Ada yang benar mengharapkan untuk melihat Mu’tazilah sekarang ini berbicara sebagai wakil dari teori rasionalis tentang iman = “pengetahuan”, karena Mu’tazilah tak diragukan lagi merupakan Islam rasionalis yang paling radikal yang pernah lahir. Namun harapan ini segera pupus. Perlu kita perhatikan bahwa teori tentang imam bukanlah merupakan landasan bagi Mu’tazilah. Mereka memiliki masalah penting.
Ash’ari sebagai wakil pendapat dari Mu’tazilah mengenai masalah ini, maka kita akan segera melihat bahwa perhatian mereka berada pada masalah lain. Semua pendapat memiliki kesamaan bahwa mereka selalu menegaskan pentingnya ‘perbuatan’ di dalam imam. Sehingga bahkan kita memperoleh kesan bahwa dalam pikiran mereka imam hampir sepenuhnya diidenfitikasikan.
Penekanan terhadap perbuatan ini menurut pemahaman Mu’tazilah mengenai iman tidaklah sulit untuk dijelaskan karena konsep tentang ‘perbuatan’ memiliki kandungan langsung dan bersifat sentral terhadap masalah ‘janji dan ancaman’ al- wa’d wa al- wa’id yang merupakan salah satu dari lima pendirian fundamental mu’tazilisme.
Sifat rasional iman menurut konsepsi Mu’tazilah dibuat sangat jelas berdasarkan kesimpulan yang ditariknya, yakni penolakan iman atas dasar otoritas orang lain. Masalah iman bi al taqlid atau kepercayaan berdasarkan otoritas dan melalui kabar angin, akan dijadikan sebagai subjek tersendrii dalam bagian selanjutnya. Untuk sementara ini cukup untuk diketahui bahwa apabila Mu’tazilah menolah keabsahan kepercayaan yang naïf pada orang-orang awam yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang dialetika dan pemikiran filosofik, hal ini karena bentuk kepercayaannya tidak berdasarkan pada arumentasi logik. Persoalan ini saja menyebabkan konsep rasionalis iman sebagai pengetahuan diantara orang-orang Mu’tazilah menjadi tersebar. Bahkan wahyu dimata mereka adalah merupakan bentuk pengetahuan yang benar-benar kehilangan landasan rasional.
Teori rasionalistik jauh lebih konsisten tentang iman diuraikan oleh maturidiyyah, pengikut Abu Hanifah di Transoxiana. Yang sangat menarik adalah pandangan mereka mengenai masalah tentang hubungan antar akal dan wahyu dalam kaitannya dengan konsep iman, masalah yang muncul adalah apabila seseorang mendefinisikan iman dengan pengetahuan, dimana pengetahuan dipahami sebagai suatu aktivitas akal. Pendirian utama Maturidiyah terletak pada pertanyaan apakah menyebabkan pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib. Akalkah? Atau Hukum Ilahi?.
Disini sifat wajib terhadap pengetahuan tentang Tuhan )ma’rifah Allah) dianggap sebagai kebenaran, ma’rifah dalam konteks ini menjadi sinonim dengan iman.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib bagi seseorang apabila ia telah mencapai kemampuan untuk berfikir, atau apakah pengetahuan masyarakatnya untuk memberitahukan semuanya yang perlu diketahui oleh manusia. Pada umumnya Maturidiyyah memilih alternatif yang pertama, sedangkan Ash’aryyah memilih alternatif yang kedua, dan mereka saling bertentangan secara tajam dalam masalah ini.
Posisi Ash’ariyyah dilukiskan oleh pengarang al- Raqdah al- bahiyyah sebagai berikut:
Berkenaan dengan wajibnya pengetahuan tentang Tuhan, tidak terdapat perselisihan sama sekali antara dua kelompok tersebut. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Ash’ari mengatakan: Yang mewajibkan adalah wahyu atau Hukum ilahi (shar’), sedangkan Maturidi mengatakan: karena akal (aql). Wajibnya tersebut menurut Ash’ari semata-mata didsarkan pada bukti firman Tuhan.
Tentang hal posisi Ash’ariyyah terhadap posisi Maturidiyyah bertentangan secara diametrik. Sifat wajib terhadap pengetahuan tentang tuhan didasarkan akal. Yakni, manusia harus mengetahui tentang Tuhan dengan akalnya bahkan ketika belum ada wahyu. Jelaslah bahwa akal merupakan akata kunci paling penting disini. Kita perlu memulainya dengan menjelaskan konsepsi Maturidiyyah tentang akal. Berikut ini adalah apa yang dikatakan oleh Bayadi teolog hanbaliyyah Maturidiyah tentang akal.
Satu-satunya teori yang benar tentang akal adalah sebagai berikut. Manusia sejak dini memiliki potensi untuk mengembangkan akal dan kecendrungan untuk memahami hal-hal yang harus dipahami secara intelektual. Potensi atau kesiapan ini disebut potensi akal (‘aql bi-al quwwah) atau akal bawaan (‘aql gharizi). Kemudian akal ini berkembang sedikit demi sedikit melalui aktivitas kreatif Tuhan sehingga mencapai kesempurnaannya. Dengan demikian akal yang sempurna disebut ‘akal yang diperoleh (‘aql mustafad).
Sekarang kita berada pada posisi yang lebih baik untuk memahami posisi maturidiyyah mengenai masalah hubungan dasar antara akal dan wahyu, berkenaan dengan iman sebagaimana dipahami menurut pengertian pengetahuan. Teks kunci ini diberikan melalui kata-kata Abu Hanifah sebagaimana disampaikan oleh Abu Yusuf: Sekalipun Tuhan tidak mengirim seorang utusan pun kepada umat manusia, manusia masih tetap di tuntut untuk memiliki pengetahuan (ma’rifah) tentang dia melalui akal. Berikut ini merupakan penafsiran terhadap kunci tersebut oleh Bayadi. Teks asli Abu Hanifah yang dikutif disini oleh Bayadi diberikan kata-kata penjelasan dalam kurung.
Sekalipun Tuhan belum mengirim umat manusia seorang Utusan pun (yang akan menjelaskan kepada mereka semuanya yang diwajibkan bagi mereka), manusia masih tetap dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang Dia. (yakni pengetahuan tentang eksistensi-Nya, kemudian setelah itu pengetahuan tentang keesaan-Nya, pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, Firman-Nya, kehendak-Nya dan Dia saja yang telah menciptakan dunia), dengan akal mereka (yakni ‘akal yang diperoleh sebagaimana dirumuskan diatas yang merupakan tugas yang dibebankan kepada manusia untuk merenungkan dan memikirkan selama masa sementara tersebut.
Beberapa perkataan penting berdasarkan apa yang ditulis oleh Bayadi dan Abu ‘Udhibah mengenai teori Maturidiyyah tentang akal.
(1) Akal tidak lain adalah alah di tangan manusia yang dengannya dapat mengetahui sesuatu yang harus diketahuinya tentang Tuhan. Akal adalah alat pengetahuan, sehingga untuk tujuan itu tidak diperlukan Hukum Ilahi.
Perbedaan antara Maturidiyyah dan Mu’tazilah (semoga Tuhan membinasakan mereka) adalah bahwa Mu’tazilah menganggap akal saja sudah cukup diwajibkannya pengetahuan, sedangkan Maturidiyyah menganggap bahwa akal tidak lain adalah sebagai alat yang dengannya pengetahuan menjadi wajib, sedangkan yang sesungguhnya menjadikan wajib adalah Tuhan sendiri. Dengan kata lain. Dia (menjadikan pengetahuan wajib) dengan menggunakan akal manusia sebagai alat.
Perbedaan maupun keserupaan antara Mu’tazilah dengan Maturidiyyah diungkap dengan jelas oleh posisi masing-masing berkenaan dengan masalah apakah anak-anak sebelum dewasa atau orang-orang yang kepada mereka belum sampai berita kenabian dikenakan tanggungjawab karena kurangnya pengetahuan dan iman.
Abu ‘Udhbah melihat bahwa perbedaan antara Ash’ariyah dan Maturidiyyah dalam hal ini jauh lebih besar dibandingkan antara Maturidiyyah dengan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Maturidiyyah dan Mu’tazilah saling sepakat dalam beberapa persoalan karena penekanan mereka yang sama tentang akal.
Misalnya ada seseorang yang lahir di pucuk gunung, dibesarkan di sama, sehingga tidak berkesempatan untuk (mendengarkan tentang utusan sehingga tidak) percaya kepada Tuhan. Apabila ia mati dalam keadaan tersebut, apakah ia akan dihukum atau tidak (di akhirat) karena ia tidak percaya?
Inilah jawaban Ash’ariyyah: tidak, dia tidak akan dihukum karena selama masa hidupnya syarat mewajibkan untuk percaya kepada Tuhan tidak terdapat, dan syarat tersebut adalah wahyu.
Maturidiyyah, dalam pada itu menegaskan: Ya, ia akan dihukum karena telah terdapat syarat yang mewajibkan iman, dan syarat tersebut adalah akal. Kita memperoleh jawaban yang sama mengenai hal ini dari Mu’tazilah.
Menurut Mu’tazilah, siapa saja yang memiliki akal maka tidak ada alasan untuk tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan, apakah ia seorang anak kecil atau seorang dewasa. Karena (akalnya) tersebut mewajibkan kepadanya untuk mencari kebenaran. Sehingga seorang anak yang memiliki akal mau tidak mau perlu memiliki iman karena ia memiliki akal. Apabila ia mati tanpa kepercayaan maka ia akan dihukum.
Menurut Maturidiyyah, tidak ada yang mewajibkan kepada anak-anak sebelum ia dewasa, karena keadaannya berdasarkan sabda Utusan Tuhan: “hukuman dihapus karena tiga perkara. Salah satu diantaranya adalah anak-anak sebelum ia mencapai dewasa”. Dengan demikian anak seperti itu akan diampuni, menurut pandangan Maturidiyah, apabila ia mati tanpa kepercayaan.
(2) Penegasan yang dikemukakan oleh Maturidiyyah tentang akal bagaimamapun tidak harus diartikan bahwa menurut Maturidiyah hukum ilahi tidak berguna apabila kita telah memiliki akal.
(3) Pertanyaan yang timbul dari (2) sesungguhnya merupakan perkara yang sangat rumit. Sehingga secara historic menjadikan perpecahan para pengikut Maturidi ke dalam mazhab Bukhara dan mazhab Samarqand. Secara keseluruhan, mazhab Samarqand tetap lebih setia kepada intelektualisme Abu Hanifah.
Bukti teks yang paling penting bagi Ash’ariyah adalah ayat yang dikutip diatas (XVII,15): Kami tidak pernah menghukum sampai Kami mengirimkan seorang Utusan. Ayat ini jelas-jelas menolak terjadinya hukuman ilahi sebelum datangnya hukum tersebut.
Mereka menegaskan bahwa argument di atas hanya berlaku bagi Mu’tazilah tetapi tidak berlaku bagi Maturidiyyah.
Karena hukuman ‘adhab yang dibicarakan disini merupakan hukuman yang paling berat yakni isti’sal. Hal ini dibuktikan oleh ayat yang langsung mengikuti ayat yang baru dikutip: “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Tuhan) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah seantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itusehancur-hancurnya”.
Menurut ayat ini, ayat yang sebelumnya tidak lain artinya bahwa Tuhan tidak pernah memberikan hukuman yang sangat berat kepada seluruh masyarakat sebelum Dia memberikan peringatan kepada orang-orang melalui seorang utusan. Dengan demikian ayat tersebut tidak menolak kemungkinan bahwa Tuhan mengirimkan hukuman yang lebih ringan terhadap orang-orang yang telah mengabaikan untuk memenuhi apa yang telah diwajibkan (yakni oleh akal) bahkan sebelum diutusnya seorang utusan.
Sehingga kesimpulannya bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dapat diketahui oleh akal tanpa bantuan hukum ilahi dapat dihukum oleh Tuhan.
Setiap orang yang dikaruniai akal, apabila ia mengamati penciptaan langit dan bumi dan penciptaan dirinya sendiri dan orang-orang lain, mau tidak mau akan menuju kepada pengetahuan tentang eksistensi sang pencipta setelah melewati suatu proses pemikiran.
(4) Sebagaimana telah dinyatakan dengan jelas pada pembicaraan terdahulu, yang paling penting diantara semua kewajiban menurut Maturidisme adalah kewajiban merenungkan dan berfikir untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Ini adalah asas, sedangkan yang lainnya hanyalah tergantung kepada pengetahuan tersebut.
(5) Masih ada dua masalah yang lebih kecil untuk disebutkan dalma kontek ini. Yang satu bersifat sederhana, yakni mengenai sifat atau tingkatan kewajiban untuk mengetahui. Menurut Bayadi, jenis pengetahuan tentang Tuhan yang berdasarkan pada penggunaan akal yang umum dan luas, dan yang menyebabkan manusia berfikir dan menggunakan akal diatas tingkatan paling rendah dari mengikuti dengan membuta terhadap otoritas, adalah merupakan tugas yang dibebankan kepada setiap muslim. Dengan kata lain, ini merupakan fard ‘ayn, bukan nya fard kifayah.
Masalah kedua berkenaan dengan cara dimana penggunaan akal menuju kepada pengetahuan. Bagaimanakah penggunaan akal yang benar untuk menghasilkan pengetahuan yang benar? Terhadap pertanyaan ini Mu’tazilah menjawab, melalui generasi (tawlid). Sedangkan jawaban para filusuf berbeda dengan jawaban tersebut. Mereka mengatakan melalui keharusan logik (ijab).
Berlawanan dengan jawaban khas tadi, Maturidiyyah menegaskan, terjadinya pengetahuan setelah suatu proses penggunaan akal yang benar adalah dikarenakan oleh adat yang dikembangkan secara ilahiyah. Hubungan antara pengetahuan dengan akal pada hakikatnya merupakan masalah adat yang ditetapkan oleh Tuhan; yang tidak memiliki hubungan logik dan bukan mrupakan sesuatu dari hasil alamiah.
B. Fungsi Wahyu
Pertanyaan tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mu’tazilah. Sebagai telah dilihat dalam sistim teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam soal ke empat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam teologi Islam.
Mengenai soal Tuhan, betul kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai sifat, tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya, mereka tetap berpendapat bahwa Tuhan mengetahui, berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya. Hanya apa yang disebut sifat oleh golongan lain, bagi mereka adalah esensi Tuhan, dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata “sifat”. Dalam faham mereka, semua “sifat” Tuhan dapat diketahui. Termasuk dalamnya “sifat-sifat” mendengar dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui hanya melalui wahyu. Argument yang dimajukan kaum Mu’tazilah dalam hal ini ialah: karena Tuhan hidup dan karena ia hidup dan karena ia suci dari segala kekurangan, maka ia mesti mempunyai pendengaran dan penglihatan.
Kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat –sifat-Nya, wahyu , dalam pendapat Mu’tazilah, tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlakukan. Akal betul dapat mengetahui kawajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.
Mengenai soal baik dan buruk, kaum Mu’tazilah, menurut apa yang terkandung dalam keterangan Al- Syahrastani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa yang baik dan segala apa yang buruk.
Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi member penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Sebagai kata ‘Abd al- Jabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain; demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu Jubba’i. Wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi bagi Mu’tazilah dikandung dalam keterangan al-Syahrastani.
Fungsi selanjutnya dari wahyu, sebagai disebut al-Syahrastani, ialah mengingatkan manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah tahu pada Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban itu. Akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang.
Dari uraian di atas diperoleh kesan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah lebih banyak mempunyai fungsi konfirmasi dari fungsi informasi.
Bagi kaum Asy’ariyah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewaijban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu.
Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariyah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang dari pada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya unyuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang dalam pendapat golongan ke dua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu aliran bertambah besar daya akal dalam aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu ditunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
0 komentar:
Post a Comment