Wednesday, 1 June 2011



A. Perkembangan Tingkah Laku Anak
Secara Yuridis, perkataan “anak” dan bahkan “orok” berlaku bagi siapa saja yang belum mencapai usia dua puluh satu tahun. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari, biasanya dikenakan pada siapa saja yang belum menginjak remaja.
Dalam bahasa psikologi, masa kanak-kanak adalah antara masa orok dan masa remaja. Problem-problem pokok yang dihadapi anak selama masa ini berbeda dengan yang dihadapinya dimasa orok. Problem orok sebagian besar bersifat interpersonal, artinya anak harus menyadari bahwa disamping dirinya ada pula orang lain.
1.      Tingkah Laku Sosial yang Muda-muda
Pada awal masa kanak-kanak, anak mulai bertingkah laku sesial dengan cara yang kasar sebab memang belum mengerti bagaimana caranya bertingkah laku social yang tepat.
Negativism adalah suatu bentuk tingkah laku social dimana anak menujukan sifat keras kepala dan selalu mengatakan “tidak”. Meski hal ini sukar dikendalikan, namun karena umum sekali dilakukan  anak haruslah dianggap normal.
Negativism adalah produk dari tidak tolerannya orang dewasa terhadap tingkah laku anak yang bersifat kebai-bayian itu. Anak mereaksi sigertu yang agredif dengan jalan tidak mau mentaati permintan-permintaan orang dewasa. Negativisme ini menrun setelah anak berumur empat tahun. Pada saat itu, orang-orang dewasa lalu menghargai individualitasnya dan anak lalu mengerti bahwa sikap menurut itu akan mendapatkan pujian.
Persaingan, juga merupakan bentuk tingkah laku social yang mula-mula. Hal ini berkembang sesuai dengan hubungan anak dengan alat permainannya. Pada umur tiga tahun, anak hanya tertarik pada alat-alat peremainan itu sendiri; tetapi pada umur empat tahun, anak menjadi cemburu terhadap anak lain yang sebaya yang berminat pada permainannya, sedangkan pada umur lima tahun anak menjadi beriri hati terhadap pujia yang dinerikan kepada anak lain yang bisa menggambar atau menyusun balok-balok dengan baik atau cepat. Pada umur enam tahun, semanagat bersaingnya sudah berkembang dengan baik.
Teasing dan bullying adalah bentuk-bentuk tingkah laku agresif. Teasing adalah perbuatan memarahi seseorang dengan jalan memperingatkan kesalahan-kesalahannya. Hal ini tepat hanya apabila digunakan terhadap para hypokrit dan pembohong, tetapi anak menggunakannya untuk kepentingan sendiri.
Bullying adalah serangan physic tergadap orang yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti. Anak yang terlibat dalam bentuk agresi ini seringkali mempunyai perasaan rendah diri atau perasaan tidak aman.
Cemburu. Cemburu merupakan pengalaman emosional yang hamper terdapat pada semua anak; cemburu adalah suatu sikap tidak senang dan meentang.
Biasanya cemburu itu timbul karena lahirnya seoramh adik dimana monopoli kasih saying ibu oleh anaknya yang lebih tua berkurang. Cemburu itu dinyatakan dalam berbagai cara, seperti mencubit/memukul, menganggap sepi, menolak kenyataan lahirnya adik, ngompol, mengisap ibu cari, tidak mau makan, menjadi nakal, berpura-pura sakit dan takud dengan maksud manarik perhatian ibunya.
Cemburu muncul antara umur tiga dan empat tahun. Statistik menujukan bahwa diantara riga orang anak yang cemburu dua orang adalah anak perempuan. Anak-anak yang kecerdasan tinggi lebih cemburu dari pada anak-anak yang kecerdasan lebih lemah.

B.  Stuttering dan Stammereng
Stuttering (gagap) adalah pengulangan sauara, suku kata atau kata-kata secara tidak sengaja, sedangkan stammering adalah ketidak mampuan mengucapkan sepatah kat lengkap sekalipun. Stammering adalah suatu bentuk gagap yang parah. Stuttering dan stammering itu merupakan kelainan-kelainan bicara yang serius, namun dapat disembuhkan.
Gagap itu kebanyakan bersumber pada sebab psikologis, dan merupakan sistom maladjustment social. Kelainan ini menghinggapi anak-anak karena persaan takut, malu, merasa rendah diri, tertekan atau terlalu dikekang orang tua.
Meskipun mungkin, menyembuhkan gagap itu tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan kesabaran dan pengertian. Di bawah ini dikemukakan peraturan-,peraturan sederhana:
1.      Janganlah mengganggu/menggerecok anak.
2.      Jangan memperhatikan bicaranya anak
3.      Janganlah memaksa anak mengatakan sesuatu dengan cara tertentu
4.      Janganlah menyela/ mengganggu ceritera atau laporan anak
5.      Janganlah menuntut agar anak selalu mempergunakan formalita setiap kali meminta sesuatu.
6.      Bantulah anak mengatasi perasaan takut atau perasaan rendah dirinya.
7.      Berilah anak kepercayaan terhadap diri sendiri.
8.      Usahakan agar anak begitu memperhatikan apa yang dikatakannya.

C.  Moralitas Anak
Kaidah-kadah moral harus tertanamkan dalam diria anak pada umur antara tiga dan enam tahun. Pada umur ini tidaklah akan effektif apabila anak diberi tahu mengapa suatu tingkah laku tertentu terlarang sebab pengertiannya belum matang untuk hal itu. Seyogyanya hanya diberitahu mengenai cara bertingkah laku, diberi pujian kalau patuh, dihukum kalu tak patuh. Anak menyesuaikan diri terhadap kaidah-kaidah tingkah laku agar memperoleh pembenaran dan pujian dan terhindar dari hukuman.
Konsiensia anak. Konsiensia adalah kupulan cita-cita yang digunakan seseorang untuk  membimbing tingkah lakunya. Konsiensia adalah pribadi yang di cita-citakan. Apabila seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pribadi yang dicita-citakan ini, di merasakan apa yang disebut “kepedihan konsiensia”. Mula-mula pribadi yang di cita-citakan itu berupa orang tua yang sejenis kelaminnya, dari guru-gurunya, maupun dari buku-buku. Beberapa cita-cita ini menjadi cita-cita pengganti.

D.  Bermain
Teman sesungguhnya dan teman khayalan. Apa yang dinginkan anak berkenaan dengan teman ialah  dapat bernmain bersamanya.
Dalam ini anak tidak mengenal perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, kebangsaan, agama dan status social, sebab yang penting baginya apakah teman itu mau bermain bersama-sama.
Karena lingkungannya masih terbatas, anak harus mencari teman yang sesuai diantara anak-anak yang bertetangga dekat. Kalau tak seorang pun yang berkenaan hatinya, anak kalau menciptakan teman khayalan yang mau bermain dengannya. Bagi anal kecil, teman khayalan itu adalah riil: punya nama, bentuk physik dan berkepribadian, anak berbicara kepadanya dan selalu bersifat dominant terhadapnya. Sifat dominan ini harus diubah apabila anak bermain dengan teman-temannya yang sesungguhnya, bila tidak anak akan kehilangan teman bermain dan bergaul.
Pentingnya alat-alat permainan dan permainan. Alat permainan memegang peranan yang penting dalam kehidupan anak, terutama antara umur enam tahun dan delepan tahun. Alat permainan yang dibutuhkan ialah yangdapat digerakan, dibah dan dimanipulir. Bukan saja alat permainan itu membantu perkembangannya ketepatan dan ketrampilan, tetapi juga mempermantap konsep milik, kecuali itu juga membuat anak merasa bahwa ada sesuatu dilingkungannya yang dapat dikuasai sesuka hatinya.

E.  Belajar di Sekolah
Waktu memasuki dunia sekolah pada umur lima atau enam tahun, anak sudah memiliki kepribadian yang dinamis yang tercermin dalam sikap. Kebiasaan dan ide-ide mengenai setiap aspek kehidupan. Sifat-sifat emosional dan social ini mempengaruhi kemampuan belajarnya.
Kalau anak telah mengalami perlakuan yang diperlakuan, dan akan bergairah sekali belajar; sifat kebocahannya akan ditinggalkan, minatnya akan lebih tertuju pada orang lain dan kesediannya bekerja sama dengan gurupan akan semakin mantap.[1]

F.   Umur Gang
Pada kira-kira umur enam tahun, anak-anak semakin senang berada bersama-sama denga kelompok-kelompok kecil anak-anak yang berumur sebaya. Mereka tidak begitu bergairah lagi bepergian bersama orang tuanya, tetapi lebih suka menghabiskan waktunya dengan “gang”nya. Berpisah dengan kawan-kawan dalam gang itu akan membuatnya kesepian dan merana. Memang gang itu mendominir kehidupan anak; mewarnai gaya berpakaian, bermain, dan pengertian tentang benar salah.
Aspek psikologis yang berkembang dalam diri anak lewat partisi-pasinya dalam gang tersebut ialah kepekaan terhadap penerimaan dan pembenaran tersebut.
Pemimpin gang. Selama umur gang, hal-hal yang ideal di dalam kelom-pok dicerminkan oleh pemimpinnya. Sifat yang terpenting dari pemimpin gang ialah keadilan dalam menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara anggota-anggota gang.

G.  Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak
Teori tentang sumber kejiwaan agama: Hampir seluruh ahli ilmu sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian maupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil resit dan observasi mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan keburuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan kodrat, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi, yaitu:
1.    Cipta (Reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (Theologi) meru-pakan cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan dan selanjutnya memutuskan suatu tindakan terhadap stimulant tertentu.
2.    Rasa (Emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam mem-bentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
3.    Karsa (Will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendo-rong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek ataupun emosi, namun jika tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi.
Suatu kepercayaan yang dianut tidak akan berarti sama sekali apabila dalam keyakinan kepercayaan itu will tidak berfungsi secara wajar.

H.  Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia melahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1.    Prinsip Biologis
2.    Prinsip Tanpa Daya
3.    Prinsip Eksplorasi
Timbulnya agama pada anak, beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain:
1.    Rasa Ketergantungan (Sence of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wisbes. Menu-rutnya dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu:
·      Keinginan untuk perlindungan (security)
·      Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
·      Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
·      Keinginan untuk dikenal (recognation)
2.    Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keaga-maan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopong kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.

I.     Perkembanga Agama pada Anak
Menurut penelitian Ernest Harms dalam bukunya The Development of Religius on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.    The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
2.    The Tealistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis).
3.    The Individual Stage (Tingkat Individu)
Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a.    Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b.    Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personel (perorangan).
c.    Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik.

J.    Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agamapada anak-anak. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:

1.    Unreflective (Tidak Mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia.
2.    Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia per-kembangannya dan akan berkembangsejalan dengan pertambahan penga-laman.
3.    Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain.
4.    Verbalis dan Retualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.


5. Imitatif
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      


Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru.
6.    Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak.[2]




[2] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 53-74

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List