Saturday 10 September 2011

A.   Pengertian Sumber Dan Dalil
Sumber secara etimologi berarti aal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material maupun nonmaterial.
Adapun secara termonologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa Al-Qur’an dan As-Sunah. Sedang dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk 
yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau zhanni (relatif).
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam tersebut adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Al-Qur’an dan Sunnah disepakati selurh ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer, sebagai primer hukum Islam.

B.       Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil hukum
1.      Pengertian Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata Qara’a yang secara etimologis berarti bacaan, dan atau apa yang tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a berupa isim fa’il yaitu Maqru’, seperti terdapat dalam firman Allah Swt. Surat Al- Qiyamah ayat 17-18:

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di   dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila  Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril.
Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti:
a.       Al- Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku.
Kata tersebut antara lain dijumpai dalam surat Al- Baqarah ayat 2:

Artinya:  “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk     bagi mereka yang bertaqwa”.

b.      Al-Furqan, Artinya pembeda. Hal ini mengingatkan pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan yang bathil, yang baik dan buruk haruslah merujuk padanya. Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur’an membedakan sesuatu antara yang hak dan yang bathil. Ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah Swt, surat Al-Furqan ayat 1 :

Artinya: “ Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”
c.       Al- Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukan bahwa Al-Qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini dapat kita temukan dalam surat Al- Hijr ayat 9:

Artinya:  “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

d.      Al- Huda, artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang di berikannya atau yang mempunyai rujukan kepada Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Para ulama ushul fiqih antara lain mengemukakan bahwa:
1)   Al- Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Apabila bukan kalam dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw., maka tidak dinamakan Al-Qur’an, melainkah Zabur, taurat, dan Injil. Ketiga kita yang disebut terakhir ini adalah kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad Saw. Bukti bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang dikandung Al-Qur’an itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap Al-Qur’an.
2)   Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna yang dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum), karena ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.

Dari definisi Al-Qur’an tersebut diatas, jelaslah bahwa Al-Qur’an mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
a.       Lafaz dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu. Nabi tidak boleh mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya selain dari menyampaikan seperti apa yang diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna. Dengan demikian, maka Al-Qur’an berbeda dengan hadits, baik hadits Qudsi maupun hadis Nabawi, yang keduanya merupakan ungkapan kalimat dari Nabi dan merupakan perkataan Nabi yang diungkapkan dari makna yang diilhamkan Allah atau yang diwahyukan Allah kepadanya.
b.      Al-Qur’an diturunkan dengan lafaz gaya bahasa arab.

Artinya:  “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”.

Oleh karena itu, imam Syafi’I dan lain-lain mewajibkan kaum muslimin untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab untuk keperluan membaca Al-Qur’an serta menghafal bagian yang perlu di baca dalam shalat.

3)   Al-Qur’an dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Meraka tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
4)   Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun di baca langsung dari mushaf Al-Qur’an. Dalam hal ini, rasulullah Saw bersabda:
Artinya: siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan bernilai sepuluh kali. Saya tidak mengatakan alif lam min itu satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan min satu huruf.” (HR. Al- Tirmizi dan Al- Hakim dari Abdullah Ibnu Mas’ud)

5)   Al- Qur’an itu dimulai dari surat Al- Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Qur’an, tidak termask Al-Qur’an.

2.      Dasar Umum dalam Memahami Makna Al-Qur’an
Ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu:
a.       Qur’an merupakan keseluruhan syari’at dan sandinya yang fundamental. Kemukjizatannya tidak terletak pada segi bahasa Arab yang bisa dicapai pemahamannya, tetapi dari segi I’jaznya tidak akan menghalangi untuk dipahami dan dipikirkan maknanya.
b.      Sebagian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
Ada dua alasan mengapa harus mengetahuinya:
a)    Faktor untuk mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan situasi, baik situasi pembicaraan orang yang berbicara maupun orang yang menjadi sasaran pembicaraan, baik secara alternatif ataupun komulatif sekaligus. Pembicaraan yang satu berbeda pemahamannya dalam dua situasi berbeda dan lain-lain. Misalnya kalimat pertanyaan yang satu bisa mengandung beberapa pengertian seperti penetapan, ejekan dan sebagainya. Kalimat perintah bisa mengandung pengertian kebolehan/izin, gertakan, remehan, dan sebagainya. Petunjuk terhadap arti mana yang dikehendaki hanyalah terletak pada tuntutan situasi (keadaan). Namun, petunjuk-petunjuk tidak terdapat pada setiap kalimat yang dipindahkan kerana indikasi atau petunjuk hanya tertuju pada salah satu pengertian yang dikehendaki sehingga tak ada peluang untuk memahaminya keseluruhan atau sebagian. Disinilah arti pentingnya pengetahuan tentang sebab turunnya ayat untuk menghilangkan kesulitan dalam mencari petunjuk tersebut.
b)   Kehajilan akan sebab-sebab nuzul dapat menjerumuskan ke dalam jurang keraguan dan menempatkan nash yang zahir ke tempat ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat. Hal tersebut diatas diperjelas oleh apa yang diriwayatkan tentang Tanya jawab antara Umar bin Khattab dengan Abdullah bin Abbas sekitar terjadinya perselisihan umat Islam sementara Nabinya hanya seorang. Abdullah bertanya kepada Umar, “Pabila Qur’an sudah diturunkan kepada kita, lalu kit abaca dan ketahui sasarannya. Kemudian generasi di belakang kita membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui apa sasaran ayat bersangkutan lalu mereka mempunyai pendapat sendiri terhadapnya. Sehingga mereka akan berbeda pendapat. Perbedaan pendapat berlanjut menjadi pertikaian yang berpuncak pada peperangan”.
c.       Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukan secara pasti bahwa isi berita itu sudah di batalkan.
d.      Kebanyakan hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat Kulli (pokok yang berdaya cukup luas) tidak rinci (disebutkan setiap peristiwa objektif) sepert terungkap dari penelitian.
3.      Cara Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu, Al-Qur’an berisi perintah dan larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji.
Di dalam mengerjakan perintah dan larangan, Al-Qur’an selalu berpedoman pada tiga hal, yaitu:
1)      Tidak memberatkan atau menyusahkan
Misalnya, mengqashar shalat, tidak berpuasa karena musafir, bertayamum, memakan makanan yang terlarang dalam keadaan darurat.
2)      Tidak memperbanyak beban/tuntutan
Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja, dan lain-lain.
3)      Berangsur-angsur di dalam mensyari’atkan sesuatu
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali.

4.      Kehujjahan Al-Qur’an
Ada alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqih tentang kewajiban berujjah dengan Al-Qur’an, diantaranya adalah:
a.    Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah Saw, diketahui secara mutawattir, dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah Swt melalui Malaikat Jibril kepada Muhammad Saw, yang dikenal sebagai orang yang paling percaya.
b.    Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali Imran ayat 3:

Artinya:  “Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”.

c.    Mukjizat Al-Qur’an juga merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah Swt. Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi Saw, yang membawa risalah Ilai dengan suatu  perbuatan yang diluar kebiasaan umat manusia. Mukjizat Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih dan ahli tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al-Qur’an itu sendiri, sehingga para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.
Kemukjizatan Al-Qur’an, menurut para ahliushul fiqih terlihat dengan jelas apabila:
a)    Adanya tantangan dari pihak manapun
b)   Ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad Saw.
c)    Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.

Unsur-unsur yang membuat Al-Qur’an itu menjadi Mukjizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, diantaranya adalah:
1)        Dari segi keindahan dan ketelitian rdaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya seperti al- hayat (hidup) dan al- maut (mati), dalam bentuk definite sama-sama berjumlah 145 kali; al- kufr (kekufuran) dan al- iman (iman) sama-sama terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.
2)        Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 92 dikatakan bahwa “badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya,” yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa.
3)        Isyarat-isyarat ilmiah yang di kandung Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 5 dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pemantulan dari cahaya matahari.

C.      Al-Qur’an Merupakan Dalil dan Zhanni
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawattir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an adakalanya bersifat qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
Ayat yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tungal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini misalnya, ayat-ayat waris,  hudud, dan kaffarat. Contohnya, Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11:

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta.

Contoh lain adalah surat An- Nur ayat 2:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera............”
Dalam kaffarah sumpah Allah berfirman:


Artinya: “........Maka puasa selama tiga hari.............” (Q.S Al- Maidah: 89)

Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’ yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata Quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan suci, sebagimana yang dianut ulama Syafi’iyah adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama Hanafiah.
Contoh lain adalah firman Allah dalam surat Al- Maidah ayat 38:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)


Artinya:  “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan ......”

Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah Saw. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti quru’ dalam ayat pertama pada ayat kedua, menurut ulama ushul fiqih bersifat zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.

D.      Al-Qur’an sebagai Dalil Kulli dan Juz’I
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
1.    Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.    Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi. Hal inilah yang diungkapkan Al-Qur’an dalam surat An- Nahl ayat 44:

Artinya:  “dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka......”

Hikmah yang terkandung dalam hal terbatasnya hukum-hukum rinci yang diturunkan Allah melalui Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih adalah agar hukum-hukum global dan umum tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di tempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia senantiasa terayomi oleh Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria umum yang diungkapkan Al-Qur’an menjadi penting artinya dalam mengantisipasi perkembangan dan kemajuan umat manusia disegala tempat dan zaman. Berkaitan dengan hal ini, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa kesempurnaan kandungan Al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam tiga hal berikut:
1.         Teks-teks (juz’i) yang dikandung Al-Qur’an
2.         Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai  kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an menyerahkan sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia di segala tempat dan zaman.
3.         Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan kekinina melalui berbagai metode yang dikembangkan para ulama, seperti melalui Sunnah Rasul,  Ijma, qiyas, istihsan, maslahah, istishab, ‘urf dan dzari’ah. Semua metode ini telah diisyaratkan Al-Qur’an.

Dengan ketiga unsur ini, maka seluruh permasalahan hukum dapat dijawab dengan bertitik –tolak kepada hukum rinci dan kaidah-kaidah umum Al-Qur’an itu sendiri. Disinilah, menurut ulama ushul fiqih letak kesempurnaan Al-Qur’an bagi umat manusia.
Drs. Moh. Rifa’i. PT. Al- Ma’arif. Bandung. 1973

1 comment:

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List