A.Sejarah serta Tokoh dalam Penyebaran Paham Jahmiyah
Faham Jahmiyah yakni pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah, berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama mengucapkan perkataan ini dalam Islam yakni perkataan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy dengan sebenarnya, dan lafaz istiwaa mereka artikan dengan istaulaa ( berkuasa) adalah Ja’ad bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jahm bin Shafwan, Sehingga faham Jahmiyah dinisbatkan kepadanya. Telah dikatakan bahwa Ja’ad mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti Lubaid bin Al-A’sham. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi, yang menyihir Nabi Muhammad Saw.[1]
Jahm bin Shafwan diketahui berasal dari khurasan. Jahm termasuk salah seorang tokoh Murji’ah ekstrim dan sebagai pemuka Murji’ah golongan Jahmiyah. Jahm diketahui terlibat dalam kegiatan politik, Ia adalah Sekretaris dari Syuraih ibn Al-Haris, dan ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.[2]
Mereka adalah pengikut Jahm bin Shofwan dari penduduk negeri Tirmidz di Khurosan. Seorang yang selalu berkata dan berbantah, banyak berbicara tentang perkara yang berkaitan dengan Allah, menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, mengatakan bahwa Allah tidak berbicara dengan Nabi Musa, mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat Al-Kalam (Berbicara), mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (yaitu pada waktu di surga), mengatakan bahwa Allah tidak bertempat di atas ‘Arsy.
Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa Jahm sangat keterlaluan meniadakan apapun dari Allah.
Jahm pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq ( pembenaran) hati, sekalipun tidak dinyatakan. Pendapat seperti ini tidak pernah dinyatakan seorang ulama atau imam umat ini. Bahkan Ahmad bin Waki’ serta yang lainnya mengkafirkan siapa saja yang mengatakan demikian.
Khalid Qasri membunuh Ja’ad itu pada zaman Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Kemuadian Jahm mengajarkan fahamnya itu di Khurasan dan banyak pengikutnya, sesudah dia meninggalkan sholat selama empat puluh hari, kerena ia ragu akan keberadaan Tuhannya.
Yang demikian ialah setelah ia menghadapi suatu diskusi menghadapi para filosof hindu yang dinamakan “Samaniyah” yang berfaham, bahwa yang dinamakan ilmu ialah yang tidak dapat dijangkau anggota lahir ini. Mereka menanyakan kepada Jahm, “ Tuhanmu yang kamu sembah itu adakah melihat atau merasa atau menyentuh?” Jawab Jahm. “ Tidak.” Jawab mereka, “ Kalau begitu Tuhanmu tidak ada.” Selama empat puluh hari Jahm tidak beribadat apa-apa dan kemudian membersihkan hatinya dari ketuhanan yang selama ini disembahny, sehingga syeitan berhasil mempengaruhi Jahm dengan memahatkan pendapat itu di dalam otak / pikirannya, seehingga mengatakan, “Sesungguhnya Dia-lah wujud mutlak dan tidak ada sifat pada-Nya. Sesungguhnya Tuhan itu ialah hawa kemauan yang terdapat pada tiap sesuatu, bersama dengan sesuatu, pada tiap sesuatu, tidak ada yang sepi dari padanya dan semua berhubungan dengan Jahm.”
Jahm dibunuh tahun 128 hijriyah oleh Salamah bin Ahwaz di Khurasan demikian menurut Sejarah oleh Thabari. Namun ajarannya masih dianut orang ban diikuti Muktazilah. Tapi Jahm sampai mengatakan Ta’thiil itu, karena dia menentang ada nama dan sifat Tuhan dan ada pula yang menentang sifat Tuhan, tetapi mengakui ada nama-nama-Nya.[3]
B.Ajaran-ajaran Jahmiyah
Sebenarnya dasar ajaran Jahmiyah itu berasal dari ajaran orang Musyrik, tokoh-tokoh ajaran Brahma, Filosof, tukang buat Bid’ah dari Ahli kitab yang mendakwakan, “Mereka ialah lawan dan musuh Ibrahim Khalilullah dan lain-lain. Mereka menyembah bintang besar dan bintang kecil, membuat Haikal, dan lain-lain. Merekaa membantah Ibrahim jadi Khalilullah dan Musa Kalimullah itu, karena menurut mereka KHALIL atau TEMAN itu adalah kalimat pernyataan kasih sayang dari orang yang tenggelam dalam asyik Maksyuk. Jahmiyah tidak mengakui ada kasih sayang pada Allah dengan alasan, “Kasih sayang itu ditemukan antara dua orang, yaitu Yang mengasihi dan Yang dikasihi.” Tidak ada keserasian antara Allah yang Qadim dengan yang baharu, sehingga harus mengasihinya. Itulah ukuran Kasih bagi mereka.
Ajaran Jahm secara murni ialah bagaikan ajaran Qaramithah dan simpatisan mereka. Mereka menolak Allah bersifat dengan dua yang bertentangan, sehingga mereka mengatakan , Allah tidak maujud, tidak bukan maujud, tidak hidup, tidak bukan hidup. Padahal sudah diketahui, bahwa berkumpulnya dua yang berlawanan tidak diterima, walaupun oleh orang yang baru mulai bertumbuh akalnya. Mereka menyifatkan Allah dengan “tidak” saja. Umpama mereka katakan “ Allah bukan hidup, tidak Maha Mendengar, dan tidak Maha Melihat.”Sebenarnya mereka lebih kafir dari kafir yang lain.
Jahmiyah menganut fahamnya, “Allah tidak di dalam alam dan tidak pula di luarnya.”Bila dikatakan kepada mereka, “Ini secara mudah saja tidak diterima akal. Umpamanya dikatakan “Allah bukan Qadim, tidak Baharu, tidak ada pada sifat Wajib tidak pula sifat Mungkin, tidak berdiri sendiri-Nya dan tidak pula di atas yang lain.” Mereka menjawab, “Ini bila DIA menerima sifat itu.”[4]
Sebagian besar generasi terakhir dari pengikut Imam Ahmad dan lainnya menyangka bahwa lawan debat paham mereka adalah Mu’tazilah. Padahal tidak demikian, bahkan Mu’tazilah termasuk dari mereka yang menganut paham Jahmiyah. Di dalam paham Jahmiyah terkenal dengan dua jenis bid’ahnya. Pertama, mereka menafikan sifat-sifat Allah, dan yang kedua, bertindak melampaui batas dalam persoalan Qadar dan Irja’( harapan). Sehingga mereka menganggap iman hanya soal pembenaran hati, serta menganggap bahwa para hamba tidak mempunyai perbuatan dan kemampuan.
Kedua paham bid’ah yang melampaui batas tersebut justru menyalahi Mu’tazilah. Jahmiyah tidak membenarkan satupun dari sifat-sifat Allah, baik Iradah maupun yang lainnya. Pendapat seperti ini banyak tersebar di kalangan kaum sufi,. Oleh karena itu, mereka bersesuaian dengan Jahmiyah dengan masalah perbuatan dan takdir, tetapi bertentangan dalam persoalan sifat-sifat Allah.[5]
Telah berkata Al-‘Allamah Jamaluddin Al-Qasimy : “Ada yang menyangka bahwa Al-Jahmiyah telah berlalu, akan tetapi sesungguhnya Mu’tazilah adalah cabang dari mereka dan sesungguhnya orang-orang ahli kalam/filsafat mereka telah mengembalikan/merujuk kebanyakan dari masalah-masalahnya kepada Madzhab Al-Jahmiyah”. Oleh sebab itulah sesungguhnya Mu’tazilah dan Asya’iroh adalah cabang yang tumbuh dan berkembang dari dasar Madzhab Al-Jahmiyah.[6]
Agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlah, sedangkan Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.[1]
Menurut kodratnya, manusia dalam hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya. Manusia selalu merasa bahwa di luar dirinya terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan seperti ini, biasa disebut dengan beragama.
Agama dapat dikategorikan dalam dua macam, yaitu agama samawi dan agama bukan samawi atau yang sering disebut dengan agama ardli. Agama Islam, Kristen, dan Yahudi adalah agama-agama samawi, yaitu agama yang diyakini sebagai agama yang diwahyukan Tuhan kepada nabi atau rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya. Dengan kata lain, agama-agama itu adalah agama yang bukan diciptakan oleh manusia. Sedangkan agama-agama seperti Hindu, Budha, dan Konghucu adalah agama yang tidak diturunkan oleh Tuhan kepada nabi atau rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya, tapi agama-agama itu adalah ciptaan manusia. Agama-agama yang disebutkan terakhir itu adalah contoh dari agama bukan samawi, atau agama ardli.
Agama samawi diyakini sebagai agama yang diwahyukan oleh Tuhan yang secara metaforis dapat dikatakan diturunkan dari langit. Oleh karena itu disebut agama samawi. Samawi berasal dari kata sama' yang berarti langit. Sedangkan ardli, secara generik berarti agama bumi. Ardl, adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti bumi. Agama ardli adalah agama yang tidak dituqunkan dari langit, tapi timbul dari pemikiran manusia dari hasil perenungan yang mendalam.
Karena salah satu unsur agama adalah kitab suci yang disebut kitab samawi pula. Kitab-kitab suci seperti Alquran, Injil, Taurat, dan Zabur adalah kitab-kitab samawi, karena diwahyukan oleh Tuhan kepada para rasul atau nabi yang menyebarkan kitab-kitab itu. Sedangkan kitab-kitab suci seperti Weda dalam agama Hindu, Tripitaka dalam agama Budha, adalah kitab yang tidak diwahyukan Tuhan kepada para pembawa dan penyebar agama-agama itu, tetapi dibuat atau dikarang oleh pendiri agama-agama itu.
Manusia beragama karena mereka memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Dengan agama, manusia juga bisa mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.[2]
Kebenaran universal adalah diakui oleh umat manusia dari zaman purbakala sampai kepada zaman modern dewasa ini, walaupun bentuk dan isinya tidak sama, dan pada setiap zaman itu terdapat pula sementara orang yang tidak mengakui.[3]
Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama ajau keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.
Berdasarkan uraian di atas, konsep hubungan negara dan agama sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat memengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia. Berikut diuraikan beberapa contoh perbedaan konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran atau paham.
2.1.a. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham-Paham, yaitu:
1. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Teokrasi
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekuler
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme
4. Hubungan Agama dan Negara menurut Islam.
1. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekuler
Selain paham teokrasi, terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler, tidak dapat disatukan.[4]
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme
Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.
4. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous a au ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.[5]
2.1.b. Kebijakan Politik Tentang Agama
Di masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno ingin memisahkan agama dan negara. Agama harus berdiri sendiri, dan negara tidak usah dikaitkan dengan negara. Pendapat Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Mustofa Kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekulerisasinya. Meskipun demikian, pemerintahan Soekarno, seperti yang dilihat, bagaimanapun tetap mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Menurut Faisal Ismail (1999 : 35-36) Soekarno tidak ingin memisahkan secara radikal antara negara dan agama, karena agama dalam pandangan politiknya tetap mempunyai peran dalam negara.
Di masa Orde Lama terjadi perdebatan yang amat tajam antara Soekarno, yang manamakan dirinya sebagai kelompok nasionalis, dan kelompok M. Natsir, yang menyebut dirinya sebagai modernis. Kelompok Natsir berpendapat, bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara harus menjalankan nilai-nilai agama. Negara dapat berbentuk apa saja, tapi nilai-nilai agama harus dijalankan di dalamnya.
Di masa pemerintahan Orde Baru, hubungan agama dan negara mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan yang cukup signifikan. Pada mulanya pemerintah menaruh kecurigaan-kecurigaan terhadap Islam. Ini timbul, menurut Masykuri Abdillah (1999: 43-44), karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan politisasi Islam dan kemampuannya menggerakkan massa, yang dalam waktu singkat dapat melawan mereka. Ini juga disebabkan karena kelompok militer yang mendukung pemerintahan Orde Baru banyak berasal dari kelompok abangan dan priyayi (aristokrat dan birokrat Jawa). Pola semacam ini, menurut Abdul Aziz Thaba (1996: 240-243) disebut hubungan bersifat antagonistik.
Sebagai rangkuman dari apa yang dipaparkan di atas, gambaran Syafi'i Anwar (1995: ix-xi) berikut ini dapat membantu kita memahami lebih sistematis tentang hubungan agama negara. Format hubungan Islam dan birokrasi Orde Baru dalam kurun waktu 1966-1993 mengalami tiga periodisasi. Periode pertama, periode awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan hegemonik antara Islam dan pemerintah Orde Baru.
Periode kedua, masih menurut Syafi'i Anwar, adalah periode 1980-an, di mana hubungan antara Islam dan birokrasi bersifat resiprokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Soal politik, misalnya diselesaikan bersama dan diharapkan dapat mempertemukan kepentingan masing-masing.
Periode ketiga adalah dekade 1990-an, berkat artikulasi dan peranan cendikiawan muslim, hubungan antara Islam dan Orde Baru berkembang menjadi saling akomodatif.[6]
Pengertian keimanan atau akidah itu tersusun dari enam perkara yaitu:
1.Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat dengan nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Juga ma’rifat dengan bukti-bukti wujud atau ada-Nya serta kenyataan sifat keagungan-Nya dalam alam semesta atau di dunia ini.
2.Ma’rifat dengan alam yang ada dibalik alam semesta ini, yakni alam yang tidak dapat dilihat. Demikian pula kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya yakni yang berbentuk malaikat, juga kekuatan-kekuatan jahat yang berbentuk iblis dan sekalian tentaranya dari golongan syaithan. Selain itu juga ma’rifat dengan apa yang ada di dalam alam yang lain lagi seperti jin dan ruh.
3.Ma’rifat dengan kitab-kitab Allah Ta’ala yang diturunkan oleh-Nya kepada para rasul. Kepentingsnnya ialah dijadikan sebagai batas untuk mengetahui antara yang hak dan batil, yang baik dan yang jelek, yang halal dan yang haram, juga antara yang bagus dan yang buruk.
4.Ma’rifat dengan nabi-nabi serta rasul-rasul Allah Ta’ala yang dipilih oleh-Nya untuk menjadi pembimbing seluruh makhluk guna menuju kepada yang hak.
5.Ma,rifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disaat itu seperti kebangkitan dari kubur (hidup lagi sesudah mati), memperoleh balasan, pahala atau siksa, surge atau neraka.
6.Ma,rifat kepada takdir (qadha’ dan qadar) yang di atas landasannya itulah berjalannya peraturan segala yang ada di alam semesta ini, baik dalam penciptaan atau cara mengaturnya.
Inilah yang merupakan pengertian pokok dalam keimanan, yakni akidah yang untuk menyiarkannya itulah Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitab suci-Nya, mengutus semua Rawsul-Nya dan dijadikan sebagai wasiat-Nya baik untuk golongan awwalin (orarng-orang dahulu) dan golongan akhirin (orang-orang belakangan).
Itulah akidah yang merupakan kesatuan yang tidak akan berubah-ubah karena pergantian zaman atau tempat tidak pula berganti-ganti karena perbedaan golongan atau masyarakat.[1]
Kata aqidah telah melalui tiga tahap perkembangan makna:
Tahap pertama, aqidah diartikan dengan:
1.Tekad yang bulat (al-‘Azm al-Muakkad)
2.Mengumpulkan (al-Jam’u)
3.Niat (an-Niyah)
4.Menguatkan perjanjian (at-Tauysiq Lil ‘Uqud)
5.Sesuatu yang diyakini dan dianut oleh manusia, baik itu benar atau batil. (Maa Yadiinu Bihi al-Insan Sawa’un Kaana Haqqan au Bathilan).
Tahap kedua, perbuatan hati. Di snilah aqidah mulai diartikan sebagai perbuatan hati sang hamba. Makna ini lebih sempit dari tahap sebelumnya. Dari sni kemudian aqidah didefinisikan sebagai “keimaan yang tidak mengandung kontra”. Makna ini dianggap sebnagai makna yang syar’i.
·Kata iman disini, berarti pembenaran.
·Kata “tidak mengandung kontra” berarti tidak ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba, tidak ada selain bahwa ia beriman kepada-Nya. Maka semua asumsi akan adanya kontra seperti keraguan, dugaan, waham, ketidaktahuan, kesalahan, kelupaan, tidak termasuk dalam batasan ini. Makna inilah yang secara aplikatif berlaku pada tiga zaman paling utama; sahabat, tabi’in, dan tabi’uttabi’in.
Tahap ketiga, di sini aqidah telah memasuki masa kematangan di mana ia telah terstruktur sebagai disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan tersendiri. Inilah tahap kemapanan di mana aqidah didefinisikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syariat dalam bidang aqidah yang diambil dari dalil-dalil yaqiniah (mutlak) dan menolak subhat dan dalil-dalil khilafiyah yang cacat”.[2]
Aqidah adalah masalah fundamental dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah atau menunjukan kualitas iman yang ia miliki. Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Manusia hidup atas dasar kepercayaannya. Tinggi rendahnya nilai kepercayaan memberikan corak ikepada kehidupan. Atau dengan kata lain, tinggi rendahnya nilai kehidupan manusia tergantung kepada kepercayaan yang dimilikinya. Sebab itulah kehidupan pertama dalam Isalam dimulai dengan iman.
Ajaran tentang kepercayaan dalam Islam mudah dimengerti dan sesuai dengan segala tingakatan intelek manusia, dari kaum awam sampai ke tingkat kaun sarjana, dan dari kaum buta huruf sampai kepada guru besar. Begitulah watak doktrin Islam! Yang demikian menyebabkan Nabi Muhammad saw. Cepat memperoleh pengikut yang banyak, manusia pada meninggalkan kepercayaannya yang lama yang tidak rasionil, menggantinya dengan kepercayaan Islam yang rasionil, karena cocok dengan fitrahnya. Tidak mengherankan, kalau Nabi hanya cukup 23 tahun berjuang dalam hidupnya menyeru manusia, sehingga boleh dikatakan seluruh jazirah Arabiah ketika itu telah memeluk keyakinan Islam secara suka rela.[3]
B.Akidah dan Perubahan
Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin, hal.127, th. 88)
Aqidah Islam telah behasil menghadirkan tonggak-tonggak masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Tonggak-tonggak itu adalah: (1) Kebebasan jiwa; (2) Persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) Aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar; dan (4) Solidaritas sosial yang kuat. Tanpa keempat tonggak itu mustahil tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kesejahateraan pada sebuah mansyarakat. Secara konsepsional dan empiris, keempat tonggak itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, kebebasan jiwa. Tidak akan terjalin interaksi harmonis antar anggota masyarakat tanpa kebebasan jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam keadaan jiwa terikat, dihantui ketakutan, atau terbelenggu dengan perbudakan oleh sesama manusia, mustahil ada hubungan harmonis itu. Yang akan lahir adalah justeru perilaku-perilaku semu dan sikap-sikap terpaksa. Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat hanya akan merupakan kumpulan keluhan dan daftar kesengsaraan. Yang kuat akan menjadi penguasa. Dan yang lemah akan menjadi budak pengabdi, tanpa punya pilihan. Dan adalah kondisi paling berbahaya dalam kehidupan jika antar manusia diciptakan hubungan tuhan-hamba.
Dan kemerdekaan jiwa itu hanya dilahirkan dari aqidah yang benar. Penanaman kebebasan jiwa dilakukan oleh Islam dengan menegaskan bahwa manusia harus terbebas dari peribadatan, pengabdian, kepatuhan dan loyalitas kepada selain Allah; bahwa tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan selain Allah; bahwa sumber rezeki dan yang menentukan kepada siapa rezeki itu diberikan hanyalah Allah; serta, bahwa hanya Allah pula yang memberikan keselamatan dan bahaya (mudharat).
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". (Yunus: 31)
[689] sebagian Mufassirin memberi misal untuk ayat Ini dengan mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.
Dengan demikian aqidah Islam adalah motivator dan orang beriman adalah pelopor perlawanan terhadap segala upaya mempertuhankan manusia oleh sesama manusia. Sebab hal itu bertentangan secara diametral dengan pembebasan jiwa manusia. “Maka itulah Allah Rabb kamu yang benar. Maka tiadalah setelah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32). Dan salah satu butir Piagam Madinah –sebuah kesepakatan antara kaum muslimin dengan penduduk Madinah– adalah “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan”. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 64.
Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Kedua, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Di atas tonggak pertama itu dibangunlah tonggak berikutnya: persamaan kemanusian yang sempurna. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian (terdiri) dari laki-laki dan wanita; dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al-Hujurat: 15). Ayat ini menegaskan bahwa terhormat dan terhinanya manusia tidak dibedakan berdasarkan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, kekayaan, jabatan, dan ukuran-ukuran picik lainnya.
Rasulullah saw., saat melakukan haji wada’ (pamungkas) menegaskan pula, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram (untuk dilanggar) oleh kalian, kecuali dengan hak Islam. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab dan tidak keutamaan bagi non-Arab atas orang Arab; tidak ada keutamaan bagi orang berkulit putih atas kulit hitam dan tidak pula orang berkulit merah atas kulit putih, melainkan dengan taqwa. Kalian semua berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasal dari tanah.”
Manakala penghargaan kepada seseorang diberikan berdasarkan prestasinya dalam kebaikan dan kebenaran dan bukan didasarkan pada asal-usul, ras atau sukunya, ini pertanda baik. Sebab hal itu akan melahirkan suasana yang kondusif bagi terwujudnya persaingan sehat antar warga masyarakat. Setiap orang, tanpa dibedakan oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat taqdir –seperti warna kulit dan kebangsaan– mempunyai peluang yang sama besar untuk membaktikan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Sayyid Quthb menegaskan, “Islam bersih dari fanatisme suku dan ras; dan persamaan derajat yang diciptakannya sudah sampai pada tingkatan yang selama ini belum pernah dicapai oleh peradaban Barat, sampai detik ini sekalipun; sebuah peradaban yang memberi justifikasi kepada bangsa Amerika untuk memusnahkan bangsa Indian berkulit merah melalui penumpasan terencana, di depan mata dan telinga dunia internasional; yang memberi justifikasi kepada penguasa Afrika Selatan untuk menindas orang kulit hitam melalui undang-undang rasialis; dan memberi justifikasi pula kepada penguasa Rusia, China, dan India untuk menumpas kaum Muslimin di wilayah mereka.”
Ketiga, aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Masyarakat yang dilandasi aqidah Islam akan sangat peduli tentang nasib lingkungannya. Karenanya, mereka selalu melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan demikian setiap anggota masyarakat secara otomatis menjadi pengontrol terhadap perjalanan kehidupan masyarakatnya dan pemerintahannya. “Dan orang-orang beriman itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong (pemimpin) bagi sebagian lain; mereka menyuruh melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)
Cukuplah menjadi alasan datangnya bencana dari Allah jika sebuah masyarakat telah tercerabut kepeduliannya terhadap perilaku anggota masyarakatnya; jika mereka lebih memilih selamat diri sendiri daripada melakukan koreksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya; jika mereka takut untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah adalah salah. Dan bencana yang kini menimpa negeri tercinta ini pun tidak lepas dari adanya kelalaian untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu. Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat Yang diriku ada di tangan-Nya, perintahlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian memohon kepada-Nya dan tidak dikabulkan.” (Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi)
Keempat, solidaritas sosial yang kuat. Ajaran keimanan yang diterima oleh umat beriman menetapkan bahwa berbuat baik kepada sesama manusia adalah syarat kesempurnaan iman. Misalnya saja, di antara tuntutan iman itu: tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan, tidak buruk sangka, tidak memata-matai kesalahan orang lain, dan tidak menggibah (menggunjing). Lihat surat Al-Hujurat ayat 11-12.[4]
C.Pengertian Dakwah
Dakwah artinya seruan, ajakan atau panggilan. Mendakwahkan suatu keyakinan artinya mempropagandakan sesuatu keyakinan. Dakwah Islamiyah artinya menyampaikna seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia, agar menerima dan mempercayai dan pandangan hidup Islam. Berdakwah artinya mempropagandakan suatu keyakinan, menyerukan suatu pandangan hidup, Iman dan Agama. Mendakwahkan keyakinan Islam, menyerukan Iman dan kepercayaan Agama, tidak boleh dengan jalan paksaan atau kekerasan, atau dengan tekanan kekuasaan.
Islam adalah agama dakwah, dan mempertahankan kebebasan berakwah itu secara konsekuen. Sengketa berdarah atau kebolehan perang dalam Islam yag kit abaca dalam sejarah, menjadi bukti yang jelas bahwa hak kebebasan berdakwah tidak boleh diganggi atau dirintangi, malah wajib dijamin atau dilindungi.
Sifat dan hakikat kebolehan perang dalam Islam adalah membela dan mempertahankan diri. Ucapan yang mengatakan bahwa Islam dikembangkan dengan pedang dan perang adalah semata-mata hasutan kaum imperialis, musuh Islam. Pedang dan perang dalam Islam hanyalah sekedar membela dan mempertahankan diri, tatkala dakwah Islamiyah telah mendapat serangan dan rintangan.
Bangsa dan Negara yang beradab dan beeradat, harus menjamin kebebasan hidup berdakwah kepada setiap agama, setiap keyakinan dan kepercayaan. Setiap Negara demokrasi mencantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya kebebasan hidup beragama dan kebebasan mendakwahkan agama itu. Itulah yang dinamakan hak-hak asasi manusia.
Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti republic Indonesia, bertindak lebih maju lagi. Dasar Ketuhanan itu sendiri telah member arah, bahwa dalam Negara ini agama Ketuhanan bukan saja mendapat perlindungan, tetapi harus mendapat bantuan, dan propaganda atau keyakinan anti Ketuhanan logis tidak mendapat tempat, tidak mendapat bidang dan ruang.[5]
D.Hakikat Dakwah
Bahwa diantara hakikat dakwah Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah dalam rangka mewujudkan kesejahtaraan umat baik di dunia dan di akhirat, dengan bermanhajkan Islam, berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah. Dan tentunya, selain mewujudkan itu, bahwa hakikat dakwah juga ingin memberikan kontribusi perbaikan; terutama pada tiga pokok penting, yaitu:
1. Menyeru kepada manusia seluruhnya dan umat Islam secara khusus untuk berserah diri (beribadah) secara total kepada Allah SWT Yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan tidak menjadikan selain Allah sebagai sesembahan.
2. Menyeru kepada mereka yang telah beriman kepada Allah untuk selalu ikhlas dalam berbuat, dan selalu membersihkan diri dari segala kotoran dzahir dan bathin serta dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Menyeru kepada manusia untuk melakukan revolusi menyeluruh terhadap sistem dan rezim pemerintahan konvensional yang bathil yang selalu melakukan kedzaliman dan kerusakan di muka bumi ini, melepas diri mereka dari belenggu monotheisme ideologi dan praktek-praktek yang menjurus pada perbuatan dosa dan keji, untuk selanjutnya diserahkan kapada hamba Allah yang salih dan yang beriman kepada Allah dengan ikhlas dan kepada hari akhir, serta berpegang teguh kepada agama yang benar dan tidak berbuat sombong dan dzalim.
Tiga hakikat diatasn merupakan prinsip yang sangat gamblang dan terang seterang sinar mentari di siang bolong. Namun ironisnya cahaya ini lambat laun meredup, hakikat kebenarannya telah terhijab seiring dengan menjamurnya kebodohan, kejumudan dan keterbelakangan, hingga akhirnya umat Islam membutuhkan kembali akan pencerahan dan sentuhan Islam nan agung, baik dari segi visi dan misinya, yang tentunya akan memperlambat jalannya da’wah untuk kalangan non muslim dan kepada mereka yang belum tersentuh akan cahaya dan hidayah Islam.
Sesungguhnya penghambaan diri kepada Yang Maha Esa yang selalu diserukan oleh Islam, bukan sekedar mengajak mereka untuk beribadah dan menghambakan diri kepada Allah SWT, namun di luar itu, mereka juga diseru untuk merasa bebas dan lepas dari ikatan selain Islam seperti yang pernah dilakukan oleh umat jahiliyah dahulu. Dan tidak menyeru mereka untuk hanya mengakui bahwa Allah SWT Pencipta alam semesta ini, Pemberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia patut disembah tanpa mengakui-Nya dan menjadikan-Nya sebagai Penguasa kehidupan dari segala permasalahan yang ada di muka bumi ini. Kita ketahui bahwa kehidupan dunia dan problematikanya terbagi pada dua bagian penting :
1. Kehidupan yang berhubungan dengan agama.
2. Kehidupan yang bukan saja terbatas pada hubungan agama namun juga meliputi kehidupan dunia dan segala permasalahannya.
Dan seorang muslim pada bagian pertama dituntut untuk mengabdikan dirinya kepada Allah semata yang melingkupi segi aqidah, ibadah dan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan kehidupan individu dan problematikanya.
Adapun pada bagian kedua mencakup pada kehidupan duniawi dan cabang-cabangnya seperti pembangunan, kehidupan politik, sosial, akhlak, dan lain-lain yang pada kebanyakan orang menganggapnya tidak memiliki hubungan dengan Allah dan hukum-hukum-Nya, sehingga mereka bisa berbuat semaunya dan sekehendaknya, tanpa mengindahkan hukum dan syariat Allah, membuat undang-undang atau hukum yang bertentangan dengan syariat Allah. Persepsi ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Namun bagi para aktivis da’wah di negeri ini –dan tentunya yang berada diseluruh penjuru dunia, karena memang agama Islam adalah satu, tidak ada perbedaan sedikitpun, Kitabnya satu yaitu Al-Quran, yang tidak ada kebatilan sedikitpun, baik di hadapan dan di belakangnya- menganggap bahwa persepsi mereka adalah salah dan menyimpang dari ajaran Islam, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya, karena pengertian ubudiyah secara parsial akan mengaburkan keabsahan dan kemurnian ajaran Islam dan menghilangkan ideologi Islam yang benar.
Adapun pendapat dan keyakinan kami adalah seperti yang akan selalu kami serukan kepada seluruh umat manusia dimuka bumi ini; bahwa ubudiyah kepada Allah yang telah dibawa dan diserukan oleh nabi Adam AS hingga Rasulullah SAW adalah peng-ikraran diri bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT, tempat bergantung semua makhluk, pembuat keputusan/undang-undang (hakim), Dzat yang wajib ditaati, Pemilik dan Pengatur segala urusan makhluk-Nya, Maha mengetahui segala perkara mereka, baik yang tersembunyi maupun yang tampak, Yang berhak memberikan ganjaran setiap amal dan perbuatan hamba, sehingga para makhluk-Nya patut tunduk dan meyerahkan diri kepada-Nya, ikhlas dalam menganut ajaran-Nya, tunduk terhadap kebesaran-Nya, segala urusan dan perkaranya diserahkan kepada-Nya, baik individu ataupun sosial, yang berkaitan dengan akhlak, politik, ekonomi, maupun sosial. Sebagaimana yang tertera dalam perintah Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian kedalam agama Islam secara totalitas”. (QS 2 : 208)
Yaitu perintah untuk memeluk agama Islam secara kaffah (totalitas), dengan seluruh kehidupan, tidak melakukan bantahan sedikitpun, dan tidak menduakan Kekuasaan dan Kerajaan Allah pada makhluk lainnya. Tidak menganggap bahwa ada sisi kehidupan yang terlepas dari pantauan Allah sehingga bisa bebas berbuat dan membuat undang-undang sekendaknya, atau memilih dan mengekor pada sistem dan undang-undang atau hukum konvensional yang bathil sekehandaknya.
Inilah maksud dari pengertian ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah yang hendak kami sosialisasikan dan kami syiarkan dan da’wahkan kepada seluruh umat manusia, kaum muslimin dan umat lainnya, sehingga mereka mau beriman dan mengakui akan kekuasaan Allah dan tunduk kepada-Nya.
“Kami menginginkan kepada mereka yang mengaku dirinya beriman kepada islam dan berpegang teguh kepada iman, untuk selalu mentazkiyah (mensucikan) dirinya dari sifat kemunafikan dan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam”.
Maksud nifaq disini adalah mengaku dirinya beriman kepada sistem tertentu dan loyal kepadanya, berpegang teguh kepada prinsip-prinsipnya, namun pada sisi lain dia merasa tenang dan rela denga sistem yang bertentangan dengan yang semula diyakini. Dan tidak berusaha atau bersungguh-sungguh untuk merubah sistem tersebut kepada yang lebih baik, dengan mengerahkan tenaga dan potensi yang dimiliki guna menghancurkan segala sistem kebatilan hingga keakar-akarnya, atau adanya kebatilan yang ada dtengah-tengah masyarakatnya namun dia merasa hidup tenang dan tentram tanpa ada usaha sedikitpun memperbaikinya.
Sikap diatas merupakan contoh orang munafik, karena pada satu sisi beriman kepada suatu sistem, namun pada sisi lain merasa tenang terhadap kemungkaran dan kebatilan yang terjadi. Padahal diantara tuntutan keimanan adalah memiliki keinginan yang kuat dalam sanubarinya untuk menegakkan kalimatullah (agama Allah) dan menjadikan agama dan segala urusannya hanya untuk Allah SWT, memberantas segala kekuasaan yang bertentangan dengan Islam, dan siap mengemban amanah da’wah Islam untuk disebarkan kepada segenap manusia, hatinya tidak merasa tenang dan tentram jika agamanya dilecehkan orang.[6]
Hakikat dakwah di atas sangat jelas bahwasanya dakwah itu sangat berkaitan dengan akidah. Dakwah mampu meminimalisir kehancuran akidah pada masa kini. Banyak manusia yang lupa siapa ia sebenarnya, ia lupa siapa yang menciptakannya. Mungkin mereka bisa mengatakan mereka masih beriman, tapi apa gunanya jika iman namun tidak percaya. Bukankah pengertian iman sendiri ialah percaya dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mewujudkannya dengan perbuatan. Jika faktanya seperti ini maka sangat tepat sekali istilah Islam KTP untuk bersandar terhadap kebanyakan manusia zaman sekarang.
Dalam pada itu, dakwah sangat dibutuhkan untuk meluruskan akidah. Telah banyak akidah-akidah yang menyimpang dari ajaran Rasulullah. Percaya kepada Allah, namun juga percaya terhadap Tuhan yang lain. Kepercayaan seperti ini perlu diluruskan bahwasanya hanya Allah lah yang memang benar-benar Tuhan yang mampu menjadi penolong setiap manusia.
Untuk lebih jelasnya berikut akan dipaparkan bagaimana keutamaan dakwah Ilallah dalam sisi akidah.
E.Keutamaan Dakwah Ilallah
Keutamaan dakwah ilallah amatlah banyak, tersebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, diantaranya :
a. Dakwah merupakan salah satu ciri yang hakiki bagi siapa saja yang mengaku mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnul Qoyyim berkata, “Mengenai ayat, ‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku berada di atas bashirah’, dijelaskan oleh para ulama bahwasanya “orang-orang yang mengikutiku” diathafkan (istilah nahwu yang bermakna menghubungkan dengan kata sambung “dan”, menunjukkan kesetaraan -pent) secara marfu’ dengan maksud, yaitu aku berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah, begitu pula dengan orang-orang yang mengikutiku, mereka juga berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah. Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mengikuti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ialah para da’i yang menyeru kepada Allah di atas bashirah. Maka barangsiapa yang tidak termasuk diantara mereka, ia bukanlah pengikut Nabi secara hakiki, melainkan hanya sebatas penyandaran dan pengakuan belaka.”
b. Allah Ta’ala memuji para da’i yang menyeru kepada kebaikan, dengan istilah tidak ada perkataan yang paling baik dari perkataan mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, “Maka para da’i tersebut memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukanlah termasuk golongan ini orang-orang yang menyeru kepada yang ma’ruf akan tetapi tidak mengerjakannya, atau mencegah dari yang munkar akan tetapi ia sendiri mengerjakannya. Akan tetapi mereka menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, menyeru al khalqu (makhluq) kepada al khaaliqu (penciptanya) tabaraka wa ta’ala. Seruan ini umum mencakup siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, dan memberikan petunjuk kepada orang lain.
Beliau rahimahullah kembali menjelaskan, “Berkata Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Al Hasan Al Bashri, bahwa beliau membaca ayat tersebut kemudian berkata, “Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai, Allah telah menerima dakwah mereka, dan mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, dan mereka beramal shalih, dan berkata ‘Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang muslimin’, inilah khalifah Allah”
c. Orang-orang yang berdakwah kepada Allah, mereka adalah golongan yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan di hari ketika manusia berkumpul dalam keadaan ada yang bahagia dan ada yang sedih. Allah Ta’ala berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr :1-3).
Maka orang-orang yang beruntung ialah mereka yang beriman kepada Allah baik sebagai Rabb Pencipta alam semesta, maupun sebagai Ilah yang berhak diibadahi semata, dan beramal shalih yaitu amal yang dikerjakan ikhlas karena Allah semata, dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bersegera dalam menyempurnakan dan memperbaiki orang lain dengan menyeru manusia kepada al haq, yaitu setiap yang disyariatkan oleh Allah, kemudian bersabar di atas al haq tersebut, baik bersabar ketika mengerjakan ketaatan, bersabar dalam menjauhi keburukan, dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Kebalikan dari golongan yang beruntung adalah yang merugi, diantara mereka terdapat golongan yang merugi secara mutlaq, yaitu orang kafir, dan ada pula orang-orang yang tingkat kerugiannya berada di bawahnya yaitu orang-orang yang bertauhid namun bermaksiat. Mereka akan diadzab sesuai dengan kadar kemaksiatan yang mereka perbuat. Tidak ada khilaf dalam masalah ini selain golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah. (mohon Ustadz tambahkan penjelasan tentang pandangan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah dalam masalah ini)
d. Pahala dakwah ilallah akan memberi manfaat yang terus menerus, selama Allah berkehendak, dan tidak terputus dengan kematian sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, “Jika manusia mati terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim). Maka ilmu yang disebarkan oleh seorang da’i dalam rangka menyeru kepada Allah, baik melalui majelis ta’lim, atau ketika bergaul dengan manusia, pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat kelak.
e. Allah Ta’ala menjadikan seluruh makhluq di langit dan bumi, semuanya memohonkan ampun bagi para da’i ilallah, sampai ikan-ikan di lautan sekalipun. Inilah ganjaran atas amalan mereka menyebarkan ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, hingga ikan-ikan di lautan turut memohonkan ampun bagi mereka”
f. Allah Ta’ala menetapkan pahala bagi para da’i ilallah, pahala yang besarnya semisal dengan mereka yang meneladani para da’i tersebut dalam kebaikan, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memelopori suatu kebaikan (yang telah ada contohnya dari Nabi -pent) dalam Islam, baginya pahala semisal dengan orang yang melakukannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diperoleh orang yang melakukan tersebut”. Dalam hadits lainnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan baginya pahala yang semisal dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut”.[7]
F. Tanggung Jawab Umat Islam Dalam Dakwah
Jika seorang Muslim dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu antara permasalahan dirinya sendiri dengan permasalahan umat, maka sudah seharusnya ia mendahulukan permasalahan yang dihadapi oleh umat. Sikap mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya pribadi merupakan sikap mulia dan termasuk ke dalam bentuk pemikiran yang bernilai tinggi. Sedemikian besar perhatian Islam terhadap permasalahan umat, Islam sampai menggolongkan orang yang tidak peduli dengan permasalahan umat sebagai orang yang tidak berguna, dan tidak tergolong ke dalam kelompok umat Muhammad. Rasulullah Saw:
Siapa saja yang bangun pagi, sementara ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka ia tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidaklah termasuk golongan mereka. [HR. ath-Thabrani dari Abu Dzar al-Ghifari].
Islam tidak pernah membiarkan salah seorang dari para penganutnya bebas dari tanggung jawab. Sebaliknya, Islam memberikan kepada mereka beban tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia, jika ia telah mencapai status akil balig. Rasulullah Saw bersabda:
Ketahuilah, bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas kepemim-pinannya. Seorang pria (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang wanita (istri) adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pelayan/hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas kepe-mimpinannya. Ketahuilah, bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kepemim-pinannya. [HR. al-Bukhari Muslim].
Tanggung jawab semacam ini, bisa semakin luas bisa pula semakin sempit, sesuai dengan kondisi yang dibebankan kepadanya. Jika orang yang menerima hukum taklif (beban hukum) dapat melakukannya sendiri, misalnya beban untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya, atau memberi makan kepada tetangganya yang kelaparan, atau menolong orang-orang yang menderita; maka beban tersebut menjadi tanggung jawab individu. Sebab, lingkup aktivitasnya masih dalam jangkauan kemampuan seseorang untuk berbuat.
Tanggung Jawab Individu, Umat, Dan Negara
Namun demikian, jika seorang individu tidak dapat menjalankannya, kecuali bersama-sama dengan jamaah kaum Muslim, atau hukum Islam telah membebankan suatu perkara kepada jamaah —misalnya saja mengemban dakwah Islam untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dalam rangka menerapkan syariat Islam, atau melakukan koreksi (muhâsabah) terhadap penguasa, atau melaksanakan jihad fi sabilillah— dalam keadaan seperti ini, cakupan tanggung jawabnya meluas hingga harus dipikul oleh jamaah kaum Muslim, atau oleh institusi negara (Khilafah Islamiyah).
Sebagian besar dari beban hukum yang telah diberikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya kepada kaum Muslim tidaklah merupakan tanggung jawab seorang individu Muslim. Bahkan, sebagian besar sistem hukum Islam —dalam hal pelaksanaan praktisnya— dibebankan kepada negara sebagai pihak yang mengatur, memelihara, dan menjaga umat dalam menjalankan sistem hukum Islam. Siapa yang mampu mengatur pelaksanaan sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam, sistem militer Islam, sistem pendidikan Islam, sistem politik luar negeri Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem peradilan Islam, dan sejenisnya? Tentu bukan individu Muslim, melainkan negara (penguasa dan seluruh staf pemerintahannya).
Oleh karena itu, tanggung jawab dalam menerapkan sistem hukum Islam menjadi tanggung jawab jamaah (yaitu seluruh kaum Muslim dan penguasa), bukan tanggung jawab individu. Demikian pula dengan kewajiban kaum Muslim untuk mengemban dakwah Islam. Kewajiban ini bukan saja harus dijalankan oleh seorang individu Muslim, melainkan oleh seluruh kaum Muslim, termasuk negara (penguasa). Kewajiban ini sama-sama menimpa seorang Muslim yang faqih maupun yang awam, perempuan maupun lelaki, individu maupun masyarakat dan negara.
Sasaran beban dakwah yang bukan hanya mencakup tanggung jawab individu tetapi juga menjadi ranaggung jawab jamaah dan bahkan negara (penguasa), sangat tampak dalam nash-nash berikut ini:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk golongan kaum Muslim”?(Qs. Fushshilat [41]: 33).
Ayat di atas ditujukan kepada individu Muslim, siapa pun orangnya, untuk menjalankan aktivitas dakwah Islam.
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang mengajak pada kebajikan (Islam), memerintahkan yang makruf, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali-Imraan [3]: 104).
Ayat ini ditujukan kepada sekelompok kaum Muslim —sebagai sebuah jamaah— untuk menjalankan aktivitas dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar.
Dalam suatu hadis disebutkan demikian:
Rasulullah Saw tidak pernah memerangi suatu kaum melainkan sesudah terlebih dulu menyampaikan dakwah Islam kepada mereka. [HR. Ahmad, al-Hakim, dan ath-Thabrani].
Hadis ini menjelaskan kedudukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara (penguasa) yang menjalankan aktivitas dakwah terlebih dulu (yaitu mengajak orang-orang kafir agar memeluk Islam atau bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam), sebelum —jika mereka menolak—melakukan jihad fi sabilillah untuk membuka dan mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam.
Walhasil, tanggung jawab umat Islam dalam mengemban dakwah dapat disimpulkan pada dua kondisi: (1) Jika kaum Muslim telah menjalankan sistem hukum Islam dan Daulah Islam telah berdiri berdasarkan akidah Islam, maka mereka wajib menyampaikan dakwah Islam kepada orang-orang kafir yang ada di berbagai negara. (2) Jika kaum Muslim belum dapat menjalankan sistem hukum Islam secara total, dan Daulah Islam belum tegak, maka kewajiban yang utama atas kaum Muslim adalah mengemban dakwah Islam dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam yang telah lenyap, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islam yang berdiri berasaskan akidah Islam dan yang akan menerapkan sistem hukum Islam secara total.
Bahaya yang Mengancam Eksistensi Kaum Muslim
Saat ini, kaum Muslim berada dalam lingkungan masyarakat yang menganut berbagai pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran Islam. Bahaya-bahaya yang mengancam tubuh kaum Muslim berasal dari luar (eksternal) maupun berasal dari dalam (internal) kaum Muslim. Bahaya-bahaya itu antara lain:
Bahaya eksternal, mencakup: (1) Berkembangnya pemikiran-pemikiran yang berasal dari peradaban Barat yang menekankan doktrin pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). (2) Pemikiran Komunisme atau Sosialisme yang menolak adanya unsur agama dan mengatakan bahwa agama adalah candu yang membahayakan masyarakat. (3) Pemikiran-pemikiran lain yang membahayakan aqidah Islam dan syariatnya yang berasal dari Barat seperti: nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, dan yang sejenisnya.
Bahaya internal, mencakup muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan penghancur seperti Ahmadiyah, Baha’iyah, aliran kebatinan, inkarus sunnah, freemasonry, ideologi Dunia Ketiga (yang dikembangkan oleh Khadafi di Libia), dan sejenisnya.
Semua itu muncul sebagai akibat dari serangan pemikiran (ghazw al-fikr) yang dilontarkan oleh Dunia Barat yang kafir kepada kaum Muslim. Di samping itu, serangan-serangan dalam wujud manuver politik, ekonomi, hingga militer terus melanda negeri-negeri kaum Muslim hingga saat ini; tanpa bisa dibendung lagi oleh kaum Muslim. Selain itu, identitas kaum Muslim yang memiliki standar pemikiran yang mengacu pada akidahnya yang jernih dan syariatnya yang agung lambat laun sirna; peranannya digantikan oleh akal, faktor kemaslahatan, adat istiadat, tradisi, bahkan hawa nafsu semata. Mereka tidak lagi menjadikan halal-haram sebagai tolok ukurnya.
Jika hal ini dibiarkan, sementara kaum Muslim melepas tanggung jawabnya dan tidak peduli dengan kondisi yang melanda mereka, maka kehancuran umat ini hanya soal waktu.
Tanggung Jawab Kaum Muslim Saat Ini
Dalam rangka merealisasikan berdirinya Negara Khilafah —yang akan menjamin dilanjutkannya kembali kehidupan Islam, menerapkan seluruh sistem hukum Islam secara total, serta mengemban dakwah Islam ke luar negeri dengan jalan dakwah dan jihad— maka harus ada pertarungan pemikiran (ash-shira’ al-fikrî) untuk menghancurkan dan melenyapkan seluruh pemikiran kufur yang betolak belakang dengan akidah dan syariat Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim dapat menemukan kembali pemikiran-pemikiran Islam yang mampu mengatasi seluruh problematika kehidupan manusia, sekaligus mencampakkan seluruh bentuk pemikiran kufur yang bertentangan dengan Islam dan nyata-nyata telah menjadi standar sebagian besar kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertarungan pemikiran dilakukan dengan cara mengungkap kerusakan, kekeliruan, kelemahan, dan ketidakberdayaan pemikiran-pemikiran kufur tersebut, yang memang tidak layak dijadikan tolok ukur bagi kaum Muslim dalam menyelesaikan problematika kehidupannya. Dalam waktu yang sama, harus dijelaskan keagungan pemikiran Islam, terutama sebagai pemikiran praktis yang layak dijadikan satu-satunya tolok ukur bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, hal ini membutuhkan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) yang sungguh-sungguh dari segenap kaum Muslim. Dengan itu, tujuan utamanya, yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam, dapat tercapai. Perjuangan politik tersebut dilakukan dengan jalan:
1. Membeberkan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara imperialis, termasuk tindakan-tindakan kriminal dan persekongkolan jahat mereka terhadap kaum Muslim.
2. Menjelaskan berbagai bahaya kecurangan politik yang diterapkan secara paksa atas negeri-negeri kaum Muslim.
3. Mengungkap hakikat oknum-oknum penguasa yang menjadi antek-antek musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
4. Menjelaskan hakikat tokoh-tokoh politik yang menentang Islam dan bersikap munafik, baik yang berasal dari kalangan partai-partai politik, pejabat pemerintah, ataupun intelektual Muslim yang selalu menyesatkan kaum Muslim, memutarbalikkan fakta, dan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan.
5. Menjatuhkan martabat kepemimpinan beserta pribadi para tokoh yang aktivitasnya hanya menyesatkan umat Islam.
Dalam menjalankan aktivitas pergulatan pemikiran dan perjuangan politik ini (ash-shirâ’ al-fikrî wa al-kifâh as-siyâsî) ini, kaum Muslim tidak diperkenankan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam dan seluruh kaki tangan mereka. Allah SWT telah melarang Rasulullah Saw bersikap lunak dan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam. Allah SWT berfirman:
Janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula) kepadamu. (Qs. al-Qalam [68]: 8-9).
Perjuangan politik harus terus dilakukan sampai para penguasa bersedia tunduk kepada Islam, sekaligu rela meningalkan kezaliman, pengkhianatan, dan persekongkolan dengan musuh-musuh Islam. Aktivitas perjuangan politik ini harus terus dilakukan meskipun menghadapi berbagai tantangan, kesulitan, dan bahaya yang bisa mengorbankan harta maupun jiwa.
Tanpa kesadaran politik, pertarungan pemikiran, dan perjuangan politik, maka para pengemban dakwah Islam tidak akan menyadari problematika umat yang sebenarnya. Artinya, mereka tidak akan menjumpai jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Mereka juga pasti tidak akan mampu mengatur dan memelihara urusan-urusan umat, jika —pada suatu saat— roda pemerintahan dialihkan dan diberikan kepada mereka.
Dengan demikian, selama seorang pengemban dakwah tidak berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Islamnya yang jernih serta berusaha memiliki kesadaran politik yang tinggi dengan manjalankan aktivitas pergulatan pemikiran dan perjuangan politik, maka tidak mungkin ia menjadi pemimpin umat. Ia hanya mampu menjadi seorang pengajar, khatib, syaikh, dan sejenisnya. [Majalah al-Wa'ie, No. 6][8]
Seorag penulis Perancis Athena L tak kalah giatnya mencari terobosan-terobosan baru untuk menghadapi Islam. Untuk itu ia berkata “menghadapi Islam dengan menggunakan kekuatan justru membuat agama itu semakin tersebar ke mana-mana. Cara paling efektif untuk menghancurkan Islam dan mencabut akar-akarnya ialah: mendidik anak-anak mereka di sekolahan-sekolahan Kristen, menanamkan benih-benih keraguan di dalam jiwa mereka sejak dini, sehingga tanpa terasa sebenarnya mereka digiring kepada keyakinan yang rusak. Cara seperti ini jauh kebih efektif daripada menjadikan mereka memeluk agama Kristen”. Ia juga menambahkan lagi, “mendidik wanita Islam di sekolahan untuk para birawati merupakan satu-satunya pendidikan yang paling mengena utnuk menghancurkan Islam lewat tangan pemeluknya sendiri. Mereka yang berada dalam suatu keluarga muslim dapat menciptakan permusuhan terselubung, yang tidak bisa ditundukan begitu saja oleh suaminya. Sebab wanita Islsam yang telah dijejali dengan pendidikan Kristen, mudah memengaruhi perasaan dan akidah suaminya, sehingga ia bisa menjauhkannya dari Islam dan dapat mendidik anak-anaknya bukan menurut agama kakek neneknya. Sebagaimana yang terjadi pada zaman sekarang ini, seorang ibu yang bertanggung jawab mendidik anaknya, maka dialah sarana yang paling tepat untuk menghancurkan Islam”.
Itulah yang diserukan Athena untuk menghancurkan Islam dari dalam. Cara serupa juga ditempuh oleh Snouck Hourgrounye yang berkata “untuk menghancurkan Islam, tidak ada gunanya memerangi orang-orang islam dan melindas mereka dengan mengerahkan kekuatan senjata. Tapi hal itu cukup dengan mengadakan domba antara kelompok mereka dengan kelompok yang lain dari dalam, yaitu dengan menanamkan perbedaan pendapat dan madzhab serta menanamkan ketidakpercayaan kepada pemimpinnya. Disatu pihak anak-anak mereka harus dijejali dengan paham marxisme”.[9]
Dewasa ini, dakwah memang sangat dibituhkan. Sudah banyak manusia yang melupakan akhirat dikarenakan dunia semata. Banyak yang melupakan Tuhan dikarenakan harta, ia lupa siapa yang meberinya harta di dunia. Begitu banyak kejadian-kejadian yang membuat mata terbelalak seakan menghantam akidah yang telah tertanam. Bencana Tsunami, Gunung Meletus, Banjir, dan Lumpur yang tidak pernah berhenti. Semua bergilir mengikut irama yang telah ditetapkan Allah. Siapa yang harus disalahkan, tentulah manusia itu sendiri yang semena-mena terhadap sesuatu yang ada di depannya.
Akidah bobrok, pemikiran menjadi sempit dan gairah hidup seakan hilang. Dalam buku yang berjudul “Bimbingan Spiritual 5+” Ustaz Zainal Abidin dan Imam Fathurrohman telah menuangkan dakwahnya dalam sebuah tulisan bagaimana meningkatkan gairah hidup dengan Muhasabah. Mereka berkata “muhasabah (evaluasi) menjadi komponen penting untuk mengharapkan rahmat dan keridaan Allah Swt. Dengan Muhasabah, diharapkan setiap jemaah mampu mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan sekaligus memohon ampun atas segala dosa yang telah dilakukan, baik yang dilakukan kepada Allah, orang lain, maupun diri sendiri. Jemaah yang telah disibukkan persoalan hidup akan menyadari dirinya adanya milik Allah. Jika kepasrahan itu telah dilakukan secara ikhlas, maka insya Allah, Dia akan mengganti persoalan hidup dengan solusi yang sangat indah. Kesulitan yang tengah dihadapi akan diganti dengan kemudahan, penyakit yang diderita akan disembuhkan, dan kemiskinan akan diganti dengan keberkahan”.[10]
Dari pernyataan tersebut dapat kita ambil bagaimana cara agar gairah hidup tetap bertahan dalam jiwa. Dakwah memang pantas disebut sebagai pengobat penyakit dan penenang jiwa. Memang harus diakui ada beberapa yang hanya sekedar menyampaikan namun tidak melakukan, inilah kesalahan yang ada pada diri individu. Sebelum berdakwah untuk memperbaiki akidah orang lain hendaklah memperbaiki akidahnya terlebih dahulu, asas ini sangat dituntut untuk menuju dakwah yang memang benar-benar dakwah.
G.Dakwah Islam dan Perubahan Sosial
Secara makro, eksistensi dakwah Islam senantiasa bersentuhan dan bergelut dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas social baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh system sosio-kultural. Dalam kemungkinan yang kedua ini, system dakwah dapat bersifat statis atau ada dinamika dengan kadar yang hampir tidak berarti bagi perubahan sosio-kultural.
Sepanjang sejarah Indonesia, kemungkinan-kemungkinan tersebut melekat secara silih berganti. Ketika dakwah Islam mulai menampakan Islam di Nusantara, ternyata telah dapat menciptakan realitas baru walaupun tidak mendasar dan menyeluruh. Karena hal ini berjalan bersama dengan sisa ajaran Animisme-Dinamisme dan Hindu yang sebegitu jauh telah melekat pada masyarakat Nusantara. Dalam fase ini, dakwah Islam dapat dikatakan memberikan pengaruh (out-put) terhadap lingkungan.
Perubahan social di Indonesia terus berlangsung sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Pada abad ke-XVII hingga pertengahan abad ke-XX, secara cultural masyarakat Barat modern menjadi agent of cange dan secara politis maupun cultural, Belanda menentukan corak dan arah perubahan social di Indonesia. Bersamaan dengan hal tersebut, Kristen mulai menampakan kegiatannya dengan memberikan pelayanan kongkrit kepada masyarakat. Sampai tahap ini, masalah yang dihadapi dakwah Islam semakin kompleks dan sebagai suatu system dilingkungi berbagai masalah social, keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Dengan munculnya kenyataan sosio-kultural baru, lahirlah kesadaran baru di kalangan pendukung dakwah dan da’I secara silih berganti. Kesadaran ini ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga dakwah seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Meskipun secara detail kesadaran itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi ada “benang hijau” yang mempertemukan perbedaan itu, yaitu kesadaran trasendental untuk menanyakan kembali “apa yang seharusnya terjadi dalam kenyataan social menurut ajaran Islam” dengan “yang senyatanya terjadi dalam dalam relaitas” yang harus diubah oleh system dakwah. Dalam kerangka yang demikian maka dakwah Islam berada dalam proses “transendensi” dan “imanensi” yang diwuudkan dalam upaya mencari model yang mampu menggambarkan kenyataan secara jelas dan menudahkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Sementara para da’I dan pendukung dakwah sedang mencari orientasi dalam menentukan model yang hendak digunakan, perubahan sosio-kultural yang digerakkan ilmu dan teknologi terus berlangsung. Dampak perubahan menyentuh langsung lembaga/organisasi dakwah yang ditandai dengan ketidakmampuan melihat masalah secara jelas, tema dakwah yang lama mulai kehilangan relevansinya dan model dakwah yang ada tidak dapat untuk melihat dan memecahkan masalah yang sudah semakin rumit. Sedangkan pembangunan nasional yang merupakan upaya perubahan social yang direncanakan, khusus dalam bidang agama belum memberikan alternative pembangunan sistem dakwah agar dapat berfungsi secara efektif dan efesien.
Akar permasalahannya terletak pada adanya kekosongan pemikiran dakwah sebagai ilmu yang berakibat kelangkaan teori dakwah untuk melihat kenyataan. Permasalahan fundamental ini kemudian melahirkan masalah dalam penyusunan strategi dan teknik dakwah di kalangan lembaga-lembaga dakwah. Hal ini karena tidak mungkin dapat merencanakan strategi dakwah dalam rangka memecahkan masalah yang semakin kompleks tanpa memiliki wawasan teoritis yang memadai. Sedangkan teknik dakwah akan kehilangan efektivitas dan efisiensi dalam merealisir Islam pada semua dataran kenyataan tanpa berangkat dari kerangka strategi yang jelas. Kemudian secara operasional kelemahan system dakwah di Indonesia selama ini, salah satu sebabnya tidak adanya kerjasama yang fungsional antara Perguruan Tinggi Dakwah dengan lembaga-lembaga dakwah. Perguruan tinggi mengembangkan wawasan teoritis dan lembaga-lembaga dakwah menyusun strategi-teknik dan merealisir usaha-usaha dakwah dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual yang diridhai Allah SWT. Dengan bahasa lain karena tidak adanya kesatuan antara teori, strategi dan teknik dalam perencanaan dan pelaksanaan dakwah Islam.[11]