A. Hak Asasi Manusia atau Kebebasan
Yang disebut hak asasi mausia ialah antara lain:
1. Hak hidup
2. Hak kemerdikan
3. Hak memiliki
4. Hak mencari nafkah
5. Hak belajar
6. Hak mengajar dan lain-lain.[1]
B. Tanggung Jawab Moral Manusia
Definisi tanggung jawab biasanya memberikan pengetian yang dititik beratkan pada:
a. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap sesuatu perbuatan.
b. Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.
Bila pengetian tersebut dianalisis lebih luas, akan kita dapati bahwa dalam kata: ‘having the character’ = itu dituntut sebagai suatu keharusan, akan adanya suatu pertanggungan moral/perbuatan.
Tanggung jawab dari segi filsafat, suatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh tiga unsure/deminsi:
1. Kesadaran
2. Kecintaan/kesukaan
3. Keberanian.
Kesadaran: adalah tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari suatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Seseorang baru dapat dimintai tanggung jawab, bila ia sadar tentang tanggung jawab.
Kecintaan: adalah cinta, suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelan dan kesadaran berkurban. Cinta pada tanah air = menyebabkan prajurit – prajurit kita rela menyambung nyawa untuk mempertahankan tanah air tercinta ini.
Sadar akan arti tanggung jwablah. Menyebabkan merika patuh berdiri di bawah trik matahari atau hujan lebat untuk mengawal, di lihat atau tidak diawasi.
Keberanian: adalah berani berbuat. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Berani disini. Didorong oleh rasa keikhlasan karena tidak bersikap ragu-ragudan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsikuensi dari perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seorang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-pertimbangan, juga perhitungan dan keadaan sebelum bertindak, jadi tidak senbrono atau membabi-bita.
Keberanian seorang prajurt, adalah keberanian yang dilandasi oleh rasa kesadaran, adanya rasa cinta kepada tanah air, dimana ketiga unsur kejiwaan terebut tersimpul kedalam sikap: keikhlasan dalam mengapdi, dan yang penuh rasa tanggung jawab = dalam menunaikan tugas dan darma bakti kepad Negara dan bangsa.
Barang siapa yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya, atau segala sesuatu yang termasuk tugas kewajibannya, maka nilai pribadinya dipersilakan memilih sesuatu golongan ini.
- Pertama golongan kerbau
- Kedua golongan anak-anak
- Ketiga golongan orang gila.[2]
C. Kebebasan Dan Tanggung Jawab
Kebebasan dan tanggung jawab saling berkaitan sangat erat karena dalam pengertian kebebasan sudah termuat pengertian tanggung jawab, dan begiti pula sebaliknya. Tak mungkin ada kebebasan tanpa tanggung jawab, dan bertanggung jawab, dan tanggungb jawab mengandaikan adanya kebebasan. Sehingga semakin manusia menjadi bebas, ia semakin bersedia untuk bertanggung jawab.
Selain itu, kebebasan juga dipahami sebagai tanpa paksaan atau ringtangan fisik. Maksudnya, orang bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa ada hambatan fisik. Ia bebas menggerakan anggota tubuhnya. Ini disebut kebebasan fisik. Sementara berkat kemampua rasionya, menusia dengan sadar dan penu dengan pertimbangan melakukan sesuatu. Ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebabnya itu dilakukannya. Ia mwmiliki kemampuan untuk mengembangkan dan mengarahkan hidupnya tanpa ada tekanan atau ancaman psikis.
D. Hati Nurani: Sumber Kesadaran Moral
Hati nurani paling jelas kaitannya dengan moralitas, karena hati nurani menyingkap dengan terang dimensi etis dalam hidup manusia. Hati naurani mengungkapkan penghayatan tentang baik buruk berkautan dengan tingakh laku yang kongkrit. Hati nurani memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu pada saat ini dan disini. Hati nurani selalu berkenaan dengan situasi yang paling kongrit, sehingga bila tidak mengikuti hati nurani, seseorang menghancurkan integritas pribadinya dan menghianati martabat yang terdalam pada dirinya, menghancurkan otonomi dirinya.
Hati nurani erat kaiatannya dengan kesadaran seseoarang, yaitu, kesanggupan untuk mengenal diri sendiri dank arena itu ia berefleksi tentang dirinya. Hanya manusialah yang mempunyai kesadaran diri. Hati nurani merupakan sumber kesadaran moral seseorang dalam mempertimbangkan and melakukan apakah perbuatan ini baik atau buruk. Hati nurani menjadi saksi atau instansi yang turut mengetahui dan menilai perbuatan seseorang dari segi moral.
Hati nurani yang menilai tindakan yang sudah terjadi disebut hati nurani retrospektif. Sedang hati nurani yang menilai perbuatan yang akan dilakukan kelak disebut hati nurani prospektif. Hati nurani juga bersifat personal berkaitan erat dengan pribadi tertentu. Artinya ,hati nurani berkembang seirama dengan perkembangan kepribadian yang bersangkutan.
Selain itu, hati nurani juga bersifat adipersonal, seolah-olah melebihi pribadi kita, sebagai instansi di atas kita. Ada aspek transcendental. Hal itu terlihat dalam pengertian kata “hati nurani “itu sendiri.”hati nurani”berarti “hati yang diterangi”( nur = cahaya). Dalam pengalaman mengenai hati nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang sama tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan hati nurani : suara hati, kata hati, suara batin. Karena aspek transcendental atau adipersonal ini, orang beragama mengartikan hati nurani sebagai suara Tuhan atau Tuhan berbicara kepada pribadi tertentu melalui hati nuraninya.
E. Hak dan Kewajiban
Salah satu topik etika yang perlu dibicarakan ialah hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini kian menjadi perhatian sekarang ini karena adanya keinsyafan manusia akan martabatnya sebagai makhluk yang bebas dan otonom. Bahwa karena kebebasan and otonomi dirinya, ia memilki hak dan kewajiban sebagai manusia. Keinsyafan akan martabat manusia sebagai makhluk yang bebas dan otonom menjadi syarat mutlak atas pengakuan akan adanya hak-hak pada manusia. Hak adalah klaim yang sah atau yang dapat dibenarkan dan klaim tersebut dibuat oleh orang atau kelompok orang yang satu terhadap yang lain atau masyarakat.
Ada beberapa macam hak yang dimiliki manusia, seperti hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas prinsif moral. Hak legal dan hak moral ini harus saling memberi makna. Hak legal sepatutnya memiliki moral force, sebagaimana dikatakan D. Lyons : daya etis yang memungkinkan untuk mempertanggungjawabkan hak legal. Begitu pula, hak moral akan lebih efektif dan mempunyai kedudukan lebih kokoh dalam masyarakat jika didukung dan dilindungi oleh status hukum.[3]
F. Kewajiban Manusia Terhadap Dirinya
Setiap manusia menpunyai kewajiban moral terhadap dirinya sendiri, antara lain:
a. Memelihara kesucian diri, baik jasmani maupun rohaniah kesucian diri dari segi jasmaniah ialah tetap bersih dan jauh dari najis.kitab-kitab fikih islam pada umumnya membahas masalah ini dalam bagian pertama yang disebut ‘kitabul thaharah’ yang menerangkan tata cara pembersihan diri dari pelbagi najis dan hadas yang menjadi kewajiban persyaratan sahnya shalat. Allah memuji orang yang suka membersihkan diri.
b. Memelihara kerapian diri: disamping kebersihan rohani dan jasmani, perlu diperhatikan faktor kerapian sebagai manifestasi adanya disiplin pribadi dan keharmonisan peribadi.
Janganlah membiarkan diri dalam keadaan kusut dan tidak teratur, namun demikian berhiaspun tidak dengan kesombongan,sekalipun seberat biji zarrah. Maka berkatalah seorang laki-laki: “seunggunya orang biasanya suka berpakaian indah. Nabi menjawab: Sesunggunyan Allah maha indah dan menyukai keindahan.
c. Berlaku tenang ( tidak terburu): Ketenangan dalam sikap termasuk dalam rangkaian akhlaqul mahmudah, sebagaimana dikemukakan dalam Al-qur’an.
d. Menambah pengetahuan: Hidup ini penuh dengan pergulatan, dan kesulitan. Untuk mengatasi pelbagai kesulitan hidup dengan baik diperlukan ilmu pengetahuan. Adalah kewajiban manusia menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk memperbaiki kehidupan didunia ini dan untuk beramal sebagai persiapan ke alam baqa. Allah, menerangkan dalam Al-qur’an: maka bagi orang yang bodoh sukarlah baginya untuk menyempurnakan amalnya dan mengatasi kesulitanya dengan baik”.
e. Membina disiplin pribadi: salah satu kewajiban terhadap diri sendiri ialah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk membina disiplin pribadi. Disiplin pribadi dibutuhkan sebagai sifat dan sikap yang terpuji ( fadlilah ) yang menyertai kesabaran, ketekunan, kerajinan, kesetian dan lain-lain sifat bagi pembinaan pribadi.
G. Kewajiban Manusia Terhadap Tuhannya
Alam ini mempunyai pencipta dan pemelihara yang diyakini adanya yakin allah SWT. Dialah yang memberikan rahmat dan menurunkan azab kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang wajib diibadahi dan ditaati oleh segenap manusia. Kepada-Nya manusia berutang budi yang besar, karena berkat Rahman dan Rahim-Nya dia telah menganugrahkan nikmat yang dihajatkan oleh manusia dengan tak terhitung jumlahnya. Maka wajiblah manusia mencintai-Nya dan mematuhi-Nya serta berterima kasih atas segala pemberian-Nya itu. Sebagai kewajiban dan akhlak manusia kepada allah ialah :
a. Beriman: meyakini bahwa dia sungguh-sungguh ada. Dia memiliki; segala sifat kesempurnaan dan sunyi dari segala sifat kelemahan. Juga yakin bahwa ia sendiri perintahkan untuk diimani, yakni: malaikat-Nya, hari kemudian dan Qada’ yang telah ditetapkan-Nya.
b. Taat: Melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sebagai mna firmanAllah:
Taat juga dikmasudkan sebagai takwa yakni memelihara diri agar selalu berada dala garis dan jalnya yang lurus.
c. Ikhlas: yakni kewajiban manusia beribadah hanaya kepada Allah SWT dengan ikhlas dan pasrah. Dalam beribadah kepada Allah, caranya wajiblah mengikuti ketentuan-Nya sebagai mana yang diajarkan dan di contohkan oleh Rasul-Nya.
d. Tadlam dan khusyu: dalam beribadah kepada Allah hendaklah besifat sungguh-sungguh, merendahkan diri serta khusyu’kepada-Nya.
e. Ar-Raja’ dan ad-Du’a: Manusia harus mempnyai pengharapan ( ar-Raja=optimism ) bahwa Allah akan memberikan rahmat kepadanya.
f. Husnud-dhan: Yakni sikap manusia berbaikan sangka kepada Allah. Jangannya kita mempunyai prasangka yang buruk kepada Allah, misalnya dia akan mengazab kita ecara sewenang-wenang atau membiarkan kita mati kelaparan penuh penderitaan. Hendaklah kita mempunyai prasangka yang baik, yakni bahwa Allah akan memberikan Rahmat, mengampuni dosa kita dan tidak akan membirakan kesengsaraan dan penderitaan yang kekal.
g. Tawakal: Mempercayakan diri kepada-Nya dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan yang telah direncanakan dengan mantap.
h. Tasyakkur dan Qana’ah: berterima kasih atas pemberian Allah dan merasakan kecukupan atas pemberian-Nya itu.
i. Malu: sikap lebih patut ditujukan kepada Allah, yang dengan sikap tersebut seorang Mukmin malu mengerjakan kejahatan dan malu ketinggalan dalam kebaikan. Seorang Mukmin yakin betul bahwa segala tingkah lakunya dilihat oleh Allah SWT, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi. Rasa malu kepada Allah mencegah seseorang berbuat maksiat. Menurut suatu hadit Nabi, malu adalan cabang iman.
j. Tobat dan Istigfar; manusia tidak lepas dari dosa dan noda. Dalam keadaan seseorang terjerumus ke dalam salah satu dosa, hendaklah manusia segera ingat kepada Allah, menyesali perbuatannya yang salah, memohon ampun (istigfar) kepada-Nya serta kembali (tobat) dengan sebenarnya.[4]
H. Moral Dan Kesadaran Moral Manusia
Istilah moral berasal dari kata latin: morale, yang berarti custom, kebiasan, adat istiadat. Tahu adat disebut moral dan sebaliknya disebut immoral.
Dari sejarah pertumbuhan dan perkembangann manusia diketahui, bahwa mengnai masalah moral, manusia itu berkembang dari pramoral ke bermoral; artinya dari belum megetahui moral menjadi memahami atau bermoral. Istilah pramoral itu, mungki mula-mula digunakan oleh Levy Bruhl, antropool prancis yang dikenal dalam penelitiannya mengenai tingkat-tingakt pradaban manusia primitip.
Dari segi psikologi telah dijelaskan terlebih dahulu, bahwa dalam tingkat perkembangan seoarang anak ( yang normal ), umunya mereka itu akan sampai pada satu usia yang di sebutkan morale age, tahun-tahun dimana anak tersebut telah mengenal ( secara naluriah ), bahwa: berbohong, mencuri, telanjang dimuka orang lain, berbuat gaduh atau tidak senonoh dan seabagianya, kesemuanya itu adalah, perbuatan yang tidak baik, tercela, tidak sopan= pada usia antara 3-5 tahun.[5]
I. Sistem Etika Yang Berpengaruh
1. Hedonisme
Kata Hedonisme berasal dari kata hedone dalam bahasa dalam bahasa Yunani, yang berarti nikmat, kegembiraan. Hedonisme mengajarkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kenikmatan atau kesenangan duniawi. Perbuatan manusia mesti terarah pada pencapaian tujuan tersebut. Baik buruknya perbuatan itu bergantung pada hasil akhirnya, jika membaawa kenikmatan atau kesenangan, maka perbuatan itu dikategorikan perbuatan baik. Jika sebaliknya, perbuatan itu dalah buruk. Sehingga bagi kaum hedonis, yang baik adalah apa yang memuaskan keinginan kita atau yang meningkatkan kualitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
2. Eudonisme
Pandangan ini dimulai oleh Aristoteles (384-322 S.M). Dalam bukunya, Ethika Nekomakhia, ia menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya, manusia ingin mencapai tujuan hidupnya. Lewat perbuatan tertentu kita sebenarnya mau memperoleh sesuatu yang baik. Namun, acap kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai tujuan yang lain. Misalnya, orang ingin dihormati. Mengapa orang mesti dihormati ? Tentu saja karena ia seorang manusia yang pantas dihormati, seorang manusia utama ; karena ia memiliki keutamaan. Maka, hormat bukan lah tujuan terakhir, melainkan keutamaanlah yang menjadi alasan seorang itu dihormati.
3. Utilitarisme
Utilitarime diturunkan dari kata latin utilis, yang berarti berguna, berfaidah, menguntungkan. Menurut paham ini, yang baik adalah yang berguna,berfaedah, menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tidak berfaidah, merugikan. Maka, baik buruknya perilaku dan perbuatan bergantung pada kegunaannya. Kegunaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, kriteria, dan cita-cita moral.
4. Deontologi
Dibandingkan dengan system ethika yang telah dibahas sebelumnya, Deontologi tidak mengukur baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan hasil atau tujuan, melainkan semata-mata pada maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan terserbut. Deontologi hanya memperhatikan apakah suatu perbuatan atau keputusan itu wajib dulakukan atau tidak. Deontologi berasal dari kata yunani, yaiti dion yang berarti apa yang harus dilakukan, kewajiban.[6]
0 komentar:
Post a Comment