Thursday 26 May 2011


A.  Perihal Lupa
Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang system akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita.

Akan tetapi, kenyataannya yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa yang telah kita pelajari dengan tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinikan lupa sebagai ketidak-mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dipahami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.[1]
Dahulu banyak orang berpendapat bahwa lupa itu terutama disebabkan oleh lamanya waktu antara terjadinya proses ingatan. Karena telah lama maka mudah dilupakan. Akan tetapi setelah diadakan penyelidikan lebih lanjut oleh para psikologi, ternyata bahwa pendapat tersebut tidak benar. Sekarang orang lebih cenderung untuk menerima bahwa lupa itu tergantung kepada:
1.    Apa yang diamati,
2.    Bagaimana situasi dan proses pengamatan itu berlangsung,
3.    Apakah yang terjadi dalam jangka waktu berselang itu, dan
4.    Bagaimana situasi ketika berlangsungnya ingatan itu.
Keempat faktor tersebut berhubungan erat dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain.[2] Dewasa ini ada empat cara untuk menerangkan proses lupa. Keempatnya tidak bertentangan, melainkan saling mengisi.

1.    Apa yang telah diingat, disimpan dalam bagian tertentu di otak.
2.    Mungkin pula materi itu tidak lenyap begitu saja, melainkan mengalami perubahan-perubahan secara sistematis, mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.    Penghalusan: Materi berubah bentuk kea rah bentuk yang lebih simatris, lebih halus dan kurang tajam, sehingga bentuk yang asli tidak diingat lagi.
b.    Penegasan. Bagian-bagian yang paling mencolok dari suatu hal adalah yang paling mengesankan. Karena itu, dalam ingatan bagian-bagian ini dipertegas, sehingga yang diingat hanya bagian-bagian yang mencolok, sedangkan bentuk keseluruhan tidak begitu diingat.
c.    Asimilasi. Bentuk yang mirip botol, misalnya akan kita ingat sebagai botol, sekalipun bentuk itu bukan botol.
3.    Kalau mempelajari hal yang baru, kemungkinan hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat kita ingat lagi.
4.    Ada kalanya kita melupakan sesuatu. Hal ini di sebut represi. Peristiwa-peristiwa yang mengerikan, menakutkan, penuh dosa, menjijikan dan sebagainya, atau semua hal yang tidak dapat diterima oleh hati nurani akan kita lupakan dengan sengaja.[3]

B.  Lupa Versus Hilang
Kerapkali pengertian “lupa” dan “hilang” secara spontan dianggap sama, padahal apa yang dilupakan belum tentu hilang dalam ingatan begitu saja. Hasil penelitian dan refleksi atas pengalaman belajar di sekolah, memberikan petunjuk bahwa sesuatu yang pernah dicamkan dan dimasukkan dalam ingatan, tetap menjadi milik pribadi dan tidak menghilang tanpa bekas.
Oleh karena itu, tepat apa yang pernah dikemukakan oleh Gula (1982) dan Reber (1988) bahwa lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. (Muhibbiansyah: 1999) jadi, lupa bukan berarti hilang. Sesuatu yang terlupakan tentu saja masih dimiliki dan tersimpan di alam bawah sadar, sedangkan sesuatu yang hilang tentu saja tidak tersimpan di alam bawah sadar.

C.  Lupa-Lupa Ingat
Lupa-lupa ingat berlainan dengan lupa-lupaan, dan tidak sama dengan melupakan. Lupa-lupaan berarti pura-pura lupa. Melupakan berarti melalaikan, tidak mengindahkan. Baik lupa-lupaan maupun melupakan mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan lupa-lupa ingat berarti tidak lupa, tetapi tidak ingat benar (masa samar, tetapi kurang pasti).
Pengorganisasian struktur kognitif yang kurang baik dan sistematik berpotensi ke arah lupa-lupa ingat. Kerancuan struktur kognitif menyebabkan sejumlah kesan menjadi samar-samar, kesan berbentuk bayang-bayang dalam ketidakpastian. Sesuatu hal yang direpresentasikan dalam bentuk kesan mengapung di antara alam ambang sadar san alam bawah sadar, sehingga ingatan yang timbul karena kesadaran akibat adanya rangsangan dari luar atau usaha mengingat-ingat terjelma dalam bentuk gejala ujung lidah, hamper ingatan atau lupa-lupa ingat, yang berarti tidak lupa, cuma kurang pasti.[4]

D.  Faktor Penyebab Lupa
Masalah lupa bukanlah masalah waktu, bukan soal jarak waktu antara pengamatan dan ingatan, melainkan masalah kejadian-kejadian atau gangguan-gangguan tertentu di dalam jiwa manusia. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kita lupa terhadap sesuatu yang pernah dialami, diantaranya:
1.    Karena apa yang dialami itu tidak pernah digunakan lagi, atau tidak pernah dilatih/diingat lagi.
2.    Lupa dapat juga disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan yag terjadi karena gejala-gejala/isi jiwa yang lain.
3.    Lupa yang disebabkan karena represi. Tanggapan-tanggapan atau isi jiwa ditekan ke dalam ketidaksadaran oleh Das Uber-Ich atau Super ego. Karena selalu mengalami tekanan itu maka lama-kelamaan menjadi lupa.[5]
Muhibbinsyah (1999) dan Ngalim Pur-wanto (1995) sepakat bahwa lupa bukanlah masalah yang sederhana dan berdiri sendiri. Mereka yakin ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lupa terhadap sesuatu yang telah dimiliki.
1.    Ngalim Purwanto (1995)
Menurut Ngalim Purwanto, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang lupa terhadap sesuatu yang pernah dialami, yaitu:
a.    Karena apa yang dialami itu tidak pernah dipergunakan lagi, atau tidak pernah dilatih/diingat lagi. Sesuatu yang tidak pernah digunakan/diingat lagi lama-kelamaan dilupakan.
b.    Lupa dapat juga disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan yang terjadi karena gejala-gejala/isi jiwa yang lain.
c.    Lupa disebabkan oleh represi atau tekanan. Tanggapan-tanggapan tau isi jiwa yang lain ditekan ke dalam ketidaksadaran (alam bawah sadar) oleh Das Uber-Ich atau super ego. Karena selalu mengalami tekanan, maka lama-kelamaan menjadi lupa.

2.    Muhibbinsyah (1999)
a.    Lupa karena perubahan situasi lingkungan. Lupa dapat terjadi pada anak didik karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar di seko-lah dengan waktu mengingat kembali di luar sekolah.
b.    Lupa karena perubahan sikap dan minat. Lupa dapat terjadi pada anak didik karena perubahan sikap dan minat anak terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
c.    Lupa karena perubahan urat saraf otak. Lupa bisa juga terjadi karena perubahan urat saraf otak. Anak didik yang terserang penyakit tertentu seperti kerancuan, kecanduan alkohol, atau gegar otak akan kehilangan ingatan atau informasi-informasi berupa kesan-kesan yang ada dalam memori otaknya.
d.   Lupa karena kerusakan informasi sebelum masuk ke memori. Penemuan baru mentimpulkan bahwa lupa dapat diaami seorang anak didik bila informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori otak. Informasi yang rusak itu hilang dan tetap diproses oleh sistem memori otak anak didik, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali (direproduksi).[6]

E.  Kiat Mengurangi Lupa Belajar
Pada prinsipnya, lupa dapat dicegah sekecil mungkin bila materi pelajaran yang guru sajikan kepada anaka didik dapat “diserap”, “diproses”, dan “disimpan” dengan baik oleh system memori anak didik. Lalu, kiat apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peristiwa lupa itu? Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan “daya ingat akal anak didik”. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba oleh anak didik dalam upaya meningkatkan daya ingat akal anak didik. Di antaranya menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), seperti Muhibbinsyah (1999: 156) berikut ini:
1.    Overlearning
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul satelah siswa mempelajari respons tersebut dengan cara di luar kebiasaan.

2.    Extra Study Time
Extra Study Time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
3.    Mnemonic Device
Mnemonic Device (muslihat memori) yang sering juga hanya di sebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam system akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya,tetapi yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
a.    Rima (Rhyme), yakni sejak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat siswa. Sejak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan.
b.    Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa.
c.    Sistem kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru, yang berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang sama seperti: darah, lipstick, pasangan langit dan bumi; neraka, dan kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya).
d.    Metode losai (Method of Loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat siswa.
e.    Sistem kata kunci (key word system). Kiat mnemonic yang satu ini relative tergolong baru dibandingkan dengan kiat-kiat mnemonic lainnya. Sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing. Sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
1)   Kata-kata asing.
2)   Kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa local yang paling kurang suku pertamanya memiliki suara/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari.
3)   Arti-arti kata asing tersebut.
4.    Pengelompokan
Maksud kiat pengelompokan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
5.    Latihan Terbagi
Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah latihan terkumpul (massed practice) yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming.
6.    Pengaruh Letak Bersambung
Untuk memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect), siswa dilanjurkan menyusun daftar kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan diakhiri dengan kata-kata yang harus diingat.[7]

F.   Saran Persiapan Belajar Yang Baik
Crow and Crow secara lebih praktis mengemukakan saran-saran yang diperlukan untuk persiapan belajar yang baik seperti berikut:
1.    Adanya tugas-tugas yang jelas dan tegas.
2.    Belajar membaca yang baik.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List