Sila pertama Pancasila sebagai dasar falsafah negara adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material maupun spiritual. Dengan lain perkataan bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari
Tuhan baik material maupun spiritual. Bilamana dirinci masalah-masalah yang menyangkut penyelenggaraan negara dalam arti material antara lain, bentuk negara, tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual antara lain moral agama dan moral penyelenggara negara.
Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan sebab akibat antara Tuhan, manusia, dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudkan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat hubungan sebab akibat yang langsung antara Tuhan dengan manusia karena manusia adalah sebagai makhluk Tuhan. Adapun hakikat Tuhan adalah sebagai “causa prima” (sebab pertama). Adapun manusia diciptakan oleh Tuhan karena manusia adalah sebagai makhluk Tuhan (Kaelan dalam Inseklopedi Pancasila, 1995 : 110-115).
B. Sumber hukum.
a. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea ini bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materiil bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/kepercayaan, menjadi motivasi spiritualnya bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan hidupnya yang berkeseimbangan, berkeseimbangan kehidupan material dan spiritual, keseimbangan kehidugan dunia dan akhirat.
b. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 29.1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978.
Tentang Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Pasal 3 : Pedoman sebagaimana tersebut pasal 1 beserta penjelasannya terdapat dalam Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai lampiran merupakan bagian tak terpisah dari ketetapan ini.
Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa), di dalam Bab II No. 1 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang adil dan beradab.
d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1983. tentang GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA.
Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama, di antara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antar semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan.
e. Undang-Undang Perkawinan, U. U. No. 1 tahun 1974.
Pasal 1 : Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathim antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Bab II Pencatatan Perkawinan:
Pasal 2 : (1) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Penctatat sebagaimana dimaksud dalam Undan-undang No. 32 tahun 1954, Tentang Pencatatan Nikah, Talah, Rujuk.
(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan Perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang-undangan mengenai Pencatatan Perkawinan.
C. Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Asas Universil
Ketuhanan Yang Maha Esa suatu asas yang mengandung kebenaran universil, artinya diakui oleh umat manusia dari zaman purbakala sampai kepada zaman modern dewasa ini, walaupun bentuk dan isinya tidak sama, dan pada setiap zaman itu terdapat pula sementara orang yang tidak memperhatikan atau mengabaikan dan tidak mengakui atau mengingkarinya.
Menurut keyakinan bangsa Indonesia, bila setiap orang bebas merenungkan dan berpikir, maka orang itu tentu mengakui adanya Tuhan itu, karena setiap orang yang menginsafi bahwa ia sebagai manusia tidak menciptakan dirinya dan tidak dapat menguasai jalan hidupnya sendiri, hidup matinya pada tingkatan terakhir berjalan di luar kehendaknya.
Apabila manusia berpikir secara kausalitas, atau hukum sebab akibat, bahwa terjadinya alam semesta dan segala sesusatu di dalam dan sekitarnya berdasar adanya sebab (causa) yang menimbulkan atau menghasilkan akibat (resultat), yang selanjutnya akan merupakan causa baru. Atau bila orang berpikir secara dealektis baik itu buah pikiran (Hegel) maupun Mark, bahwa adanya segala sesuatu ataupun kenyataan-kenyataan kebendaan itu adalah melalui proses perbenturan antara these dan anthithese yang melahirkan synthese, yang untuk selanjutnya menjadi these baru yang bertemu lagi dengan anthithese baru lainnya untuk menghasilkan syinthese baru lain pula. Cara-cara berpikir demikian tidak dapat menghilangkan suara hati nurani manusia untuk tidak mengetahi adanya Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hukum causalitas orang akan sampai pada pertanyaan : apakah yang merupakan sebab (causa) yang pertama atau suatu sebab yang tidak disebabkan lagi? Mereka mengakui adanya sebab yang pertama itu atau “Causa prima”. Menurut Pancasila apa yang mereka katakan “causa prima” itulah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah suatu kebenaran yang universil, orang dapat tidak mengakuinya, tetapi sikap demikian menurut pandangan hidup Pancasila tidak tepat dan tidak bijaksana. Materialisme yang tidak mengetahui Tuhan itu kenyataannya malah memperhambakan diri kepada benda atau sesama manusia yang menyebabkan kehidupan manusia lebih terkekang, kering dan gersang. Materi sebanyak apapun juga tidak memberi kepuasan batin manusia, malahan menurut sementara filosof Barat sendiri menyebabkan manusia gila, kejam, miskin di dalam kekayaan, sepi dalam keramaian, karena manusia itu melepaskan diri dari fitrahnya, tidak mengakui apalagi berhubungan baik dengan Tuhan yang menciptakan segala-galanya termasuk dirinya sendiri. Manusia modern demikian kering daripada perbendaharaan spirituil.
0 komentar:
Post a Comment