Aliran maturidiyah lahir di Samarkand pertengahan kedua dari abad IX masehi. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut abu hanifah sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Menurut buku (literatur) yang membahas persoalan sekte-sekte tidak banyak yang memuat keterangan mengenai aliran Al-Maturidiyah maupun pengikut-pengikutnya. Karangan Al-Maturidiyah masih berbentuk mahtutat. Diantaranya kitab Al-Tauhid dan kitab Ta’wil Al-Qur’an yang belum di cetak, sehingga buku Maturidiyah sebagai acuan/literature tidak banyak membahas persoalan teologis seperti halnya ajaran Asy’ariyah maupun mu’tazilah.
Ada juga suatu pendapat yang mengatakan bahwa ada karangan-karangan yang disusun oleh Al-Maturidi, yaitu risalah fi Al-‘aqaid dan syarh al-Fiqh Al-Akbar. Sebagai informasi yang menambah kawasan tentang maturidiyah adalah buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti buku Isyarat al-Maram oleh Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya usul Al-din
Untuk mengetahui system pemikiran Al-Maturidi kita tidak bias meninggalkan pemikiran-pemikiran Asy’ary dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan asy’-ariyah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun perbedaan dan persamaannya masih ada.
Al-Maturidi dalam emikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifah karena Al-Maturidi sebagai pengikut Abu Hanifah. Dan timbulnya Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah.[1]
B. Tokoh Aliran Maturidiyah
1. Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud. Tokoh yang dikenal dengan nama Abu Manshur al-maturidi ini dilahirkan dimaturid, sebuah kota kecil disamarkand, Wilayah Trmsoxiana da Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M, Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentik karya tulis, diantaranya ialah kitab tauhid,ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’I, Al-Jadl,ushul fi Ushul Ad-Din, Muqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al Ba’ad Ar-Rawafid, dan kitab Radd ‘ala Al-Qaramatah, selainitu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh fiqh Al-Akbar.[2]
Ada dua golongan di dalam aliran maturidiyah, yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Yang menjadi golongan Samarkand ini adalah pengikut-pengikut Al-maturidi sendiri. Golongan ini cenderung kearah paham Mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal-soal sifat Tuhan. Maturidi dan Asy-ari terdapat kesamaan pandangan. Menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu juga tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya.
Mengenai perbuatan-perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham Qadariyah, maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain dalam soal:
1. Tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
2. Al salah wa Al-aslah
3. Paham posisi menengah kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian, lebih lanjut Al-maturidi berpendapat Tuhan mempunyai kewajiban—kewajiban tertentu. Dan kalam (firman) tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim
Dosa besar yang dilakukan seseorang menurut maturidi masih tetap mukmin, ia sepaham dengan Asy-ary. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwab mereka yang berdosa besar akan ditentukan tuhan kelak di akhirat.
Maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal Al-waad wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian juga masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan sebagainya seperti penggambarab Al-Qur’an, mesti diberi kiasan (majazi). Dalam hal ini, maturidi bertolak belakang dengan pendapat Asy-ary, yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan). [3]
Sebenarnya Imam Al-maturidi senang dengan imam ASy’Ari hanya saja Asy Ari di Bashrah sedangkan maturidi di Samarkand dan Asy ari lebih cenderung mengikuti imam Syafi’I dan imam Maturidi lebih dekat dengan imam hanafi tapi kedua imam ini masih di golongkan dalam Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah.
Memperhatikan arah pikiran kedua imam tersebut dalam masalah Fiqih, tidak heran bahwa kedua imam terdepat perbedaan pendapat dalam beberapa segi, tapi tidak mendasar. Dalam perkembangan selanjutnya Asy’ari kelihatannya lebih dekat dengan jabariyah sedangkan maturidi terarah kepada Mu’tazilah.
Pokok pikiran imam maturidi.
Dasar pemikiran/ cara berfikir maturidi sejalan dengan hanafi. Adapun pokok pikirannya dalam teologi antara lain:
a. Masalah Iman
Imam adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati, serta ikrar itu adalah rukun dari iman itu atau bagian dari iman
b. Qadha dan Qadar dalam hubungannya dengan perbuatan manusia.
Pada dasarnya menutur maturidi kemauan manusia itu sebenarnya adalah kemauan Allah, akan tetapi segala perbuatan manusia itu tidak selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab Dia selalu menghendaki yang baik, bukan yang tidak baik. Dengan kata lain daya (qudrat) dapat digunakan manusia untuk berbuat baik atau jahat, sedangkan Allah menghendaki yang baik saja. Jadi dalam hal ini ada perbedaan dengan pendapat imam Asy’ari dan lebih cenderung pada pendapat Mu’tazilah.
c. Tentang sifat Tuhan, Maturidi membatasi permasalahannya, sifat-sifat Tuhan adalah Sifat-Nya tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Walaupun imam Maturidi masih di golongkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, akan tetapi bila diteliti lebih mendalam terdapat dugaan yang kuat bahwa Imam Maturidi ingin mengambil jalan tengah antara pendapat Imam Asy’ari dengan Mu’tazilah. Dugaan ini dikuatkan bahwa dalam beberapa segi pendapat maturidi sejalan dengan pendapat Mu’tazilah atau Imam Asy’ari dan sebaliknya dalam segi lainnya ada yang bertentangan pendapat.[4]
2. Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi
Golongan yang kedua dalam aliran maturidiyah yaitu golongan Bukhara, golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia ini merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran-ajaran Maturidi. Kemudian Al-Bazdawi dalam perkembangan pemikirannya, mempunyai salah seorang murid yaitu Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi dengan karyanya Al-‘Aqaidul Nasafiyah.
Dengan demikian yang dimaksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi didalam aliran Al-Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-Asy’Ary. Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh umat yang bermazhab Hanafi. Dan pemkiran-pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.[5]
C. Pokok –Pokok Ajaran Al-Maturidiyah
1. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al_asy-ari.
Menurut Al-maturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar amanusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan \]manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Alllah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.namun akal, menurut Al-maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk Al-maturidi berpendapat bahwa penentuan baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada Sesutu itu sendiri, sedngkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlikan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Almaturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
· Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
· Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
· Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
2. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap jkekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut paham Free will dan Free act serta adanyabatasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang dberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari pada yang diberikan aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa degala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberi hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Adapun maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya. Dan tidak ada batasan-batasan bsagi-Nya. Tampaknya aliran Maturidiyah samarkan lebih dekat dengan Asy’ariyah.
Lebih jauh lagi maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidak adilan tuhan haruslah di pahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutkak Tuhan. Secara jelas Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, TUhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
3. Sifat-Sifat Tuhan
Berkaitan dengan massalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, basher dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, malainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari Esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca:inheren) dzat tanpa terpisah (unnaha lam takun ain al dzat wa la hiya ghairuhu).
Tampaknya paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya, Al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Sementara itu Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri; juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Aliran maturidiyah Bukhara berbeda dengan asy’ariyah. Sebagaimana aliran lain, Maturidiyah Bukhara juga berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.
Maturudiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini, Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
4. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy-Ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Ayat 103 surat al-an’am yang dijadikan dalil oleh Al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata.
Demikian pula maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Asy-ariyah dan maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelakmemperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang ia kehendaki.
5. Kalam Tuhan
Aliran Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa Al-qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara berpendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, kalamullah (Al-Qur’an) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Qur’an dalam pengertian kiasan (majaz).
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.
Menurut Al-maturidi, mu’tazilah mamandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzatNya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti Makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
6. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan tang bersifat mencipta dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Aliran Maturidiyah berpendapat bahwa pada dasarnya yang menerbitkan perbuatan itu adalah dua qudrah, yaitu qudrah Tuhan dan Qudrah hamba, tetapi yang menjadikan perbuatan itu adalah qudrah Allah semata.[6]
Ø Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesusi dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
Ø Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
7. Pengutusan Rasul
Akal selamanya tidak mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnyadari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menurut AL-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi.tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
8. Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.[7]
Al-maturidi megatakan bahwa yang benar mengenai orang mukmin yang berdosa ialah menyerahkan persoalan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki, maka dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmatnya, sebaliknya jika Allah menghendaki, maka dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka, Namun, mereka tidak akan dikekalkan dalam neraka. Dengan demikian, orang mukmin berada diantara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil, sebagaimana dia telah berfirman:
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[8]
0 komentar:
Post a Comment