Sunday, 23 October 2011

1. Suasana Lahirnya Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran Theology Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradapan Islam di kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka bernamakan dirinya Islam ataupun tidak. Sebagaimana diketahui, sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam dan hidup dibawah naungannya.[1]
Akan tetapi tidak semuanya memeluk dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak zaman Mu’awiyah, karena mereka telah memonopili segala kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam, sumber keangungan dan kekuatan mereka.
Rafidlah, yaitu dolongan Syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsure kepercayaan yang jauh dari ajaran Islam. Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara lain orang-orang Yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan orang-orang Masehi, seperti Sain John of Damascus (676-749) yang terkenal dengan nama Ibnu Sarjun, Tsabit di Qurrah (836-901) murid John tersebut dan Kusto bin Lucas (820-912).[2]
2.      Asal Usul Sebutan Mu’tazilah
Riwayat tentang asal-usul sebutan Mu’tazilah ada tiga, yang semuanya berkisar arti kata-kata “I’tazila” (memisahkan diri, menjauhkan diri, menyalahi pendapat orang lain). Nama Mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Mu’tazilah menamakan dirinya “ Ahli keadilan dan kekuasaan” (ahlul adli wat tauhid). Nama Mu’tazilah diberikan karena:
a)      Orang-orang Mu’tazilah menyalahi sebagian besar umat, karena mereka mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula kafir.
b)      Wasil bin ‘Ata pendiri aliran ini dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (I’tazila) dari pengajian Hasan Basri di mesjid Basrah, kemudian membentuk pegajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya  bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat di antara dua tempat tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjauhkan diri – memisahkan diri).
c)      Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dar golongan oarng-orang mukmin dan juga golongan orang-orang kafir.
Jadi kesimpulan di atas yaitu:
a.       Peristiwa timbulnya aliran Mu’tazilah ialah sekitar Hasan Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil bin ‘Ata dan Amr bin Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728).
b.      Aliran mu’tazilah timbul karena persoalan agama semata-mata.
c.       Konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsure yang tak kalah penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional[3]
  1. Ajaran – ajaran Mu’tazilah
Menurut  Al-Bagdady dalam kitabnya (al- Farqu bainal Firaqi) aliran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah, semuanya masih tergabung dalam kelima pokok ajaran mereka, yaitu[4]:

*      Tauhid
Adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, karena mereka mentafsirkannya sedemikian rupa untuk mempertahankan bahwa mereka sungguh-sungguh sebagai ahli tauhid.
*      Al-Adl
Adil, Allah Maha adil, dan keadilan-Nya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendak sendiri. Dengan dasar keadilan keadilan ini mereka menolak pendapat golongan Jibriyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman menjatuhkan siksa kepadanya.
*      Tempat di antara Dua Tempat
Kedudukan antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), Mu’tazilah menempatkan pelaku dosa besar pada posisi antara mukmin dan kafir, yaitu fasik. Pendapat ini merupakan jalan tengah antara vonis yang dijatuhkan oleh pengikut Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Golongan Mu’tazilah membagi ma’siat kepada dua bagian yaitu besar dan kecil yaitu:
a)      Yang merusak dasar agama, yaitu syirik dan orang yang mengerjakannya menjadi kafir.
b)      Yang tidak merusak dasar agama, yang mengerjakannya orang mu’min. karena ia melanggar agama,  ia juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat.
*      Janji dan Ancaman
Al-wa’du wa al-wa’id, prinsip ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Di samping itu, janji Allah bahkan akan menerima tobat hamba-Nya, merupakan keharusan yang tidak dapat diubah dan harus diimani.
*      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Suatu  prinsip dasar yang sudah dikenal umum. Mu’tazilah memberikan penafsiran yang spesifik bahwa sudah merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam untuk melenyapkan kemunkaran dengan pedang atau dengan tangan bila ia mempunyai kemampuan dan kekuatan.
Melihat kelima paham Mu’tazilah tersebut, aliran ini dapat dianggap sebagai golongan rasional dalam Islam. Mereka menempatkan rasio atau akal pada posisi yang tinggi dalam kehidupan beragama.[5]
  1. Aliran-aliran Dalam Kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah akhirnya terpecahkan atas banyak aliran, karena setiapnya mempergunakan akalnya masing-masing, sedang akal mereka itu tidak sama, akibat pendidikan mereka yang berlain-lain dan akibat zaman dan tempat mereka, yang berbeda-beda.
Tetapi dalam suatu hal mereka semuanya hamper sepakat, bahwa perbuatan manusia, geraknya, diamnya, perkataannya, perbuatannya semuanya dijadikan oleh Allah. Sebagian mereka memfatwakan bahwa pekerjaan manusia diciptakan oleh manusia sendiri. Sebagian mengatakan tidak ada yang menjadikan, melainkan terjadi sendiri dan sebagian mereka mengatakan bahwa semuanya terjadi sesuai dengan undang-undang alam.
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah:
1)      Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin 'Atha.
2)      Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al ‘Allaf.
3)      Aliran Nazamiah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4)      Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad nin Haith.
5)      Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6)      Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami.
7)      Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdir.
8)      Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin Ar-rasy.
9)      Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10)  Aliran-aliran yang lain banyak lagi.[6]
Kita tidak  perlu mempelajari satu persatuanya aliran tersebut akan tetapi yang penting bagi kita ialah mengemukakan pikiran dan filosofis mereka yang menjadi dasar kepercayanya dan memperkuatnya. Pikiran-pikiran ini penting karena golongan Mu’tazilah benar-benar merupakan ahli fikir Islam.
  1. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
Tokoh aliran Mu’tazilah  banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran masing-masing. Menurut Ahmad Amin, pengaruh Filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Bagad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat bagdad, dan juga karena istana khalifah Abbasuah di bagdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
 Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang nampak jelas perannya dalam perkembangan aliran ini, yang berupa pikiran maupun usahanya antara lain:
v  Wasil bin ‘Ata al-Ghazal (80-131 H/699-748 M).
Ia adalah pendiri aliran M’tazilah dan yang meletakkan ajaran-ajaran yang lima menjadi dasar semua golongan Mu’tazilah.
v  Abu Al-Huzail Al-Allaf (135-266 H/753-840 M).
v  Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Basrah. Karena dialah aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan pendapat-pendapatnya antara lain:
a)      Tentang aradl, dinamakan aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl yang terdapat bukan pada benda.
b)      Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi lagi.
c)      Gerak dan diam.
d)     Hakikat manusia.
e)      Gerak penghuni surge dan neraka.
f)       Qadar, dan.
g)      Khabar.
v  Ibrahim bin Hani an-Nazzham (wafat 231H/845 M).
Ia adalah murid Abul-Huzail al-Allaf. Tokoh ini adalah tokoh Mu’tazilah yang terkemuka, lancarbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketiaka kecil ia banyak bergaul dengan orang bukan Islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosofis yang hidup pada masanya, serta banyak mengambil pendapat mereka.
An-Nazzham mempunyai kekuatan otak yang luar biasa, di manabeberapa pemikirannya telah mendahului masanya, antara lain tentang metode keraguan dan empirika yang menjadi dasar kebangunan baru di Eropa.
v  Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/835 M).
Banyak terengaruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
v  Al- Jubbai (wafat 303 H/915 M).
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid as-Syahham (wafat 267 H/885 M). al-Jubbai dan anaknya, yaitu Abu Hasyim al-jubbai, mencerminka akhir masa kejayaan aliran Mu’tazilah.
Sebutan Al-Jubbai diambil dari nama satu tempat, yaitu (Jubba, dipropinsi Chuzestan /Iran), tempat kelahirannya. Al-Jubbai adalah guru imam al-Asy’ari, tokoh utama aliran Ahlusunnah.
v  Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M).
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di bagdad, pandangan-pandangannya mengenai kesusteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama mengadakan ilmu balaghah.
v  Al-Chayyat (wafat 300 H/912 M).
Ia adalah Abu Al-Husein al Khayyat, termasuk tokok Mu’tazilah bagdad, dan pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari seranan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
v  Al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M, di ray)
Ia juga pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu “Abad. Diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
v  Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M).
Namanya Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun dinegari Chawarazm, Iran. Sebutan “jarullah” yang berrarti tetangga Tuhan, dipakinya karena ia lama tinggal di Makkah dan bertempat di sebuah dekat Ka’bah.
  1. Kemunduran Golongan Mu’tazilah setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan
Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela atau memperjuangkan kebebasan berpikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah di mana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan pada golongan-golongan yang lain. Akan tetapi ersengketaan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan golongan Mu’tazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian Qur’an.
Kemunduran golongan Mu’tazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia yang menyiarkan ajaran-ajarannya. Pada akhir abad ketiga hijrah muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui pendapat Mu’tazilah. 


staka Tarbiyah. Hal 201

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List