Sunday 23 October 2011

A.    Pengertian & Sejarah Syi’ah
Akar kata Syi’ah bermakna pihak-pihak dan kelompok yang diambil dari kata kerja Syayya’a maupun tasyayya’a yang memiliki arti berpihak, memihak, begabung, pengikut, ataupun pendukung.
Aliran ini menunjukkan orang-orang yang menjadi pengikut Ali bin Abi Thalib dalam hubungannya dengan peristiwa pergantian kekhalifahan setelah Rasulullah wafat, kaum Syi’ah berpendapat bahwa kekhalifahan imamahnya berdasarkan pengangkatan,
baik secara terbuka, maupun tersembunyi. Mereka juga berpendirian bahwa imamah sepeninggal Ali hanyalah berada ditangan keluarga Ali, kalaulah imamah itu jatuh ketangan selain keluarganya, itu mungkin karena kesalahan yang dilakukan oleh sebagian mereka karena adanya penggelapan hak keimamahan yang sah. Bagi mereka, imamah bukanlah perkara sifil yang disahkan melalui kehendak rakyat, tetapi merupakan suatu perkara yang fundamental & merupakan suaak pertu unsure agama yang pokok.
Golongan Syi’ah muncul pada akhir masa Khalifah ketiga, yaitu Ustman bin affan, kemudian tumbuh & berkembang pada masa Khalifah Ali, Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk mengembangkannya, tetapi bakat-bakat yang dimilikinya telah mendorong perkembangan itu. Ketika Ali wafat, pemikiran ke-syi’ahan berkembang menjadi mazhab-mazhab. Sebagiannya menyimpang, dan sebagian lainnya lurus, Namun keduanya sama-sama fanatic kepada keluarga Nabi.
Imamah merupakan doktrin Syi’ah yang paling pokok, semua paham yang lain pada dasarnya merupakan penjelasan dari doktrin ini, misalnya ketika pandangan imamah dimunculkan sebagai prinsip dasar dalam penunjukkan & pengangkatan imam (khalifah), mereka memperkuatnya melalui penjelasan bahwa semua Nabi Allah & para Imam pasti bebas & kebal dari dosa kecil (Ma’shum).
Namun demikian, untuk pergantian imam, diantara mereka berbeda pendapat, bagaimanakah imamah ditransmisikan dari suatu imam kepada imam lainnya, dan kapankah waktu untuk melakukan transmisi imamah itu?, persoalan inilah yang menyebabkan terjadinya konflik & perbedaan pendapat diantara mereka. Oleh karena itulah, aliran Syi’ah terbagi menjadi beberapa sub aliran, Itsna Asy’ariyah, Zaidiyah, Sab’iyah, & Ghulat (Ghaliyah). Sub aliran yang terakhir disebut merupakan sub aliran Syi’ah yang ekstrim, secara teologis, paham-paham sub aliran ini yang cenderung kepada paham Mu’tazilah Asy’ariyah, dan sebagian lagi ada yang cenderung kepada paham Mujassimah.
Jika disarikan, paham-paham aliran Syi’ah, paling tidak ada 3, yaitu :

1.    Yang berhak menjadi imam, yakni pemimpin masyarakat islam, baik dalam urusan keagamaan, maupun urusan kenegaraan, harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi, yakni Ali bin Abi Thalib & anak cucunya.
2.    Imam itu hanya sah apabila mendapat nash/diangkat oleh Nabi sendiri & kemudian oleh imam-imam sesudahnya secara berurutan.
3.    Setiap imam yang diangkat itu adalah Ma’shum, terpelihara akan dosa, serta menerima anugerah keistimewaan.

B.     Aliran-aliran Syi’ah
Masalah doktrin imamah, adalah pemicu utama dalam perpecahan sekte-sekte atau kelompok-kelompok, Penganut Syi’ah terdiri atas kelompok yang ekstrim (al-ghulat), moderat, dan liberal. Diantara kelompok yang ekstrim ada yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkatnya pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad. Berikut ini uraian tentang kelompok Syi’ah ekstrim, yang karena keekstrimannya telah keluar dari Islam, dan Syi’ah dwasa ini enggan memasukkan mereka kedalam golongan mazhabnya. Diantara aliran-aliran itu ialah sebagai berikut :
1.    Saba’iyyah
Aliran Saba’iyyah adalah pengikut Abdullah ibnu Saba’, seorang Yahudi yang menyatakan dirinya masuk Islam. Ia termasuk salah seorang yang paling keras menentang ‘Ustman dan para pejabatnya. Pemikiran & kerusakan yang ditimbulkan olehnya berkembang secara bertahap. Temanya adalah mengenai Ali bin Abi Thalib. Ia mengembangkan pemikiran ditengah-tengah masyarakat luas bahwa sebgaimana dimuat dalam taurat, setiap nabi mempunyai penerima wasiatnya, dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad, bahkan penerima wasiat yang terbaik, sebagaimana halnya Muhammad adalah nabi terbaik. Ia juga menyebarkan pemikiran bahwa Muhammad akan kembali kedunia. Pada tahap berikutnya, ia menegaskan bahwa dalam diri Ali ada sifat ketuhanan. Ketika mendengar berita tentang p & paham ini, Ali bermaksud menghukum mati Abdullah bin Saba’, tetapi dicegah oleh Abdullah bin Abbas.
Ketika Ali terbunuh, Abdullah berusaha merangsang kecintaan rakyat kepada Ali & perasaan kehilangan Ali dengan cara menyebarkan kebohongan-kebohongan. Dengan cara demikian, ia akan tampak seperti orang yang baik, padahal sesungguhnya bertujuan menyesatkan & menghancurkan agama. Ia mengatakan bahwa yang terbunuh itu bukan Ali, tetapi setan yang menyerupai Ali, sedangkan Ali sendiri naik kelangit sebagaimana naiknya Isa ibn Maryam ke langit. Ia juga menyebarkan paham bahwa petir adalah suara Ali, & kilat adalah senyumannya. Penganut aliran Saba’iyyah yang mendengar petir harus mengatakan “Assalamu alaika ya Amirul Mu’minin”.[1]
Sebagian penganut aliran Saba’iyyah ada yang berkata, “Sesungguhnya Tuhan bersemayam dalam diri Ali & diri para imam sesudah wafatnya”. Sebagian penganut lain mengatakan bahwa Tuhan menjelma dalam tubuh Ali. Mereka berkata kepada Ali, “Dia adalah engkau, Allah”.

2.    Ghurabiyyah
Aliran ini tidak sampai mempertuhankan Ali, tetapi lebih memuliakan Ali ketimbang Nabi Muhammad. Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian seharusnya jatuh kepada Ali, tetapi jibril salah dalam menurunkan wahyu kepada Muhammad. Mereka disebut al-Ghurabiyyah karena mereka berpendapat bahwa Ali mirip dengan Nabi Muhammad, sebagaimana miripnya seekor buruk gagak (al-ghurab) dengan burung gagak lainya.
Pandangan ini muncul disebabkan oleh ketidak mengertian tentang sejarah & keadaan yang sebenarnya. Pada waktu Muhammad diangkat menjadi rasul, Ali masih kanak-kanak, belum pantas mengemban risalah kenabian. Ia belum mencapai usia mukallaf & akil baligh, karena baru berumur sembilan tahun.
Aliran ini & aliran-aliran menyesatkan lainnya yang mirip dengan aliran ini dibidang aqidah tidak diakui oleh kalangan Syi’ah sendiri sebagai  bagian dari mereka. Malah pada umumnya mereka berpendapat bahwa penganut aliran ini tidak termasuk Islam. Banyak penulis Syi’ah yang mengelompokkan mereka kedalam kelompok diluar Syi’ah serta sepenuhnya  berlepas diri dari mereka.
Pada masa ini tidak ada penganut Syi’ah yang mempertuhankan para imam secara terbuka, sebagaimana juga tidak ada yang menyatakan bahwa jibril salah dalam menurunkan wahyu mengenai risalah kenabian.

3.    Kaisaniyyah
Penganut Aliran ini adalah pengikut al-Mukhtar ibn Ubaid al-Tsaqafi. Pada mulanya al-Mukhtar berasal dari kalangan Khawarij, kemudian masuk kedalam golongan Syi’ah yang mendukung Ali. Nama Kaisaniyyah berhubungan dengan nama Kaisan, yang menurut satu kalangan adalah nama lain dari al-Mukhtar, sementara kalangan lain berpendapat bahwa Kaisan adalah nama dari mawla (orang yang dimerdekakan) Ali, atau nama dari murid cucu Ali, Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Aqidah aliran Kaisaniyyah tidak didasarkan ketuhanan para imam dari ahlubait sebagaimana yang dianut oleh aliran Saba’iyyah, tetapi didsarkan atas paham bahwa seorang imam adalah pribadi yang suci dan wajib dipatuhi. Mereka percaya sepenuhnya akan kesempurnaan pengetahuannya & kterpeliharaannya dari dosa karena ia merupakan symbol dari ilmu Illahi.
Mereka, sebagaimana aliran Saba’iyyah, yakin bahwa imam akan kembali, Imam itu, menurut pandangan mereka, setelah Ali, al-Hasan & al-Husain, adalah Muhammad al-Hanafiyah. Sebagian penganut Kaisaniyyah berpendapat bahwa Muhammad ibn Hanafiyyah telah meninggal dunia & akan kembali lagi kedunia. Namun, pada umumnya mereka meyakini bahwa ia tidak wafat, tetapi masih hidup digunung Radhwa yang dikelilingi oleh madu & air.
Para penganut aliran Kaisaniyyah juga meyakini doktrin A-al-bada’, yaitu keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memrintahkan yang sebaliknya.
Aliran ini menganut pula paham reinkarnasi, yaitu keluarnya ruh suatu jasad & mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini diambil dari filsafat hindu. Penganut agama hindu berkeyakinan bahwa ruh disiksa dengan cara berpindah kehewan yang lebih rendah, dan diberi pahala dengan cara berpindah dari suatu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.
Aliran ini juga memiliki doktrin bahwa segala sesuatu mempunyai sisi lahir dan sisi bathin, segala sesuatu memiliki ruh, semua wahyu ada ta’wilnya, segala sesuatu dialam ini ada hakikatnya, semua hukum & rahasia yang ada dialam ini terkumpul dalam diri seseorang, dan itu merupakan ilmu yang diwariskan Ali kepada cucunya, Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Maka barang siapa didalam dirinya terkumpul ilmu ini, dialah imam yang sebenarnya.[2]
Dari berbagai Negara Islam tidak ada data atau berita mengenai keberadaan aliran Kaisaniyyah dewasa ini.

4.    Zaidiyyah
Zaidiyyah adalah aliran Syi’ah yang paling dekat kepada jama’ah Islam (Sunni) dan paling moderat karena tidak mengangkat para imam kederajat kenabian, bahkan tidak sampai mendekati derajat itu. Namun, mereka memandang para imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi Muhammad. Mereka pun tidak mengkafirkan para sahabat, khususnya mereka yang dibai’at oleh Ali, dan mengakui kepemimpinan mereka.
Tokoh aliran ini adalah Zaid ibn Zainal Arifin. Ia menyatakan perang terhadap Khaliah Hisyam ibn Abdul Malik, dan kahirnya ia disalib diKuffah.
Aliran Zaidiyyah tidak berkeyakinan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Rasululah telah ditentukan nama & orangnya oleh rasul, tetapi hanya sifat-sifatnya saja. Namun, sifat-sifat yang disebutkan itu telah membuat Ali sebagai orang yang pantas menjadi imam setelah Rasulullah wafat, karena sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh orang lain. Sifat-sifat itu ialah: dari kalangan Bani Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa, baik, & membaur dengan rakyat untuk mengajak mreka hingga mengakuinya sebagai imam. Adapun orang yang akan menjadi imam setelah Ali disyaratkan haus berasal dari keturunan Fatimah.
Imam Zaid berpendapat bahwa imam itu boleh saja seorang yang mafdhul (bukan orang yang terbaik). Sifat-sifat yang disebutkan itu bukanlah sifat-sifat yang mutlak harus dipenuhi untuk pengangkatan seorang imam secara sah, tetapi merupakan sifat-sifat seorang imam yang ideal & sempurna. Akan tetapi, tentu saja orang yang memiliki semua sifat itu memiliki keutamaan disbanding yang lain. Berdasakan prinsip itu, Imam Zaid mengakui kekhalifahan Abu Bakar & Umar, serta tidak mengkafirkan seorang pun diantara para sahabat. Prinsip itu jugalah yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah, karena pertibangan masalah yang pertama (al-khuruj).
Zaidiyyah mempunyai paham tentang bolehnya membai’at dua imam dalam dua daerah kekuasaan yang berbeda selama mereka memiliki sifat-sifat yang disebutkan diatas, & selama keduanya dipilih bebas oleh ahl al-hall wa al-‘aqd.
Penganut aliran Zaidiyyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazhilah. Ini disebabkan oleh salah seorang tokoh Mu’tazhilah, Washil ibn Atha mempunyai hubungan dengan Zaid. Namun, hubungan ini pulalah yang membuat sebagian penganut Syi;ah marah terhadap Zaid karena Washil ragu-ragu ketika menentukan posisi Ali dalam perang Jamal melawan penduduk Syam, pihak Bani Umayyah.
Yahya menggantikan Zaid yang terbunuh. Akan tetapi, Yahya juga terbunuh pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Lalu, ia digantikan oleh Muhammad al-imam dan Ibrahim, keduanya adalah putra Abdullah ibn al-Hasan guru Imam Abu Hanifah.
Pada fase berikutnya, akibat kelemahan aliran Zaidiyyah & serangan dari aliran Syi’ah lainnya, dasar-dasar pemikiran aliran ini menjadi goyah atau kalah  & mati. Karena itu orang-orang berikutnya yang membawa nama aliran Zaidiyyah tidak membenarkan pengangkatan Imam yang mafdhul (bukan yang terbaik), sehingga mereka dianggap termasuk aliran yang ekstrim. Mereka adalah yang menolak & menentang keKhalifahan atau keimaman Abu Bakar & Umar, dan dengan begitu hilanglah ciri khas dari aliran Zaidiyyah generasi pertama.
Berdasarkan kenyataan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa aliran Zaidiyyah terbagi dua: pertama, para penganut aliran Zaidiyyah generasi pertama. Mereka tidak dipandang ekstrim & mengakui keimaman Abu bakar & Umar. & kedua, penganut Zaidiyyah generasi belakangan, mereka inilah yang dipandang ekstrim.
Penganut aliran Zaidiyyah yang ada diYaman dewasa ini, lebih dekat kepada paham aliran Zaidiyyah generasi pertama.

5.    Imamiyyah Istna ‘Asyariyah (Imamiyah Dua Belas)
Pada umumnya aliran-aliran Syi’ah yang ada sekarang didunia Islam seperti di Iran, Irak, Pakistan & Negara-negara lain, adalah golongan yang membawa nama Syi’ah Imamiyyah. Termasuk kedalam golongan ini kalangan yang kepercayaannya tidak menyimpang atau tidak bertentangan dengan satu nash pun dari Al-Qur’an & ketentuan dalam agama yang dapat diketahu secara apriori.
Persamaan aliran-aliaran ini terletak pada apa yang ditunjukkan oleh namanya, yaitu Imamiyyah. Mereka berpendapat bahwa para imam diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukkan orangnya secara langsung. Ali menjadi imam melaui penunjukkan Nabi Muhammad, kemudian dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad & mereka dinamakan al-awshiya (para penerima wasiat). Kalau memang Nabi Muhammad diutus untuk menghilangkan perbedaan pendapat & menciptakan kesamaan pandangan dikalangan umatnya, tentu dia dia tidak boleh meninggalkan mereka tanpa pedoman, sehingga setiap orang menempuh caranya masing-masing & saling bertentangan. Jadi, menurut pendapat mereka, Nabi wajib menentukan seseorang yang akan menajdi rujukan, pedoman, & pegangan umatnya.[3]
Penganut aliran Imamiyyah juga mendasarkan pendapat mereka atas kesimpulan yang mereka tarik dari kenyataan-kenyataan yang dating dari Nabi Muhammad. Diantara kenyataan itu ialah nabi tidak pernah menganggap seorang pun di antara sahabat untuk menjadi amir dalam peperangan dimana Ali berada dibawah komandonya.
Aliran Imamiyyah juga sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad melalui nash. Mereka sepakat bahwa al-awshiya setelah Ali adalah keturunan Fatimah, yaitu al-Hasan & kemudian al-Husin, akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang orang-orang menjadi al-awshiya setelah keduanya. Ada yang berpendapat bahwa mereka terpecah belah menjadi lebih dari tujuh puluh kelompok, & yang terbesar diantaranya adalah Istna Asyariyyah & Isma’iliyyah.
Penganut imamiyyah Istna Asyariyyah saat ini menempati daerah-daerah Irak, Iran, Suriah, Libanon, dan beberapa Negara lain. Hampir setengah dari jumlah pengikutnya berada diIrak. Merka hidup sesuai dengan ajaran alirannya dbidang aqidah, aturam-aturan perdata, hukum waris, wasiat, wakaf, zakat & seluruh bidang ibadah. Golongan ini dapat hidup berdampingan dengan para penganut mazhab Sunni. Sebagian aliran Imamiyyah lainnya, Imamiyyah Istna asyariyyah juga percaya bahwa seorang imam memiliki kekuasaan suci yang didapatnya melalui wasiat dari Nabi Muhammad. Dengan demikian, bukan hanya kebijaksanaan, tetapi aktivitas seorang imam dalam memimpin umatnya berlandaskan wasiat Nabi Muhammad. Karena itu, perlu dijelaskan kekuasaan & batas-batasnya dalam membentuk perundang-undangan & hukum.
Sehubungan dengan kekuasaan seorang imam, Imamiyyah menetapkan bahwa seorang imam memiliki kekuasaan penuh dalam membentuk undang-undan, segala ucapannya adalah syari’at & tidak mungkin yang berasal dari imam bertentangan dengan syari’at. Dari beberapa sumber, dapat ditarik 3 kesimpulan yang berkaitan dengan pembuatan undang-undang :
Pertama, Nabi Muhammad meninggalkan rahasia-rahasia syari’at untuk dititipkan kepada para imam yang merupakan penerima wasiatnya. Nabi tidak menerangkan seluruh hukum, tetapi hanya sebagiannya yang sesuai dengan masanya, sedangkan sebagian lagi ditinggalkan agar para penerima wasiat menerangkannya kepada kaum Muslimin sesuai dengan masa setelah dia wafat. Hal ini merupakan amanat yang ditinggalkannya untuk mereka.
Kedua, ucapan imam adalah syari’at Islam, karena ia menyempurnakan risalah kenabian, maka ucapannya dlam bidang agama merupakan syari’at. Ucapan para imam itu setarap dengan sabda Nabi Muhammad karena merupakan titipan Nabi kepada mereka.
Ketiga, para imam memiliki hak untuk melakukan takhshish terhadap nash-nash yang bersifat umum & melakukan taqyid terhadap nash-nash yang bersiat mutlak. Karena seorang imam memilki kedudukan sebagaimana disebutkan diatas dalam penetapan hukum, maka aliran Imamiyyah menetapkan bahwa seorang imam besifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, kelupaan, & kemaksiatan.
Ke-ma’shuman imam hanya dapat diketahui dari keadaannya sebelum seseorang menjadi imam, yaitu dari perkataannya yang dapat menjadi hujjah. Atas dasar itu mesti ma’shum semenjak sebelum jadi imam. Jika tidak demikian, orang-orang akan menjauhi dirinya. Jalan pikiran seperti ini kita terapkan juga terhadap semua Nabi.[4]
Aliran Imamiyyah membenarkan terjadinya hal-hal yang lua biasa pada diri seorang imam. Mereka menanamkan hal itu dengan mu’jizat, sebagaimana halnya peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri para nabi dinamakan mu’jizat.
Seorang imam, menurut aliran Imamiyyah, menguasai pengetauan yang berhubungan dengan syari’at & hukum kaena, sebagaimana telah dijelaskan dimuka, memang dipersiapkan untuk itu. Pengetahuan imam yang serba lengkap itu benar-benar nyata ada dalam dirinya, bukan dalam bentuk potensi & bukan karena ia melakukan ijtihad. Artinya, ilmu itu memang ada dalam dirinya sebagi ilmu ladunni. Peneapan bahwa ilmu seorang imam adalah ilmu yang paripurna merupakan konsekunsi logis dari pernyataan mereka bawa al-awshiya menerima titpan ilmu dari sisi Nabi Muhammad yang dapat menguasai dan mengayomi syari’at Islami. Jadi, ilmu meeka merupakan titipan kenabian, & mereka terjaga dari kesalahan.
Menurut akal mugkin saja umat bersatu dalam kesesatan, tetapi imam yang ma’shum itulah yang akan membimbing, menunjuki, & menjaga umat agar tidak bersatu dalam kesesatan. Penganut agama-agama yang lain telah bersatu dalam kesestan karena tidak ada orang yang ma’shum dikalangan merekan & karena syari’at mereka bukansyari’at yang terakhir. Adapun syari’at Muhammad, karena merupakan syari’at yang terakhir, mesti didalamnya ada imam yang ma’shum, yang memelihara & menjaganya dari kesesatan sampai hari kiamat.[5]
Dari uraian tentang kedudukan imam dalam pandangan aliran Imamiyyah diatas, terlihat bahwa semua aliran Imamiyyah sepakat & tidak ad perbedaan pendapat diantara meeka tentang kedudukan yang mendekati kedudukan Nabi Muhammad. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa perbedaan antara imam & Nabi hanya satu, yaitu imam tidak diberi wahyu.
Orang yang membaca uraian kalangan Imamiyyah yang meliputi doktrin tentang kebesaran pribadi seorang imam tidak menemukan dalil yang membenarkannya, malah sebaliknya ada dalil yang membatalkannya, karena Nabi Muhammad telah menyempurnakan keterangan syari’at Islam. Jika Nabi Muhammad menyembunyikan sesuatu, itu berarti dia tidak menyampaikan risalah Tuhannya, dan itu mustahil. Sesungguhnya tidak ada yang bersifat ma’shum kecuali Nabi Muhammad, & tidak ada dalil tentang adanya sifat itu dalam diri selain para Nabi.

6.    Isma’iliyyah
Isma’iliyyah, sebagimana telah disinggung, adalah bagian dari aliran Imamiyyah. Penganut aliran ini tersebar diberbagai Negara Islam : Afrikan Selatan & Tengah, Syam, India, & Pakistan. Dalam sejarah Islam mereka tercatat pernah Berjaya dengan suatu kekuasaan yang besar, yaitu Dinasti Fathimiyyah di Mesirn & Syam. Demikian pula dengan Qaramithah yang pernah berkuasa diberbagai kawasan Islam.
Nama aliran ini dinisbahkan kepada Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Ia adalah imam keenam dalam aliran Imamiyyah Dua Belas. Imam berikutnya adalah Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh. Namun, aliran Isma’iliyyah menetapkan bahwa imam ketujuh adalah anaknya yang bernama Isma’il.
Hak keimanan melalui ismail berpindah kepada anaknyan Muhammad al-Maktum. Sejak Muhammad mulailah ada doktrin bahwa para imam tersembunyi atau tertutup, karena mereka menetapkan bahwa seorang imam dapat saja tersembunyi  & tetap wajib dipatuhi. Tersembunyinya seorang imam tidak menghalanginya untuk menjadi imam.
Setelah Muhammad al-Maktum, yang menjadi imam berturut-turut ialah Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Maktum & anak al-Habib, Abdullah al-Mahdi, yang kemudian menampakkan diri di Afrika utara & kerajaan maghrib. Daulah Fathimiyyah dimesir timbul setelah Abdullah al-Mahdi muncul.
Aliran Isma’iliyyah, sebagaimana aliran-aliran Syi’ah lainnya muncul di Irak. Paham aliran bercampur dengan sebagian kepercayaan Persia kuno & pemikiran filsafat India. Karena dipengaruhi paham & pemikiran-pemikiran itu, banyak penganut aliran Isma’iliyyah yang menyimpang sehinga mereka banyak mengikuti hawa nafsunya. Itulah sebabnya muncul kelompok-kelompok baru yang membawa nama aliran Isma’iliyyah, yang sebahagiannya masih dalam ruang lingkup pemahaman ajaran Islam, tetapi sebagian lagi menyimpang karena pahamnya telah tercemar & tidak sesuai dengan prinsi-prinsip pokok Islam.
Mereka telahberhubungan dengan ajaran-ajaran Brahma Hindu, filsafat iluminisme, Budha, serta sisa-sisa kepercayaan & pemikiran Kaldan & Persia tentang masala-masalah seperti ruh, bintang & planet. Sebagian mereka ada yang menyerap pemikiran & kepercayaan itu secara keseluruhan sehingga mereka menjadi jauh dari ajaran Islam. Kepercayaan  yang mereka anut itu sedapat mungkin mereka rahasiakan.
Aliran Isma’iliyyah dinamai juga dengan al-Bathiniyyah atau al-Bathiniyyun. Dinamakn demikian karena mereka mempunyai kecendrungan untuk menyembunyikan diri & pahamnya dari orang lain. Hal ini pada mulanya merupakan akibat dari perburuan terhadap diri mereka, tetapi lama-lama menjdi kebiasaan mereka.
Aliran Isma’ilyyah dinamakan dengan al-Bathiniyyah antara lain karena mereka selalu mengatakan bahwa imam mereka tersembunyi, & selalu tersembunyi sampai munculnya kerajaan mereka di Maghrib yang kemudian pindah ke Mesir. Sebab lain ialah karena mereka mengatakan bahwa Syari’at itu ada yang lahir & ada yang Bathin. Masyarakat Islam hanya mengetahui yang lahir, sedangkan imam memiliki pengetahuan yang bathin, malah yang lebih dalam lagi dari itu. Pendapat mereka dalam masalah ilmu lahir & ilmu bathin ini sama dengan pendapat aliran Imamiyyah dua belas. Sebagian alran tasawuff juga mengadopsi aliran ini.
Pendapat-pendapat yang dianut oleh kalangan aliran smailiyyah yang moderat didasarkan atas tiga teori yang sebagian besar dianut juga oleh aliran Imamiyyah dua belas, yaitu:
Pertama: limpahan cahaya ilahi (al-faidh al-ilahi) dalam bentuk pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada para imam, teori ini mereka jadikan landasan untuk menyatakan bahwa seorang imam memiliki derajat ilmu yang melampaui apa yang dapat dicapai manusia lainnya.
Kedua: seorang imam tidak mesti menampakkan diri & dikenal, tetapi dapat tersembunyi, & meskipun begitu ia wajib dipatuhi. Ia adalah al-Mahdi yang member petunjuk kepada manusia. Ia akan menamapkkan diri pada suatu lapisan keturunan tertentu, & pasti akan nyata.
Ketiga: seorang imam tidak bertanggung jawab kepada siapapun, & siapa pun tidak boleh mempersalahkannya ketika ia melakukan suatu perbuatan. Sebaliknya, mereka wajib mengakui bahwa semua perbuatannya mengandung kebaikan, bukan kejahatan, karena ia memiliki pengetahuan yang tidak dimengerti siapa pun.
Dalam pengertian inilah mereka menetapkan bahwa para imam itu ma’shum, bukan dalam pengertian tidak melakukan kesalahan sebagaimana yang kita kenal.

7.                Hakimiyyah & Druz
Doktrin al-sirriyyah (merahasiakan sesuatu), sebagai salah satu pegangan aliran Bathiniyyah yang dibawah naungannya telah berkembang pendapat-pendapat mereka, menjadi sebab lahirnya aliran Hakimiyyah, yaitu orang-orang yang ekstrim & berlebihan serta telah melampaui batas-batas ajaran Islam. Mereka terlalu jauh menafsirkan pengetian pelimpahan cahaya ilahi sehinggaa menimbulkan pemikiran bahwa Allah bertempat dalam diri seorang imam & menyerukan untuk menyembahnya.
Tokoh aliran yang ekstrim ini adalah al-Hakim ibn Amrillah al-Fathimi. Dia mengatakan bahwa Allah telah bersemayam dalam dirinya & dia mengajak orang lain untuk menyembahnya. Dia menghilang & mati secara wajar atau terbunuh, sejalan dengan beberapa riwayat yang berbeda yang menceritakan tentang nasibnya kemudian. Menurut riwayat yang terkuat, dia dibunuh oleh sebagian keluarganya. Murid-murid & penganut pahamnya yang timbul setelah kematiannya mengingkari kenyataan bahwa dia telah mati. Mereka berkeyakinan bahwa dia hidup dalam keadaan bersembunyi, & akan kembali lagi nanti. Penganut paham inilah yang dinamai dengan aliran Hakimiyyah.
Adapun Druz,  penganut paham ini banyak berdiam di Syam serta mempunyai hubungan erat dengan aliran Hakimiyyah. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa orang yang telah menghembuskan pemikiran kepada al-Hakim untuk menyatakan pendapatnya yang ekstrim itu kepada masyarakat adalah seorang pria Persia bernama Hamzah al-Darazi. Besar kemungkinan nama aliran ini dinsabkan kepada nama al-Darazi. Tidak jelas bagaimana nasib sisa-sisa kelompok ini,, karena mereka menyembunyikan amalan & kepercayaan dari tetangga & keluarga mereka.

8.    Nashiriyyah
Nashiriyyah adalah aliran yang juga telah mencabut akarnya dari ajaran Islam & mengikuti jejak Isma’iliyyah, tetapi terdapat beberapa persamaan paham ajarannya dengan Hakimiyyah, & berada dalam asuhan pemikiran mereka.
Penganut aliran ini, sebagaimana halnya dengan aliran Hakimiyyah, pada mulanya mendiami daerah Syam. Mereka memeliki beberapa y dengan aliran Istna Asy’ariah (Imamiyyah Dua Belas). Mereka percaya bahwa keluarga Ali diberi Allah ilmu pengetahuan (al-ma’rifah) yang sempurna. Mereka juga percaya bahwa Ali tidak mati, & Ali adalah Tuhan atau yang mendekati Tuhan. Paham meeka sama dengan aliran Bathiniyyah tentang adanya pengertian lahir & bathin dari syari’at, sedangkan pengetahuan tentang syari’at yang bersifat bathin hanya dimiliki para imam. Imam yang sedang aktif itu mendapat peneangan cahaya yang menjadikannya paham tentang hakikat syari’at, baik dalam pengertian lahir maupun bathin.
Aliran yang ekstrim ini telah mencabut akar-akar ajaan Islam & memutar balikkan maknanya. Tidak ada lagi yang tersisa dalam diri mereka dari Islam kecuali nama Islam. Aktivitas mereka meluas ketika Daulah Fathimiyyah berkuasa di Mesir & Syam. Dalam diri al-Hakim ibn Amrillah mereka menemukan orang yang sama keinginan nafsunya dengan mereka. Karena itu pada masa berkuasanya al-Hakim ibn Amrillah muncul tokoh mereka yang bernama al-Hasan ibn al-habah. al-Hasan menimbulkan fitnah dalam menentang Daulah Abbasiyya pada waktu yang bersamaan dengan munculnya seruan al-Hakim untuk mempertuhan dirinya. Al-Hasan menyebarkan para propagandisnya di Syam untuk mengajak masyarakat mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah itulah jumlah pengikut mereka jadi banyak di Syam. Mereka menjadikan daerah gunung al-Saman, yang sekarang dinamakan gunung al-Nashiriyyah sebagai markas. Kegiatan mereka terbatas hanya pada mengatur taktik & strategi untuk menguasai tokoh umat Islam & pemimpin tertinggi mereka jika terbuka kesempatan untuk itu. Setelah itu datang pula pasukan tatar menguasai Syam, mereka pun bergabung dengannya, sebagaimana sebelumnya bergabung dengan dengan pasukan Salib & menyerahkan diri mereka untuk diperbudak Tatar. Ketika kekuasaan Tatar sudah melemah, mereka surut kembali kepegunungan untuk menanti kesempatan lain.

Demikian penjelasan singkat tentang aliran-aliran yang menggunakan nama Syi’ah untuk menerangkan siapa yang berpegang pada kebenaran & siapa yang menyimpang dari jalan yang lurus, siap yang telah terlepas dari akar-akar Islam & siap yang hanya namanya saj mendukung Ali, padahal sebenarnya mereka memerangi Islam & kaum Muslimin.

C.     Sudut Pandang Syi’ah
Perlu dijelaskan, meskipun secara ringkas, pandangan-pandanga Syi’ah tentang topik-topik yang sedang mencuat dikalangan ahli kalam Muslim. Aqidah-aqidah khusus dalam kalam Syi’ah, termasuk dantaranya ada lima aqidah yang dianut Mu’tazilah,  aqidah-aqidah itu ialah :

a.                 Tauhid
Tauhid juga termasuk dalam lima aqida Mu’tazilah, & juga dala aqidah Asy’ariyyah. Bedanya, dalam Mu’tazilah, khususnya mengandung arti tauhid sifati, & tauhi sifati ini dinafikan oleh As’ariyah. Seperti sudah disebutkan, zati & tauhid ibadi, karena keduanya diterima oleh semua pihak,  dalam perdebatan diseputar sifat-sifat Allah, Syiah berpihak kepada tauhid sifati, dan dalam pedebatan mengenai perbuatan manusia, Syiah berada dipihak tauhid af’ali. Namun konsepsi tauhid sifat yang dianut oleh Syiah berbeda dengan yang dianut Mu’tazilah.
Konsepsi tauhid af’ali Syi’ah berbeda dengan konsepsi tauhid af’ali as’ariyyah. Konsepsi tauhid af’ali As’ariyyah bermakna bahwa dalam skema alam semesta makhluk ada konsekuensinya, dan segala sesuatu langsung ditentukan begini-begitunya oleh Allah. Krena itu, Allah juga yang langsung menciptakan perbuatan manusia, sehingga perbuatan manusia bukanlah ciptaan manusia itu sendiri. Hal ini kerjanya tidak dalam garis sejajar namun dala rangkaian.

b.                Keadilan Ilahi
Akidah keadilan ilahi dianut baik oleh Syi’ah maupun Mu’tazilah. Arti keadilan Ilahi adalah bahwa Allah melimpahkan rahmat-Nya & juga memberikan cobaan & mengenakan hukuman menurut apa yang pada hakikatnya patu diterima makhluk-Nya, & bahwa rahmat Allah & cobaan dari-Nya, pahala & hukuman dari-Nya, diberikan berdasarkan tatanan atau hukum tertentu (yang juga berasal dari Allah).
Kalau dalam keyakinan Syi’ah, kemerdekaan & kehendak bebas mengandung makna bahwa manusia diciptakn sebagai makhluk yang merdeka. Namun eksistensi manusia beserta segenap mode eksistensinya, termasuk cara bertindaknya, seperti makhlu lainnya, sepenuhnya bergantung pada zat Allah. Eksistensi manusia & semua mode eksistensi manusia, semuanya berasal & bergantung.
Kaum Asy-ariyyah menentang keras keyakinan ini. Mereka menolak keyakinan yang menyebutkan bahwa perbuatan berpembawaan baik atau buruk, & mereka menolak digunakannya penilaian “wajib” & “tidak boleh”  terhadap Allah.
Sebagian pemikir Syi’ah, karena pengaruh kalam Mu’tazilah, menerima pandangan Mu’tazilah dalam bentuknya yang disebutkan diatas, namun sebagian lainnya, karena luas wawasannya, meski menerima akidah yang meyakini bahwa perbuatan itu pada sifatnya bemoral atau tidak bemoral, menolak pandangan yang menyebutkan bahwa penilian boleh atau tidak boleh dapat ditujukan kepada Tuhan.[6]

c.                 Akal itu merdeiyyah. \ juga dala aqidah Aa aqida Mu'yang sudahn-pandanga Syi', pada hal sebenarnyajalan yang lurus, siap yang telah terlepaska & Absah
Kemerdekaan, otoritas, & keabsahan akal dalam pandangan Syi’ah lebih besar ketimbang dalam pandangan Mu’tazilah.
Syi’ah mengiyakan keyakinan Mu’tazilah bahwa perbuatan Allah ada tujuannya. Mereka percaya bahwa ada perbedaan antara tujuan perbuatan & tujuan pelakunya. Yang mustahil adalah kalau Allah berupaya mencapai tujuan-Nya sendiri melalui perbuatan-Nya. Namun, maksud atau tujuan yang diarahkan untuk kepentingan makhluk sama sekali tidak bertentangan dengan kesempurnaan Allah & supremasi zat-Nya Yang Mahakaya.

d.                Kemungkinan Bada’ (Kemungkinan Allah Mencabut Takdirr)
Bada’ dalam perbuatan Allah adalah mungkin, sebagaimana yang terjadi dalam pencabutan hukum yang sudah ditetapkan-Nya. Telaah tentang bada’ yang mendalam dapat ditemukan dalam buku-buku filsafat seperti al-asfar.
Kaum syi’ah percaya bahwa Allah tak akan pernah dapat dilihat dengan mata, baik didunia ini maupun diakhirat kelak. Namun, tingkat keyakinan yang paling tinggi bukanlah keyakinan akal. Keyakinan akal adalah ilmul yaqin. Tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari keyakinan akal adalah ainul yaqin (keyakinan hati). Ainul yaqin (secara harfiah berarti yakin karena melihat) mengandung makna menyaksikan Tuhan dengan hati, bukan dengan mata. Dengan demikian, kendatipun Tuhan tak dapat dilihat dengan mata, Dia “dapat dilihat” dilihat dengan hati, bukan dengan mata. Daam masalah ini hanya kaum sufi sajalah  yang sudut pandangnya menyerupai sikap Syi’ah.
e.                 Mukmin atau kafir, Orang Fasik itu.
Mengenai topic ini, seperti sudah sering disebutkan, sikap Syi’ah sesuai dengan sikap Asy’ariyah, namun beda dengan pandangan Khawarij & Mu’tazilah percaya bahwa bahwa orang fasik itu kafir, & Mu’tazilah percaya bahwa orang fasik itu bukan mukmin & bukan kafir (manzilah bainal manzilatain).

f.  Para Nabi & Imam Maksum
     Keyakinan ini merupakan cirri khas Syi’ah. Syi’ah berpandangan bahwa para Nabi & para imam itu maksum & tidak melakukan dosa besar maupun dosa kecil.

g.                Maghfirah (Ampunan) & Syafaat (Pertolongan)
Mengenai topik ini, pandangan Syi’ah juga beda dengan pandangan Mu’tazilah. Mu’tazilah berpandangan bahwa orang yang mati, sementara dia belum bertaubat, maka dia tak mungkin mendapat ampunan Tuhan atau syafaat Nabi saw. Sikap Syi’ah juga berbeda dengan konsepsi syafaat yang permisif & berlebihan seperti yang dianut Asy’ariyah.[7]

D.    Rivalitas & Konflik Intern Syi’ah
Dibalik kecamuk perang Teluk II, sempat ada ‘perang kecil’ antar faksi elemen masyarakat Iraq. Dua ulama Syi’ah terbunuh diMasjid Imam Ali, Najaf. Kedua ulama itu adalah Haidar al-Kadar & Abdul Majid al-Khu’i. Kedua pemimpin Syiah yang terbunuh itu, selama itu tergolong dari kelompok moderat yang kooperatif dengan pemerintah Saddam Husien. Mullah haidar adalah pemimpin Syi’ah dari Basra, sedang Mullah Abdul Majid dari yaysan Khu’I yang berpusat dilondon.
Sementara, sejak rezim Saddam Husien dinytakan tumbang, disatu pihak kelompok ushuliyyah yang dominan dikota-kota suci Iraq, seperi di Basra, Karbala & Najaf (dengan dukungan Iran) agaknya bersiap-siap mau ambil porsi yang lebih besar dalam kekuasaan mendatang. Ketika itu dari Najaf terbentik kabar, komunitas Syi’ah dengan memobilitas massa membentuk pertahanan kota. Melalui fatwa-fatwa ulama dari Khauzah (pesantren-pesantren pengkaderan), warga Syi’ah menyusun kekuatan dengan alas an mengamankan Baghdad & kota-kota lainnya.
Dan ketika itu pula di Karbala, komunitas Syi’ah memperingati arba’in (empat puluh hari) setelah gugurnya Imam Husien a.s. 10 Muharram 61 H. Tradisi ini biasa dimanfaatkan oleh akhbari ataupun ushuli sebenarnya punya tuntutan yang sama atas tumpahnya dara Husien bin Ali di Karbala, selaku Sayyid al-Syuhada (penghulu para martir) terhadap musuh-musuh mereka, yang kadangkala upacara ini secara negative menjebak komunitas Syi’ah mempraktikkan doktrin penebusan dosa melalui darah Imam Husien dengan penyiksaan diri.
Betapapun akhirnya bila sampai pada wacana kekuasaan, akhbari lebih memilih konsisten konsekwen dengan tradisi para imam ketimbang membentuk kekuasaan tanpa kehadiran Imam yang absen.
Boleh jadi terbunuhnya Haidar & Khu’I ini dilakukan faksi ushuliyyah yang dominan. Semasa rezim Saddam, akhiriyyah bekerjasama dengan Baghdad. Pihak ushuliyyah tidak dilibatkan karena aktivisme radikalnya dikuatirkan berpotensi menumbangkan kekuasaan. Karena itu juga Saddam dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan pemimpin spiritual tertinggi ushuliyyah Iraq, Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr. Pemimpin politik Syi’ah Iraq yang dekat dengan Imam Khoemaini ini dilibas setelah pemerintah mengendus rencana Revolosi Islam Iraq yang dikobarkan sang Ayatullah, hamper dua dasawarsa lampau.
Begitulah dimasa rezim Saddam Husien sempat batas & sekat antara akhbari & ushuli kabur, itu belangsung sampai setelah AS & koalisinya menaklukkan Iraq. Rivalitas internal ini agaknya sempat mengemuka kembali, mungkin karena ada kekhawatiran pihak ushuli, bahwa kubu akhbari kooperatif dengan ‘musuh’, yang diyakini dapat menghalangi revolusi Islam Syi’ah yang direncanakan.
Eskalasi perebutan pengaruh pasca perang Teluk II ini jadi kian meningkat, setelah Syi’ah menyadari, mereka secara populasi bisa merebut suara mayoritas untuk berkuasa. Oleh karena itu, pertemuan yang pernah digelar oposisi Saddam Husien diHotel Pelastine (Baghdad) diboikot Syi’ah, & mereka mengadakan demonstrasi menentang pertemuan yang membahas masa depan Iraq bila tidak memberikan porsi yang besar kepada Syi’ah.
Sejak kemenangan kelompok ushuliyyah yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini, ketika mengobarkan revolusi 1979, para ulama faksi ini telah mendominasi komunitas Syi’ah. Sementara yang akhiriyyah termarginalkan.
Nama ushuliyyah berasal dari ungkapan ushul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), ini tak pernah dikenal sebelum pertengahan abad kedua belas. Mula faham ini dikembangkan oleh Syaekh al-Mufid yang menolak pandangan-pandangan rivalnya : tradisionalis-orthodoks (para pelopor akhbariyyah). Adapun akhbariyyah sendiri meyakini, selama Imam Ghaib belum menampak, maka tak ada pemerintahan yang sah, sampai al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu) muncul kepermukaan bumi ini membawa misi keadilan. Sedangkan ushuliyyah yang mulanya berasal dari rahim akhbariyyah juga membuat terobosan dengan teori yang membolehkan ijtihad, termasuk tentu yang paling pokok (ushul) adalah ijtihad imamah (politik).
Dan akhirnya menjadi bukti sejarah, bahwa dominasi ushuliyyah mampu menggeser kubu akhbariyyah, karena aliran yang menekankan penegakkan Negara Islam melalui revolusi ini sangat militan. Tetapi untuk kasus diIraq, barangkali tidak identik dengan revolusi diIran tahun 1979, dimana rakyat yang homogeny secara serempak berjuang menjatuhkan Syah Reza Pahlevi yang otoriter & represif. Masyarakat Syi’ah diIraq yang heterogen kini tidak sedang berhadapan dengan suatu rezim, melainkan dengan militer koalisi & oposan Sunni. Kemungkinan konflik internal agama ini, bahkan juga intra-Syi’ah sendiri (seperti pernah terjadi diIran pasca revolusi, yang disebut revolusi telah memakan anaknya sendiri) akan mudah meletup. Atau siapa tahu hal ini memang sengaja dikondisikan oleh Amerika serikat & sekutunya untuk melemahkan Iraq.

1 comment:

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List