanggapi informasi-informasi yang terkait dengan kesehatan
Langkah awal dalam menghadapi isu-isu kesehatan adalah dengan cara mencari informasi-informasi yang relevan dan factual lalu melakukan sesuatu berdasarkan informasi itu. Meskipun kita memiliki informasi yang factual tentang kesehatan, perilaku menjaga kesehatan sepenuhnya ditentukan oleh variable-variabel psikologis.
2. Memahami dan mengevaluasi informasi tentang kesehatan.
Jika berita-berita utama di media adalah sumber utama pengetahua kita, maka kita akan terus-menerus hidup dalam ketakutan terhadap AIDS, penyakit lyme, penyakit sapi gila, bakteri pada daging, dan virus dari monyet-monyet Afrika yang mengubah isi perut seseorang menjadi sesuatu yang berbentuk seperti spaghetti. Namun, secara teratur kita juga menerima berita-berita positif yang mengindikasikan bahwa ilmu kesehatan hamper berhasil dalam mencegah atau menyembuhkan kanker, diabetes, dan penyakit-penyakit yang ditakuti lainnya.
Sejumlah wacana diatur agar memenuhi dua fungsi sekaligus, yaitu memberikan informasi tentang sebuah wabah baru dan juga memberikan informasi tentang bagaimana kita harus menghadapinya.
3. Menolak versus menerima informasi tentang kesehatan
Dalam merespon serangan informasi tentang kesehatan yang bertubi-tubi dari TV, Koran-koran, majalah, internet, dan petugas media, orang-orang cenderung hanya menerima sebagian saja. Kalaupun mereka menerima informasi-informasi itu secara sepenuhnya, bukan berarti tingkah laku mereka juga berubah sejalan dengan informasi yang mereka terima.
Salah satu penyebabnya adalah faktor afektif yang terkandung dalam pesan-pesan kesehatan. Contohnya adalah kampanye billboard di mana sebuah peti mati digambarkan bersama-sama dengan tulisan hitam yang berbunyi, “MEROKOK DAPAT MEMBUNUH ANDA”.
Dengan cara yang sama, merenungkan tentang sesuatu yang menakutkan seperti kangker payudara dapat mengaktifkan mekanisme pertahanan yang akan mengganggu kemampuan perempuan untuk menaruh perhatian terhadap sebuah pesan tentang deteksi awal, pesan untuk mengingat bahayanya, dan tentang tindakan apa yang sebaiknya di ambil (Miller, 1997).
E. DAMPAK EMOSIONAL DAN FISIOLOGIS DARI STRESS
Selama perang dunia II, para psikologi menjadi semakin tertarik pada stress dan implikasinya terhadap kognisi, tingkah laku yang tampak, dan kesehatan. Stress didefinisikan sebagai peristiwa fisik atau psikologis apa pun yang dipersepsikan sebagai ancaman pontensial terhadap kesehatan fisik atau emosional.
1. Penyakit-penyakit sebagai akibat dari stress
Tampaknya tidak ada keraguan bahwa jika stress meningkat, maka penyakit akan lebih mugkin muncul.penelitian telah menemukan berbagai sembur stress dalam kehidupan kita sehari-hari.
Cara terbaik untuk mengurangi stress yang disebabkan oleh penyakit atau prosedur diagnostic dan pengobatan adalah dengan mengetahui sebanyak mungkin tentang kondisi anda.
Perbadaan individual dalam kaitannya dengan efek dari stress. Jika dihadapkan pada intensitas dan jumlah stress yang sama besar, beberapa orang akan memberikan reaksi yang lebih negative dibandingkan dengan yang lain sehingga lebih mudah untuk jatuh sakit. Masing-masing dari kita berada dalam sebuah kontinum kecenderungan yang terbentang antara titik yang paling mudah menerima efek negative dari stress yang disebut disease-prone personality (pribadi yang rentan kena penyakit)- sampai dengan titik yang paling tahan terhadap stress- selfi healing personality (pribadi yang cenderung mampu menyembuhkan diri sendiri). Mengatasi stress salah satunya dengan meningkatkan kebugaran fisik.
0 komentar:
Post a Comment