Faham Jahmiyah yakni pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah, berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama mengucapkan perkataan ini dalam Islam yakni perkataan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy dengan sebenarnya, dan lafaz istiwaa mereka artikan dengan istaulaa ( berkuasa) adalah Ja’ad bin Darhim.
Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jahm bin Shafwan, Sehingga faham Jahmiyah dinisbatkan kepadanya. Telah dikatakan bahwa Ja’ad mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti Lubaid bin Al-A’sham. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi, yang menyihir Nabi Muhammad Saw.[1]
Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jahm bin Shafwan, Sehingga faham Jahmiyah dinisbatkan kepadanya. Telah dikatakan bahwa Ja’ad mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti Lubaid bin Al-A’sham. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi, yang menyihir Nabi Muhammad Saw.[1]
Jahm bin Shafwan diketahui berasal dari khurasan. Jahm termasuk salah seorang tokoh Murji’ah ekstrim dan sebagai pemuka Murji’ah golongan Jahmiyah. Jahm diketahui terlibat dalam kegiatan politik, Ia adalah Sekretaris dari Syuraih ibn Al-Haris, dan ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.[2]
Mereka adalah pengikut Jahm bin Shofwan dari penduduk negeri Tirmidz di Khurosan. Seorang yang selalu berkata dan berbantah, banyak berbicara tentang perkara yang berkaitan dengan Allah, menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, mengatakan bahwa Allah tidak berbicara dengan Nabi Musa, mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat Al-Kalam (Berbicara), mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (yaitu pada waktu di surga), mengatakan bahwa Allah tidak bertempat di atas ‘Arsy.
Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa Jahm sangat keterlaluan meniadakan apapun dari Allah.
Jahm pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq ( pembenaran) hati, sekalipun tidak dinyatakan. Pendapat seperti ini tidak pernah dinyatakan seorang ulama atau imam umat ini. Bahkan Ahmad bin Waki’ serta yang lainnya mengkafirkan siapa saja yang mengatakan demikian.
Khalid Qasri membunuh Ja’ad itu pada zaman Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Kemuadian Jahm mengajarkan fahamnya itu di Khurasan dan banyak pengikutnya, sesudah dia meninggalkan sholat selama empat puluh hari, kerena ia ragu akan keberadaan Tuhannya.
Yang demikian ialah setelah ia menghadapi suatu diskusi menghadapi para filosof hindu yang dinamakan “Samaniyah” yang berfaham, bahwa yang dinamakan ilmu ialah yang tidak dapat dijangkau anggota lahir ini. Mereka menanyakan kepada Jahm, “ Tuhanmu yang kamu sembah itu adakah melihat atau merasa atau menyentuh?” Jawab Jahm. “ Tidak.” Jawab mereka, “ Kalau begitu Tuhanmu tidak ada.” Selama empat puluh hari Jahm tidak beribadat apa-apa dan kemudian membersihkan hatinya dari ketuhanan yang selama ini disembahny, sehingga syeitan berhasil mempengaruhi Jahm dengan memahatkan pendapat itu di dalam otak / pikirannya, seehingga mengatakan, “Sesungguhnya Dia-lah wujud mutlak dan tidak ada sifat pada-Nya. Sesungguhnya Tuhan itu ialah hawa kemauan yang terdapat pada tiap sesuatu, bersama dengan sesuatu, pada tiap sesuatu, tidak ada yang sepi dari padanya dan semua berhubungan dengan Jahm.”
Jahm dibunuh tahun 128 hijriyah oleh Salamah bin Ahwaz di Khurasan demikian menurut Sejarah oleh Thabari. Namun ajarannya masih dianut orang ban diikuti Muktazilah. Tapi Jahm sampai mengatakan Ta’thiil itu, karena dia menentang ada nama dan sifat Tuhan dan ada pula yang menentang sifat Tuhan, tetapi mengakui ada nama-nama-Nya.[3]
B. Ajaran-ajaran Jahmiyah
Sebenarnya dasar ajaran Jahmiyah itu berasal dari ajaran orang Musyrik, tokoh-tokoh ajaran Brahma, Filosof, tukang buat Bid’ah dari Ahli kitab yang mendakwakan, “Mereka ialah lawan dan musuh Ibrahim Khalilullah dan lain-lain. Mereka menyembah bintang besar dan bintang kecil, membuat Haikal, dan lain-lain. Merekaa membantah Ibrahim jadi Khalilullah dan Musa Kalimullah itu, karena menurut mereka KHALIL atau TEMAN itu adalah kalimat pernyataan kasih sayang dari orang yang tenggelam dalam asyik Maksyuk. Jahmiyah tidak mengakui ada kasih sayang pada Allah dengan alasan, “Kasih sayang itu ditemukan antara dua orang, yaitu Yang mengasihi dan Yang dikasihi.” Tidak ada keserasian antara Allah yang Qadim dengan yang baharu, sehingga harus mengasihinya. Itulah ukuran Kasih bagi mereka.
Ajaran Jahm secara murni ialah bagaikan ajaran Qaramithah dan simpatisan mereka. Mereka menolak Allah bersifat dengan dua yang bertentangan, sehingga mereka mengatakan , Allah tidak maujud, tidak bukan maujud, tidak hidup, tidak bukan hidup. Padahal sudah diketahui, bahwa berkumpulnya dua yang berlawanan tidak diterima, walaupun oleh orang yang baru mulai bertumbuh akalnya. Mereka menyifatkan Allah dengan “tidak” saja. Umpama mereka katakan “ Allah bukan hidup, tidak Maha Mendengar, dan tidak Maha Melihat.”Sebenarnya mereka lebih kafir dari kafir yang lain.
Jahmiyah menganut fahamnya, “Allah tidak di dalam alam dan tidak pula di luarnya.”Bila dikatakan kepada mereka, “Ini secara mudah saja tidak diterima akal. Umpamanya dikatakan “Allah bukan Qadim, tidak Baharu, tidak ada pada sifat Wajib tidak pula sifat Mungkin, tidak berdiri sendiri-Nya dan tidak pula di atas yang lain.” Mereka menjawab, “Ini bila DIA menerima sifat itu.”[4]
Sebagian besar generasi terakhir dari pengikut Imam Ahmad dan lainnya menyangka bahwa lawan debat paham mereka adalah Mu’tazilah. Padahal tidak demikian, bahkan Mu’tazilah termasuk dari mereka yang menganut paham Jahmiyah. Di dalam paham Jahmiyah terkenal dengan dua jenis bid’ahnya. Pertama, mereka menafikan sifat-sifat Allah, dan yang kedua, bertindak melampaui batas dalam persoalan Qadar dan Irja’( harapan). Sehingga mereka menganggap iman hanya soal pembenaran hati, serta menganggap bahwa para hamba tidak mempunyai perbuatan dan kemampuan.
Kedua paham bid’ah yang melampaui batas tersebut justru menyalahi Mu’tazilah. Jahmiyah tidak membenarkan satupun dari sifat-sifat Allah, baik Iradah maupun yang lainnya. Pendapat seperti ini banyak tersebar di kalangan kaum sufi,. Oleh karena itu, mereka bersesuaian dengan Jahmiyah dengan masalah perbuatan dan takdir, tetapi bertentangan dalam persoalan sifat-sifat Allah.[5]
Telah berkata Al-‘Allamah Jamaluddin Al-Qasimy : “Ada yang menyangka bahwa Al-Jahmiyah telah berlalu, akan tetapi sesungguhnya Mu’tazilah adalah cabang dari mereka dan sesungguhnya orang-orang ahli kalam/filsafat mereka telah mengembalikan/merujuk kebanyakan dari masalah-masalahnya kepada Madzhab Al-Jahmiyah”. Oleh sebab itulah sesungguhnya Mu’tazilah dan Asya’iroh adalah cabang yang tumbuh dan berkembang dari dasar Madzhab Al-Jahmiyah.[6]
0 komentar:
Post a Comment