Asy’ariyah, yang lahir sebagai reaksi terhadap Mu’tazilah, merupakan aliran kalam yang dominan di dunia Islam hingga saat ini. Sebagaimana pengamatan Mustafa Abd Ar-Raziq bahwa di dunia Islam sekarang ini dua aliran kalam yang masih menguasai umat, yaitu Asy’arisme dan Salafisme, tetapi yang lebih dominan adalah Asy’arisme.
Di lingkungan Barat, Asy’ari dikenal sebagai pendiri teologi skolastik Islam (Kalam). Hal ini dapat dilihat dari pandangan keagamaannya, yang pada intinya adalah untuk merujuk atau mendamaikan antara doktrin keagamaan dengan pemikiran Yunani yang menjadi ciri utama kehidupan intelektual muslim sebagaimana halnya terjadi pada agama Kristen abad pertengahan.
Sejak pertama kemunculannya, banyak umat yang mengikutinya, karena dianggap sebagai suatu kesinambungan dari paham ortodoks, yang sebelumnya tidak pernah diformulasikan secara lengkap dan sitematis. Asy’ari mengaku sebagai pengikut Ahmad Ibnu Hanbal, tokoh kaum ortodoks yang paling dihormati karena keteguhan pendiriannya menghadapi siksaan penguasa Abbasiyah sehubungan penolakannya terhadap paham Mu’tazilah. Sepuluh tahun setelah wafatnya Asy’ari, Baghdad, kota utama penyebaran pahamnya, jatuh ketangan lawan kaum ortodoks, yaitu Bani Buwaihi (945-1055 M), yang bermadzhab Syi’ah dan berteologi Mu’tazilah.
Perumusan dogma Asy’ari, pada dasarnya merupakan usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks yanfg waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah. Misalnya, tentang masalah kemerdekaan manusia, ia menyatakan bahwa semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan, tetapi manusia memiliki kesadaran bahwa ia menguasai perbuatan-perbuatan yang dipilih dan dikerjakannya. Tampaknya, secara moral Asy’ari ingin mendamaikan kekuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia. Semua kekuasaan adalah milik Allah, sedangkan tanggung jawab adalah pada manusia.
Demikian pula halnya tentang masalah keesaan Tuhan, Asy’ari mengajarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang riil dan abadi, tetapi ia berusaha menjaga diri dari anthropomorfisme. Tuhan mengetahui melalui sifat pengetahuan-Nya, berkehendak dengan sifat kehendak-Nya, dan seterusnya. Sifat-sifat ini tidak identik dengan Dzat-Nya, tetapi tidak pula berbeda darinya. Dalam hal ini, Asy’ari mempergunakan ‘dialektika’ negative dari kaum Mu’tazilah, dan ada hubungannya dengan dialektika Neoplatonisme.
Dengan begitu, Allah memiliki sifat-sifat yang dapat diketahui dari perbuatan-perbuatan-Nya. Dikarenakan perbuatan-perbuatannya itu menunjukkan bahwa Dia mengetahui, berkuasa dan berkehendak, sekaligus juga Dia berilmu. Melalui ilmu-Nya lahirlah tatanan dan kesempurnaan, melalui kekuasaan-Nya lahirlah ketentuan waktu, ukuran dan bentuk. Kalau sifat-sifat ini semua dipertalikan kepada esensi-Nya (sebagaimana Mu’tazilah yang menyatukan esensi/Dzat dengan sifat), maka semua sifat-Nya tak akan dapat kita pahami kecuali kita mengatakan bahwa esensi-Nya itu adalah “hidup” dan “kehidupan”.[1]
Sekitar akhir abad ke-tiga dan awal abad ke-empat Hijriah, terjadi fenomena baru. yaitu tampilnya seorang pemikir ternama yang menerima ajaran Mu’tazilah melalui Qadhi Abdul Jabbar, dan pemikir tersebut menguasai ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dia menolak pandangan Mu’tazilah dan condong kepada akidah Ahlusunah. Di satu pihak, karena dia itu cerdas lagi berbakat, dan di lain pihak memiliki alat yang digunakan oleh Mu’tazilah, maka dia memberikan basis rasional kepada semua akidah-akidah ahlusunah sebagai sebuah sistem pemikiran yang relatif dapat menjadi penyangga. Pemikir ternama lagi terhormat itu adalah Abul Hasan al Asy’ary.[2]
B. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Al-Asyari
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat di Baghdad pada tahun 935 Masehi. Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan mu’awiyah.
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits.[3]
Sebab utama ialah adanya perpecahan yang di alami kaum Muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum Muslimin, ia sangat mengkhawatirkan Qur-an dan Hadits menjadi kurban paham-paham kaum Mu’tazilah, yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan aksl-fikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang hanya memegangi nas-nas dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret Islam kepada kelemahan kebekuan yang tidak dapat dibenarkan agama. Al-Asy’ary karenanya mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan textualist dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin. Dengan demikian terlihat bahwa al-Asy’ari menempuh jalan tengah agar jauh dari penyimpangan.[4]
C. Karya – Karya Aliran Asy’Ariyah
Ia bukan sekedar mengambil jalan tengah tersebut di atas, tetapi juga ditulisnya dalam kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak. Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai-bagai lapangan. Kitab-kitabnya yang terkenal ada tiga :
1. Maqalat al-Islamiyah (Pendapat-pendapat golongan-golongan Islam)
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali dikarang tentang kepercayan-kepercayaan golongan Islam, dan juga merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab tersebut di bagi tiga. pertama berisi pendapat bermacam-macam golongan Islam. Kedua tentang pendirian ahli hadits dan sunnah dan bagian ketiga tentang bermacam-macam persoalan Ilmu Kalam.
2. Al-Ibanah’an Ushul Addiyanah (Keterangan tentang dasar-dasar agama)
Kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulainya dengan memuji Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun rapi, meskipun menyangkut persoalan-persoalan yang penting dan banyak sekali.
3. Alluma’ (sorotan)
Kitab ini dimaksudkan untuk membatah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan Ilmu Kalam.
D. Mazhab Dan Corak Pemikiran Aliran Asy’Ariyah
Dua corak yang kelihatannya berlawanan pada diri Al-Asy’ary, akan tetapi sebenarnya saling melengkapi.
1. Ia berusaha mendekati orang-orang aliran fiqih Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia bermazhab Syafi’i. yang lain mengatakan, ia bermazhab Maliki. Lainnya lagi mengatakan bahwa ia bermazhab Hanbali.
2. Adanya keinginan menjauhi aliran-aliran fiqih.
Dua hal tersebut adalah akibat pendekatan diri kepada aliran-aliran fikih Sunni dan keyakinan adanya kesatuan aliran-aliran tersebut dalam soal-soal kecil (furu’). Karena itu menurut pendapat Al-Asy’ari, semua orang berijtihad adalah benar. [5]
E. Pendapat Aliran Asy’ariyah tentang Pelaku Dosa Besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surge. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.
F. Pendapat Aliran Asy’ariyah tentang Iman dan Kufur
Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).
Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asya’irah. Asy-Syahrastani menulis:
“Al-Asy’ari berkata, “… Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih … Dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
Keterangan Asy-Syahrastani di atas, di samping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan Al-Asy’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsure iman itu (tashdiq, qawl dan amal) pada posisinya masing-masing. Jadi, bagi Al-Asy’ari dan juga Asy’ariyah, persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatain.[6]
Sedangkan kufur diistilahkan dengan surah al-nahl, ayat 106. من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’ iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.[7]
G. Tokoh – Tokoh Aliran Asy’Ariyah
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 M .
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia.
Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Ia cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal ialah “At-Tamhid” (Pendahuluan/ Persiapan).
2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 1028 M dan wafat pada tahun 1085 M. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 1058 M dan wafat pada tahun 1111 M, kota di negeri Khurrasan. Al- Ghazali adalah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai-bagai lapangan, antara lain logika, jadal (ilmu berdebat), fiqih dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini. Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
4. Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf
Dilahirkan di Tilimsan sebuah kota di Al-Jazair pada tahun 1427 M dan wafat pada tahun 1490 M. Ulama magrib menganggap dia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan Ketuhanan (ilmu tauhid).
H. Dalil – Dalil Aliran Asy’Ariyah
Al-Asy’ary tetap memegangi pendiriannya. Ia telah menetapkan adanya arah bagi Tuhan. Karena itu tidak ada kesulitan lagi untuk kemungkinan adanya ru’yat di akhirat, bukan di dunia. Untuk menguatkan pendapatnya ia mengutamakan dalil-dalil Syara’ dan dalil-dalil akal fikirannya :
1. Dalil-dalil Syara’ : Dalil-dalil yang dikemukakan ialah dalil-dalil yang sebelumnya dipakai aliran Mu’tazilah untuk meniadakan ru’yat, yaitu ayat 22-23 Qiyamah.
2. Dalil-dalil akal fikiran :
a. Al-Ghazali, mengatakan bahwa sesuatu yang dilihat, tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat.
b. Al-Juwaini, mengemukakan dalil adanya ru’yat, sebagai berikut: Sesuatu yang dilihat mata, adakalanya karena segi bendanya saja. atau karena segi warnanya saja.
0 komentar:
Post a Comment