Sunday 23 October 2011

A.      Sejarah Murji’ah
Murjiah diambil dari kata Irja’, yang memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan. Pengertian pertama merujuk pada surat Al-A’raf ayat 111: “arjih wa-akhohu”, tahanlah dia dan saudaraya - menunjukan bahwa perbuatan bersifat sekunder dibandingkan dengan niat. Demikian pula dalam pengertian yang kedua untuk menunjukan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana ketaatan atas suatu keyakinan lain tidak berguna.
Perkataan ‘al-irja” pun mengandung arti penundaan pengadilan terhadap seseorang yang melakukan dosa sampai hari kiamat. Dengan demikian, di dunia ini tidak ada perhitungan untuk ahli syurga maupun ahli neraka.
Berdasarkan pengertian di atas, yang mengambarkan pula prinsip pahamnya, maka paham Murjiah bertolak belakang dengan Khawarij. Hal ini dapat kita llihat pada persoalan dosa besar, misalya kalau Khawarij menghukumkan “kafir” atau “musyrik”, maka Murjiah tetap menghukumkan mu’min.
Golongan ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar. Apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman atau tidak? Menurut Khawarij orang itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mukmin, melainkan hanya muslim. Hasan Al-basri dan sebagian Tabi’in mengatakan bahwa orang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cermin dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah beriman.
Adapun mayoritas umat islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang Mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan kepada Allah .jika menghendaki, ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya dan jika menghendaki pula, ia dapat saja mengampuni kesalahannya .Ditengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir.
Diantara para pendukung paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan sekelompok besar ulama Sunni.
Penyemaian benih pertama yang kemudian menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yaitu pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan Utsman dan para pejabatnya berkembang sampai kepelosok-pelosok wilayah islam. Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya Utsman.
Ketika akibat-akibat yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai kemasa pemerintahan Ali, kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menangguhkan hukum tentang peperangan yang terjadi antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah sampai hari kiamat.
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak di kalangan umat islam, dan masalah yang dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukum atas kasus diatas, tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa,muncullah satu kelompok yang menempuh pola sikap menangguhkan persoalan (al-irja) terhadap pelaku dosa suatu sikap yang ditempuh sebagian kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya, dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata, “Mereka menyatakan dua kalimat syahadat, maka jika demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musyrik, tetapi muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi, muncul penganut paham yang tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah pengakuan pembenaran, keyakinan, dan pengetahuan (ma’rifah), perbuatan maksiat tidak akan merusakkan hakikat iman.
Di tengah-tengah pendapat dan pandangan itu di antara para penganut mazhab Murji’ah ini terdapat orang-orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan yang mulia lainnya .
Dari uaraian tentang Murji’ah diatas dapat disimpulkan bahwa Murji’ah merupakan mazhab dari dua golongan .Yang pertama adalah yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas pertentangan yang terjadi diantara para sahabat dan yang terjadi dimasa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu .Allah mengampuni semua dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan maksiat tdak dapat merusak keimanan .
Golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu, yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat murji’ah kepada beberapa imam mazhab dalam bidang fiqh dan hadits .Dengan tolak ukur pandang ini imam Abu Hanifah dan murid-muridnya Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lain mereka dinamakan Murji’ah .Abu Hanifah pernah berkata, “iman adalah pembenaran dengan hati, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang “ .
B.   I’tiqad Kaum Murjiah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Kaum Ahlusunnah Wal Jama’ah
Pada mulanya Murji’ah ini dari golongan Ahli Sunnah Waljama’ah, hingga kemudian persoalan mereka menjadi semakin berat karena mereka menambahkan pernyataan-pernyataan yang memberatkan. Manakala orang-orang telah menasabkan diri kepada Murji’ah, termasuk mereka yang masyhur, maka berbicaralah imam-imam sunnah yang terkenal untuk mencela Murji’ah yang berlebih-lebihan.
Murji’ah yang mengatakan bahwa ian adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur di dalamnya, di antara mereka terdapat fuqaha Kufah dan para ahli ibadah, dan tidak menjadikan perkataan mereka sama seperti perkataan Jahmiyah.
Para ahli kalam dan fuqaha Murji’ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus menunjukkan keberadaannya.Kaum Murjiah membentuk suatu faham dalam Ushuluddin yang berbeda, bukan saja dengan kaum Khawarij dan kaum Syi’ah tetapi juga dengan kaum Ahlusunnah wal Jama’ah.
Paham yang dibentuknya ini ialah paham mereka sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang menjadi sandaran bagi kaum Murjiah tadi, seperti Abdullah bin Umar, Abi Bakrah dan lain-lainnya tidak sepaham dengan kaum Murjiah ini.
Paham-Paham itu adalah:
1.        Iman itu ialah mengenal Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya. Kalau kita sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya maka itu sudah cukup, sudah menjadi mu’min.
Sebahagiaan kaum Murjiah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beritiqad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-Rasul-Nya maka kita sudah mu’min walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghinna Nabi, menghina Qur’an dan lain-lain sebagainya.
Kaum Murjiah mengatakan juga, bahwa orang mu’min yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada Rasul-Rasul maka, ia adalah mu’min walaupun ia mengerjakan segala macam dosa besar atau dosa kecil.
I’tiqad kaum Murjiah ini bertentangan dengan paham kaum Ahlusunnah wal Jama’ah, yang mengatakan bahwa iman itu harus percaya pada 6 fatsal, yaitu percaya pada adanya Allah, percaya pada Rasul-Nya, percaya pada Malaikat-Malaikat-Nya, percaya pada kitab-kitab-Nya, percaya pada hari akhirat dan percaya pada qadha dan qadar.
Kepercayaan kepada Allah dan Rasul saja tidak cukup. Kaim Murjiah dengan i’tiqaqadnya ini seolah-olah menentang kaum Khawarij yang berpendapat bahwa iman itu ialah mengenal Allah dan Rasul, mengerjakan sekalian suruha Tuhan dan menghentikan sekalian larangan-Nya. Bagi kaum Khawarij, bahwa orang-orang yag percaya kepada Tuhan dan kepada Rasul-Nya, tetapi tidak sembahyang tidak puasa atau tidak mengerjakan amal-amal ibadat yang lain maka orang itu kafir yang halal darahnya. Kaum Murjian ini seolah-olah menentang kaum Syi’ah yang berpaham bahwa sebahagiaan dari iman ialah percaya kepada Iman-iman, bukan hanya iman kepada Allah dan Rasul-Nya saja.
2.        Orang yang telah iman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi kaum Murjiah orang ini mash mu’min.
Paham ini bertentanggan dengfan I’tiqad kaum Ahlusunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa seorang mu’min menjadi kafir (murtad) kalau ia mengerjakan suatu hal yang membawa kepada kekafiran, seumpama menyembah berhala, mengejek-ngejek Nabi atau mengejek-ngejek kitab suci, sujud kepada manusia, menghalalkan yang telah sepakat ulama Islam mengharamkannya (umpama zina, liwath, mencuri, makan riba dan lain-lain), mengharamkan yang telah sepakat umal Islam menghalalkannya (seumpama kawin, jual beli, makan daging lembu dan lain-lainnya).
3.        I’tiqad menangguhkan:
I’tiqad menangguhkan dari kaum Murjiah, yakni menangguhkan orang yang bersalah sampai ke muka Tuhan pada hari kiamat, ditentang oleh kaum Ahlusunnah wal Jama’ah, karena setiap orang yang salah harus dihukum di dunia ini.
Kalau kita ikuti paham Murjiah ini maka ayat-ayat hokum seperti menghukum pencuri dengan potong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafarat dal lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
Semua yang terjadi di dunia ini ukurlah dengan Qur’an dan Hadits itu, kalau salah, salahkanlah dan kalau benar benarkanlah. Yang benar harus benar, yang salah harus salah. Ukurannya adalah Qur’an dan hadits, bukan aqal. Begitulah paham dan I’tiqad kaum Ahlusunnah wal Jama’ah.
C.   Sekte-Sekte
Sebagaimana halnya Khawarij, Murijah pun terpecah kepada beberapa golongan. Asy-Syahrastani mengelompokkannya ke dalam empat golongan, yakni Khairiji’ah Murjiah, Qadariyah Murjiah, Jabariyah Murjiah, dan Murjiah Asli. Muhammad bin Shahib, Ash Shalihi dan Al-Khalidi termasuk penganut Qadariyah Murjiah sebagaimana pula Ghailaniyah, para pengikut Ghaylan Al-Damsyiki, merupakan orang pertama yag memperkenalkan kepercayaan kepada qadar dan penundaan kepputusan keimanan dan kekafiran seseorang yang melakukan dosa besar. Sedangkan penganut Murjiah Asli adalah Yunus bin Awn An-Numari (Yunisiyah), ‘Ubaid Al-Mukta’ib (Ubaidiyah), Ghassan Kuffi (Ghasniyah), dan lain-lain yang pada intinnya memiliki paham sesuai dengan karakteristik yang dikemukakan pada kemunculan awal Murjiah, tetapi dititikberatkan pada adanya pemisahan antara iman dan perbuatan.
Ada juga yang mengelompokkan aliran Murjiah kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orarng yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka., tetapi akan dihukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan.
Sementara Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kafir letaknya di dalam hati. Bahkan orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikianm, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Para ulama membagi penganut Murji’ah ke dalam dua golongan :
1.        Murji’ah Al-sunnah
Murji’ah Al-sunnah yaitu yang berpendapat bahwa pendosa akan disiksa sesuai dengan ukuran dosanya, dan tidak kekal dineraka .Bisa saja Allah memaafakan dan menaunginya dengan rahmat-Nya sehingga tidak disiksa sama sekali, dan itu merupakan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya (Allah memiliki karunia yang maha besar ) .Termasuk dalam kelompok ini kebanyakan ulama fiqih dan hadits .
2.        Murji’ah Al-bid’ah
Murji’ah Al-bid’ah yaitu mereka yang secara khusus memakai nama murji’ah dikalangan mayorias umat islam .Mereka inilah yang berhak menerima ungkapan dan penilaian buruk dari semua pihak.
D.   Tokoh Aliran Murji’ah
Tokoh Murji’ah ialah Jaham bin Safwan. Mengenai orang berdosa besar mereka berpendapat, bahwa dia tetap mukmin secara sempurna. Begitu pula oleh Jahmiyah. Tetapi, Jaham mencetuskan Ta’thiil, Jabariyah, dan Murji’ah.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa: “Amal baik akan hapus dengan mengerjakan spirik”, karena firman Allah, yang artinya:
·           “Bila mereka musyrik, maka hapuslah pahala amal baik mereka.” (surat al-an’am:88)
·           “Siapa yang kafir sesudah beriman, maka pahala amal baiknya di hapus. (Al-maidah:5)
Sebagian aliran yang keras dari Murji’ah menyatakan: Tidak seorangpun dari Ahli Tauhid yang akan masuk Neraka. Saya sendiri tidak tahu siapa yang mengatakannya dan tidak pula ada data yang menolong untuk itu. Tapi ada yang mengatakannya, bahwa itu berasal dari Muqatil bin Sulaiman.
Ahli pikir Murji’ah berpendapat, bahwa Iman ialah: Lisan mengucapkan, hati membenarkan. Jadi menurut Murji’ah dan Jahmiyah, percaya dalam hati saja belum dinamakan “beriman” sebagaimana pendapat Khawarij. Mungkin saja seseorang membenarkan dengan hati dan lisannya, tapi dia membenci apa yang diturunkan Allah SWT. Pada waktu itu, maka dia bukanlah kafir.

1 comment:

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List