Sunday 5 June 2011


 A.  Aneka Ragam Bentuk Belajar
Komponen-komponen dalam proses belajar dapat digambarkan sebagai S R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis diantaranya adalah hubungan antara stimulus dengan respons yang terjadi dalam diriseseorang yang tidak dapat kita amati,yang bertalian dengan sistem alat saraf dimana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat pria.
Stimulus itu merupakan input yang berbeda diluar individu dan proses adalah outputnya, yang juga berada diluar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati. Pelambangan proses belajar sebagai S     R tidak berarti bahwa proses belajar ini merupakan suatu variasi dari teori S    R menurut Thorndike atau Skinner.
1.      Pola-pola Belajar Sisiwa
Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa kedalam delapan tipe, dimana yang satu merupakan prasyarat bagi lainnya yang tinggi hierarkinya. delapan tipe belajar dimaksud adalah:
a.      Belajar Tipe 1: Signal Learning (belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupaka tahap yang palingbdasar.jadi tidak menuntut prasyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary K(tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. kondisi yang di perlukan buat berlangsungnya ti.pe belajar ini, adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Repons yang timbul bersifat umu dan emosional, selain timbulnya dengan tak sengaja dan tak dapat dikuasai.
contoh: Aba-aba “Siap” merupakan suatu signal atauisyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang wajah ibu disinimerupakan isyarat yang enimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. melihat ular itu merupaka isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu. Respons yang timbul bersifat umum, kabur, emosi, onal.  

b.      Belajar Tipe 2: Stimulus-Response Learning (Belajar Stimulus Respons)
Bila tipe diatas dapat digolongkan dalam jenia classical condition, maka tipe belajar 2 ini termasuk kedalam instrumental (Kinble, 1961) atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. waktu antara stimulus pertama dengan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement.
Cintoh: Anjing dapat diajar “memberi salam” dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan” atau “Salam”. Ucapan kasih tangan merupakan stimulus yang menimbulkan respons memberi salam oleh anjing itu.
berdasarkan contoh diatas, jelas bahwa kemampuan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat spesifik, tidak umum dan kabur. Respons diperkuat atau di-reinforce dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen dalam respon itu. dengan belajar timulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan ”Mama”.

c.       Belajar Tpe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah bealajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal dan anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Contoh: dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampong halaman, selamat tinggal, dan sebagainya. juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam dan sebagainya. Chaining terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan (contiguity)  

d.      Belajar Tipe 4 . Verbal Association(Asosiasi verbal)
Baik chaining maupun verbal association, kedua tipebelajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu denganyang lain. Bentuk verbal  Association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapatmengenal “bujur sangkar” ‘saya’ dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity)

e.       Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination Learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan Association serta pengalaman (pola S-R).
Contoh: Anak dapat mengenal berbagai merk mobil beserta namanya, walaupun tampaknya mobil itubanyak bersamaan. Demikian puladapat membedakan manusia yang satu dari yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi diantara anak-anak itu. Diskriminasi didasarkanatas chain. misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta namanya. Untuk mengenal modellain harus pula diadakan chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi.
makin banyak yang harus dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan ganggauan atau interference itu, dan kemungkinan satu chain dilupakan.

f.       Belajar Tipe 6: Consept Learning (Belajar Konsep)
Consept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia mementuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan dalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan represesentasi internaltentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabtraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, sepertibapak, ibu, paman, sauadara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dansebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasaioleh stimulus dalam entuk fisik, melainkan dalam bentuk abstrak. Misisalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah: “Ambilkan botol yang ditengah”. Untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam pada ituia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.  

g.      Belajar Tipe 7 : Rule Learning (Belajaran Aturan)
 Rule Learning atau belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoprasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, analisis, sintesis, asosiasi, deferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” prinsip, adil, aturan, hukum, kaidah,dan sebagainya.
Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidi. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, (a + b) (a – b) = a2-b2, untuk menjamin keseamatan Negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga Negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus “menemukan sendiri” aturan-aturan itu. ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan “memberitahukannya’ kepada anak didik disertai dengan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak krang efektif. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan “verbal chain” saja dan ini hanya menujukan cara belajar yang salah.
Kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan:
1)      Kepada anak didik diberitahukan bentuk performance yang diharapkan.
2)      Kepada anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang, mengingatkannya (recall) terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari.
3)      Kepada anak didik diberiakan beberapa kata kunci yang menyarankan anak didik ke arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan.
4)      Diberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya sendiri.
5)      Kepada anak didik diberikan kesempatan selanjutnya untuk menyusun ‘rile’ tersebut dalam bentuk statement formal.  

h.      Belajar Tipe 8 : Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah pada tingkat ini para anak didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematika, yang memperguakan berbagai kaiadah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajara memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia di hadapakan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah memecahkan maslah, adalah sebagai berikut:
1)      Merumuskan dan menegaskan masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya.
2)      Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalag yang serupa.
3)      Mengevaluasi alternatif pemecahan dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
4)      Mengadakan pengujian atau ferifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktekan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaanitu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan.
Dengan demikian proses beljar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamental lainya telah dimiliki dan dikuasai, menurut kondisi lain yang diperlukan adalah bahwa kepada anak didik hendaknya:
1)      Diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermaslah dalam diri anak didik
2)      Diberikan kesempatan untuk memilih dan berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahannya
3)      Diberian kesempatan untuk berlatih dan mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya.
Dengan proses pengidentifikasian entering behavioral seperti dijelaskan dalam uraian terdahulu, guru akan dapat  mengidentifikasi pada tahap belajar atau tipe belajar yang telah di jalanunya. atas dasar itu guru dapat memilih alternatif strategi pengorganisasian bahan dan kegiatan belajar mengajar.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

Popular Posts

SAHABAT BLOGGER

Ordered List