Kata jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Hanya Allah SWT sajalah yang memberika vonis yaitu menentukan dan memutuskan segala amal manusia, di mana amal itu berlaku dengan qudrat dan iradat-Nya semata-mata, sedangkan manusia tidak berdaya apa-apa. Qudrat dan iradat-Nya merupakan kulkas yang membekukan, memblokir dan mengkonstantir semua kekuasaan manusia, di mana pada hakikatnya semua amal manusia merupakan paksaan atau ijbaar dari Allah SWT.[1]
Faham al-jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.[2] Mengenai kemunculan faham al-jabr ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada faham fatalism.
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini :
a) Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkta “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
b) Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai dengan perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Jika qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batal lah pahala dan siksa, gugur pula lah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam.
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya : “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (Q.S Ash-Shaaffat : 96)
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨ ÇÌÉÈ
Artinya : “ Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendakinya.” (Q.S Al-Insan :30)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah.
B. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :[3]
1. Jabariyah Ekstrim
Doktrin jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya, kalau seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya snediri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
a) Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah :
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalm benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasan. Sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk di dalamnya perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan menerima siksaan. Misalnya kata-kata “Muhammad menulis”, “Hakim memutus perkara”, “si fulan taat” dan “si anu durhaka” itu pada hakikatnya sama dengan kata-kata “pohon berbuah”, “matahri terbit”, “hujan turun” dan lain-lain, semuanya merupakan kata pinjaman. Oleh karena itu, menurut Jaham, pahala dan siksa juga merupakan paksaan dalam arti bahwa Allah mentakdirkan si Fulan berbuat baik sekaligus mendapat pahala, dan Allah mentakdirkan si Anu berbuat dosa sekaligus juga menyiksanya. Misalnya pula kalau seorang mencuri, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan menghendaki yang demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukanlah atas dasar kehendaknya, tetapi Tuhanlah yang memaksanya mencuri.[4]
Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan Iradat-Nya.
Faham jabariyah ini melampaui batas, yang mengitikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakikatnya Allah pula. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan , tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.[5]
Faham semacam ini berbahaya sekali, sebab orang yang termakan faham ini bisa menjadi aptis dan beku hidupnya, tidak berbuat apa-apa selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata. Berusaha pun tidak, sebab dia fikir kalau Allah mentakdirkan dirinya miskin, dia akan menjadi miskin walaupun dia berusaha sekuat-kuatnya. Sebaliknya, kalau Allah mentakdirkan dirinya kaya, dia pasti akan menjadi kaya, walaupun dia tidak berusaha. Akhirnya, karena dia menginginkan rezki tanpa usaha, tentu saja rizkinya tak kunjung datang dan tetaplah dia dalam kemiskinan dengan anggapan bahwa kemiskinannya itu adalah suratan takdir bagi dirinya.
Sebagian pengikut jabariyah beranggapan telah bersatu dengan tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu mnunggaling kawulo lan gusti, bersatunya hamba dengan Dia.
Manusia dalam faham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4) Kalam Tuhan adalah makhluk.
5) Allah tidak dapat dilihat pada hari kiamat.
Kata jaham : “sesungguhnya surga dan neraka itu akan rusak setelah dimasuki para penghuninya masing-masing, yakni setelah ahli surga bersenang-senang dengan kenikmatannya dan sesudah ahli neraka menderita dengan siksaannya, akrena tidak bisa dibayangkan adanya gerak hidup yang tiada akhir, sama seperti tidak mungkinnya gerak hidup tanpa awal.[6]
b) Ja’ad bin Dirham
Al-ja’d adalah seorang maulana bani Hakim, ia tinggal di Damaskus. Ia dbesarkan di dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke kufah di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghurby menjelaskannya sebagai berikut :
1) Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
Walaupun Al-Qur’an sendiri dalam beberapa ayat jelas menyebutkan bahwa Allah SWT memiliki sifat mendengar, melihat dan lain-lain. Aliran ini tidak mengakui adanya sifat Allah selain zat- Nya. Adapun yang tersebut dalam Al-Qur’an, kata jaham tidak seharusnya diartikan secara dhahirnya ayat-ayat tapi harus ditakwil atau ditafsirkan, karena dhahirnya ayat-ayat tersebut menunjukkn adanya keserupaan Allah dengan makhluk, padahal itu mustahil. Kata jaham, tidak boleh memberi sifat kepada Allah yang serupa dengan sifat makhluk-Nya, sebab hal itu berarti bahwa Allah menyerupai makhluk Nya, jaham tidak mengakui adanya perbedaan arti sifat Allah dan sifat makhluk-Nya. Kata jaham, kalau nama sifat Allah dan nama sifat makhluk-Nya itu sama, maka artinyapun sama. Jadi kalau disebutkan bahwa Allah itu mendengar, maka artinya sama dengn si fulan mendengar, yakni menggunakan kuping dengan jangkauan yang terbatas. Juga kalau dikatakan Allah melihat, itu sama saja artinya denga si anu melihat, yaitu menggunakan mata dengan jangkauannya yang terbatas. Dan hal yang demikian itu mustahil pada Allah.
Jadi faham ini tidak mengakui adanya sifat Allah.
3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
2. Jabariyah Moderat
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang di maksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusi tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
a) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H) pengikutnya di sebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah :
1) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b) Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Secra tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapa dilihat diakhirat melalui indera keenam. Ia juga berendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
0 komentar:
Post a Comment