Saturday 10 September 2011

Ketika pertikaian politik antara Ali dengan Mu’awiyah, sehingga terbunuhnya Ali oleh kaum khawarij sampai menyerahnya Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah, maka kaum mu’tazilah ini mengambil peranan penting. Mula-mula mereka memihak kepada Ali bin Abi Thalib, tetapi ketika Ali kalah siasat dan Mu’awiyah berada dipihak yang menang, mereka mengundurkan diri dan bersikap non-cooperation terhadap mu’awiyah dengan niat akan menyerang mu’awiyah bila ada kesempatan.
Tetapi ketika situasi yang membaik, mereka beralih siasat, dengan bersikap mengeluarkan move politik yang diulas dengan ramuan keagamaan. Move Politik ini bermaksud untuk melancarkan perang urat saraf. Move-nya adalah bahwa orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi manzilah bayna al-manzilatayn (berada disuatu tempat diantara dua tempat ). Adapun yang di maksudkannya ialah kaum mu’awiyah yang menjadi sebab timbulnya pertikaian. Senjata dan pembunuhan massal antara sesama muslim. Mereka tidak mengatakan Mu’awiyah itu kafir (seperti kata kaum khawarij) dan tidak mengatakan Mu’awiyah itu Fasil (seperti kata imam Hasan Basri ), tetapi pendapatnya itu secara diplomatis sesuai dengan sikapnya yang non-coorperation yang tidak mencampur pihak manapun.

A.  ANTARA HASAN BASHRI DAN WASHIL BIN ‘ATHA’
Dengan sikap non-coorperation ini politik Mu’tazilah sebenarnya telah di jelaskan sejak zamannya khalifah ‘Utsman bin Affan’ trsebutlah seorang Tabi’in bernama Hasan Bashri. (lahir tahun 21 H dan wafat tahun 110 H) sedang mengajar agama islam di kota Bashrah. Beliau sedang membicarakan masalah bagaimana bila seorang mukmin menjalankan dosa besar. Hasan Bashri mengatakan bahwa orang tersebut hukumnya termasuk golongan orang yang maksiat dan masih mukmin selama ia masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Salah seorang muridnya bernama Washil bin ‘Atha’ (80-131 H) berselisih paham dengan gurunya itu. Washil berpendapat bahwa kedudukan orang mukmin yang berbuat dosa besar itu tidak mukimn dan tidak kafir, tetapi berada di antara kedua kedudukan itu atau manzilah bayna al-manzilatayn. Bila tidak bertaubat, orang tersebut berada dala neraka kekal tetapi ringan azabnya.
Karena tidak ada persesuaian paham antara Washil dengan gurunya itu, maka Washil bin Atha memisahkan diri dari  majlis pengajian gurunya. Washil bersama kawannya yang sepaham, Amr bin Ubaid mengadakan majlis pengajian sendiri. Sejak itu lah Washil dianggap pengikut Mu’tazilah. Istilah Mu’tazilah terambil dari bahasa Arab I’tizal yang artinya “mengasingkan diri” atau “menyingkirkan diri”, adapun golongan Mu’tazilah itu menanamkan diri sebagai Ahl Al-‘Adli wa at-Tauhid, artinya golongan yang membela keadilan dan ketauhidan Allah.

B.    PERMASALAHAN POLITIK
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pada saat gencatan senjata antara ‘Ali dengan Mu’awiyah dalam perang Shiffin, kaum Mu’tazilah ini mengambil sikap non-cooperation. Ahli Tarikh mengatakan bahwa pada mulanya tumbuh karena didasari alasan politik seperti yang terjadi pada golongan syi’ah dan kharijiyah, yang juga terjadi berkenaan dengan pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib pada tahun 35 H.
Bagaimanapun pendapat para ahli tarikh tentang benih munculnya Mu’tazilah, yang jelas golongan Mu’tazilah ini lahir pada masa Bani Umayyah, dan tampak aktif pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (tahun 105-125 H/724-743 M), dan pada masa raja-raja yang menggantikan Hisyam bin Abdul Malik ini dari Bani Umayyah, antara tahun 724-748 M.
Kaum Mu’tazilah memiliki kekuatan besar, mereka mampu mempengharuhi tokoh-tokoh pemerintahan. Para ulamanya dihormati dan disegani oleh kalangan penguasa karena kebanyakan orang-orang atau tokoh-tokoh Mu’tazilah, itu terdiri dari orang yang cerdik, pandai dan ahli debat yang mahir. Para penguasa pemerintahan pun bertindak sebagai melindungi dan mengikuti Mu’tazilah dan menindas golongan lain.
Pada tahun 750 M, kaum Mu’tazilah berhasil membentuk khalifah-khalifah Abbasiyah, maka kaum syi’ah dan ahlus sunnah ditindasnya. Pada zaman Abu Ja’far al-Mansur (136-158 N/754-775 M), salah seprang pendiri Mu’tazilah yang bernama ‘Amr bin ‘Ubaid sangat dihormati, berpengaruh dan disegani oleh khalifah.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaum Mu’tazilah mengambil sikap politik non-cooperation dalam urusan pemerintahan, tetapi setelah Bani Abbasyiyah mengambil kekuasaan menggantikan Bani Umayyah, maka sikap politik non-cooperation ini mereka ganti, dengan politik yang tegas, yakni mereka mulai aktif mendekat atau berpartisipasi kepada pemerintah. Sikap yang mereka ambil ini membuahkan hasil karena mereka mendapat kepercayaan dari khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/786-809 M). mereka dapat menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, bahkan ada yang mendapat kepercayaan khlifah Harun untuk mengasuh putranya yang bernama Ma’mun bin Harun, sehingga ketika Ma’mun ini menjadi khalifah, beliau menjadi tokoh Mu’tazilah juga yang militan.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pada masa pemerintahan al-Ma’mun inilah kesempatan luas diberikan kepada kaum Mu’tazilah untuk memaksakan paham Mu’tazilah kepada masyarakat. Bahkan pada tahun 218 H, perdana menteri Ahmad bin Du’ad, seorang tokoh Mu’tazilah memerintahkan penangkapan terhadap semua tokoh ulama dan ahli hukum Islam itu sesuai dengan paham Mu’tazilah, bahkan banyak ulama dan ahli hukum yang disiksa, dipenjarakan dan dibunuh.

C.  PENGARUH PAHAM  DARI LUAR ISLAM
Walaupun aliran mu;tazilah in berdasar azas islam, tetapi pada akhirnya banyak mengambil informasi unsur-unsur alam pikiran dari luar islam karena mereka memerlukan bahan untuk berdebat.
Ada yang mengatakan bahwa paham ini dibawa orang dari Persia oleh orang yang bernama Jaham bin Shafwan pada abad pertama hijriyah. Ia tidak mau mengakui adanya sifat Allah seperti ilmu ,qudrat, dsb. Tetapi hanya mengaku dzat-Nya saja. Ketika kaum muslimin menolak paham Jaham ini, tiba-tiba Washil bin Atha muncul mendukung dan membenarkan paham Jaham bin Shafwan ini.
Dikatakan bahwa paham mu’tazilah adalah paham rasionalisme dalam islam. Di samping itu juga mndapat pengaruh dari falsafah Hindhu Budha , Falsafah Yunani, Nasrani dan Majusi. Pikiran-pikiran umat islam sejak alam pikiran dari luar islam tadi masuk mengalir ke negeri islam. Pad masa Daulah  Umayyah dan Bani Abbasiyah alam pikiran asing itu tumbuh dan bergerak bebas dalam dunia islam.
Sebagaimana pada masa Syam dapat dikalahkan oleh orang islam. Saint of Damascus dan Theodorus Abukara (pada masa pemerintahan Umayyah) sebagai bapak gereja selalu berdebat tentang kemerdekaan iradah, apakah manusia itu mempunyai kemauan yang di kendalikan  Allah atau bebas. Persoalan takdir dan ikhtiyar juga masalah sifat-sifat Allah. Pikiran-pikiran dari kaum-kaum Nasrani demikian di tiru dan diterapkan untuk menganalisis sifat-sifat Tuhan dalam agama islam.
Orang masehi yang bernama Saint John of Damascus (676-749) ini orang Mu’tazilah mengambil teori bahwa Tuhan adlah Dzat yang baik. Menjadi sumber segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Tuhan tidak memiliki sifat-sifat yang bisa menimbulkan bilangan. Manusia bebas berbuat dan memilih yang karenanya ia dapat diminta pertanggunganjawaban.
Dari orang Nasrani yang bernama Tsabih bin Qurrah (836-901). Orang mu’tazilah mengambil teori tentang pemujaan terhadap kekuatan akal pikiran manusia semata-mata dengan akal pikiran manusia saja. Manusia dapat mengetahui adanya Allah, dapat mengetahui baik dan buruk dari segala pembenaran agama yang di dapat dari kekuatan akal pikiran manusia saja.
Tidak hanya itu saja, tetapi sejak orang-orang islam berbicara secara apologis, maka falsafah Hellenisme (Hellenia) dimasukkan dalam dogma-dogma Mu’tazilah yang kemudian di bangun berangsur-angsur sehingga menjadi mazhab tersendiri

D.  AJARAN-AJARAN MU’TAZILAH
Dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an dan hadits, mu;yazilah terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1.      Golongan pertama, tidak menerima segala macam hadits sebagai dasar hukum, hanya Al-Qur’an saja yang dijadikan dasar hukim.
2.      Golongan kedua ini membagi, hadits menjadi dua bidang. Pertama, hadits yang bisa dijdikan sumberhukum, yaitu hadits-hadits yang merupakn penjelas dari Al-Qur’an mengenai permasalahan shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Hadits yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan penjelasan hukum.
3.      Golongan ketiga hanya berpegang pada hadits mutawatir saja.
Ajaran pokok mu’tazilah yang terpenting ada lima, tidak ada eorangpun yang dikatakan mu’tazilah bila mereka tidak meyakini kelima ajaran ini, yaitu:
1.      Tentang Tauhid
2.      Tentang Al-Adi ( keadilah Tuhan )
3.      Tenyang Al-wa’ad ( janji dan siksa, pembalasan)
4.      Tenyang Manzilah Bayna Al-manzillatayn
5.      Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar

E.  ALIRAN-ALIRAN DALAM MU’TAZILAH
1.      Aliran Madhamiyah, dipimpin oleh Ibrahim binAyyar Al-Muadham berpendapat bahwa Tuhan itu hanya berpuasa berbuat sesuatau yanga ada kebaikannya bagi makhluk-Nya saja.
2.      Aliran Kha’ithiyah, di pimpin oleh Akhmad bin Isha’ith berpendapat bahwa alam semesta ini diciptakan oleh dua pencipta. Pertama, bersifat qadim ialah Allah dan kedua bersifat hadits ialah Isa Al-Masih. Isa Al-Masih adalah anak angkat Allah.
Dan masih banyak lagi aliran-aliran dalam Mu’tazilah yangt belum disebutkan

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List